Sabtu, 10 Agustus 2013, 06:08 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh
Friska Yolandha
Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Yusha
begitu yakin akan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci itu.Suatu
hari di musim panas 1996. Yusha Evans, seorang misionaris muda
kedatangan seorang teman bernama Benjamin. Ia tak pernah menyangka,
kehadiran temannya itu bakal menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak
terduga yang dilontarkan temannya membuatnya melepaskan keyakinannya
sebagai seorang Kristen.
‘’Apakah kau pernah membaca seluruh isi Alkitab?’’ Tanya Benjamin.
‘’Apa maksudmu? Saya seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu padaku?’’ cetus Yusha.
‘’Apakah
kau pernah membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel: mengetahui
tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta
tahu seluruh detail isinya?’’
Yusha mengaku tak pernah membaca
Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk membaca
kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Ia memintanya untuk membaca
Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali
Alkitab.
Maka mulailah Yusha membaca Alkitab dari Kejadian 1:1.
Ia sangat tertarik dengan kisah para nabi. Dalam Alkitab, dikisahkan
bahwa Nabi Nuh menyampaikan wahyu Allah, tapi tidak ada satupun umatnya
yang mengikuti seruannya. Lalu Allah menghukum umat Nabi Nuh dengan
mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh serta orang-orang yang
naik ke kapal saja yang selamat.
Setelah banjir, seperti
dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh meminum anggur dan keluar dalam
keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nuh seorang utusan
Tuhan bisa bersikap seperti itu.
‘’Tidak mungkin seorang nabi
bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak
mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.
Yusha
kembali melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia
menemukan kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya
justru tak mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah
seperti pelaku kriminal, yang justru dicari-cari polisi.
Ia pun
amat penasaran. Yusha lalu bertanya kepada pendeta di gereja tempat
melakukan misa. Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak
mendapatkan jawaban yang memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya
berkata, ‘’Janganlah ilmu pengetahuan yang sedikit mempengaruhi
keyakinannya terhadap Yesus.’’
Yusha diminta agar tidak perlu
mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada apa
yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca
Perjanjian Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai.
Mereka memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.
Di dalam
Perjanjian Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus
berkata Tuhan itu satu. Dan hal tersebut terus diulang-ulang di ayat dan
surat berikutnya dengan cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa
dalam 10 Perintah Allah, hal pertama yang diperintahkan adalah menyembah
Allah dan tidak ada yang lain.
Yusha lalu mencari tahu mengenai
Yesus. Ia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus memerintahkan hal
yang sama: menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin menggebu. Ia
pun mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran yang ia
terima, Yesus dipaku pada bagian tangannya.
Dalam hatinya
muncul kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol.
Seseorang yang telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di
atas tiang. Ia pun menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta.
Alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan
khutbah Kristen di gerejanya.
Saat kondisi imannya sedang goyah,
Benjamin kembali menemui Yusha. ‘’Aku telah membaca Alkitab berulang
kali. Alitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja ada
salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna
dan kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.
Sejak hari
itu, Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Ia memutuskan
meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Ia
mempelajari Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga
sempat membaca sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak
membuatnya senang. Ia akhirnya tidak mengikuti satu agama dunia pun.
‘’Tuhan,
jika Engkau tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan
sendiri,’’ Yusha memanjatkan sebuah doa. Saat itu, ia berusia 17 tahun.
****
Yusha
Evans lahir dan besar di South Carolina, Amerika Serikat. Ia
dibesarkan oleh kakek (Indian Amerika) dan nenek (Irlandia) yang sangat
konservatif. Kakek dan neneknya selalu mengajarkannya berdoa sebelum
makan, sebelum tidur, tidak boleh menyalakan musik keras-keras, tidak
membawa perempuan ke rumah.
‘’Itu yang saya pelajari di sekolah
Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama nenek dan
kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah
pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di
sekolah Minggu.
Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di
pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen.
Di kahir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan
pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu
seperti sekolah normal.
Ketika berumur 15 tahun, nenek Yusha
meminta pastor muda yang biasa melayaninya di gereja untuk mengantarkan
cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki surat izin
mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian.
Pastor yang usianya tiga tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman
baiknya.
Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah
perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini
tidak seperti perkumpulan biasanya. ‘’Kelompok itu seperti yang kau
lihat di televise. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang
dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja.
Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan
menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’
Hal ini
sangat menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang
berbeda dari yang dipelajari saat masih kecil. Menginjak usia 16 tahun,
ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang
misionaris. Sebagai seorang yang perfeksionis, ia ingin mendalami
Kristen secara utuh. Ketika ia ingin sesuatu, maka apa yang ia lakukan
harus terselesaikan.
****
Pada suatu hari, Yusha pergi
ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia itu,
ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah mesin
anjungan tunai mandiri (ATM). Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh
orang-orang bersenjata.
Kejadian itu membuatnya sangat takut,
sehingga hari itu juga Yushakembali ke rumah neneknya. Ia tidak
menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang nenek. Ia
menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.
Dalam
mimpi itu, orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu,
ia melihat sesuatu tengah menantinya di sisi lain kehidupan. Ia tidak
mengetahuinya.Yusha sangat ketakutan. Ia terbangun dari mimpinya sambil
berteriak.
Sang nenek datang dan bertanya, ‘’Mengapa kau
berteriak? Lalu, Yusha menceritakan segalanya, tentang perampokan dan
mimpi yang dialaminya.
‘’Tuhan mempunyai satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.
‘’Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.
“Kau harus kembali pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.”
Yusha
pun linglung. Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak
menemukannya. Neneknya berkata, ‘’Tuhan tidak akan pergi kemana-mana,
kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek tidak menyuruhnya untuk
kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari Tuhan.
Yusha
mulai menjadi agnostik: mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut
agama apapun. Ia melakukan doa dengan caranya sendiri. Ia merasa jenuh
dengan hal tersebut dan akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin
aku mengenal-Mu, maka bimbinglah aku.”
Sejak saat itu, ia tidak
mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Tusha ingin melihat apa
yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama
lain, namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai
olehnya.
****
Sampai pada suatu hari, Yusha
berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama Islam.
Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, ia sama sekali tidak menyadari
kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka
membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha berkenalan dengan Islam
yang sebenarnya.
Karena tidak mempercayai adanya komunitas Islam
di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang Muslim itu mengajak Yusha ke
masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan tentang Islam. Yusha
selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya terdapat
masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.
“Dan saya tidak menyadarinya!” ujarnya.
Ia
lalu berkunjung ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki
mendekatinya dan bertanya, ‘’ Apa sedang kau lakukan di sini?’’
‘’Aku sedang menunggu Musa.’’
‘’Musa
tidak terlalu sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat
masjid, saya dengan senang hati akan mengantarkanmu.’’
Awalnya.
Yusha merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke
masjid. Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria
itu memperlakukannya dengan sangat baik.
Ia pun masuk ke dalam
masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, ia berpikir bahwa
lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud
untuk membunuhnya. Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan
kalimat-kalimat Arabnya, Yusha menyadari apa yang dikatakan khatib itu
adalah tentang menyembah Tuhan yang satu.
Usai shalat Jumat, ia menemui khatib dan bertanya, ‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’
‘’Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah.’’
Ketika
sang khatib hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera
memotongnya, ’’Saya tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila
memang agama Anda benar, maka buktikanlah.’’
Kakeknya pernah
berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu
pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, ia lalu diajak ke
ruangannya. Khatib itu memberikannya Alquran, kitab suci umat Islam.
Lalu Yusha membawanya pulang dan membacanya.
Ia terperangah dan
terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Selama tiga hari, ia tidak
dapat berhenti membacanya. Ia begitu meyakini kebenaran yang tercantum
dalam Alquran. Hidayah Allah SWT memancar dalam kalbunya. Yusha pun
bertekad untuk menjadi seorang Muslim.
Yusha kembali ke masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.”
‘’Kau harus memahami satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Anda harus tahu tentang Nabi Muhammad SAW.’’
Yusha
pun membaca tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad
sebagai utusan Allah. Pada Desember 1998, Yusha yang bernama asli
Joshua akhirnya memeluk Islam. ‘’Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.’’
Sejak
itu, ia mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika
Serikat. Kini, Yusha menjadi seorang dai dan penceramah. Umat Islam di
negeri Paman Sam memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan
Allah SWT, dengan menyebarkan ajaran Islam.
Sumber:
islamevents.com/yushaevans.com
Redaktur : Heri Ruslan