Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akidah. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Mei 2013

Inilah Foto Tampang Pembakar Al-Qur'an


Samudra Biru - Sungguh suatu perbuatan biadab dan rasanya tidak ada lagi kata yang sanggup untuk menggambarkan kebodohan mereka yang melakukan tindakan pembakaran Kitab Suci Al-Qur'an. Yang telah menyakiti hati Milyar'an umat muslim seluruh Dunia.

Akibat yang ditimbulkan jelas-jelas sangat beragam. setelahnya. Para pemimpin Dunia mengutuk tapi belum terlihat Tindakan kongkrit dari Pemerintah setempat dalam hal ini negara Amerika Serikat. kalau hanya berbicara kemudian setelahnya seperti tidak terjadi apa-apa ini akan menjadi perseden buruk karena menganggap hal tersebut menjadi lumrah atau biasa saja.

Maka saya mengatakan mereka  para pembakar Al-Qur'an inilah Terorist yang sebenarnya. mereka-mereka yang berfikiran picik dan senantiasa negatif terhadap Muslim, dan memusuhi Muslim.

Saya meyakini, web/blog ini juga tidak hanya dibaca oleh orang beragama muslim tapi beragam warna ada di dalamnya. dan saya perhatikan ratusan juga mulai datang dari manca dan saya juga meyakini Anda tentu sangat menyesalkan tindakan sekte Kristen radikal fundamentalis di Amerika Serikat, Sabtu, 2 April 2011.

Mengapa saya katakan mereka Terorist yang sebenarnya? efek yang ditimbulkan jelas lebih meluas. Jika orang yang dituduh dan sedang diburu karena aksi terorist menyuarakan jihad mereka agar dilihat oleh dunia international atas tindakan para zionis yang kejam menindas kaum Muslim di palestina tentu saja ada sebuah tindakan yang nyata terlihat.
Akan tetapi apa yang dilakukan oleh kaum sekte Kristen radikal fundamentalis di Amerika Serikat ini saya rasa melebihi sekelompok kaum yang hanya berani di kandang sendiri. 

Masih mulia dan bernilai mereka yang dengan keikhlasan penuh dengan sebuah keyakinannya mengorbankan nyawanya untuk memerangi kaum tertindas dengan caranya yang terkadang tindakannya tidak mampu kita tangkap secara akal sehat bagi sebagian dari kita.

Seperti yang dilansir berita Vivanews Minggu 4/3/2011. sedikitnya 10 orang terbunuh dan 83 lainnya terluka di Kandahar, wilayah selatan Afghanistan. Tragedi ini terjadi dalam aksi protes atas pembakaran Alquran yang dilakukan sekte Kristen radikal fundamentalis di Amerika Serikat, Sabtu, 2 April 2011, waktu setempat.

Ini adalah kerusuhan terburuk dalam beberapa bulan terakhir. "Dua di antara korban tewas adalah polisi Afghanistan," kata pejabat setempat, seperti dikutip dari laman Reuters.

Sejumlah pengunjuk rasa membawa bendera Taliban dan meneriakkan yel-yel seperti, "Hidup Taliban", dan "Matilah Amerika". Dalam kerusuhan yang berlangsung beberapa jam itu, mereka juga melakukan penjarahan, membakar ban, dan menyasar orang asing, termasuk melakukan pelecehan terhadap seorang wanita SMA.

Kerusuhan didorong kemarahan atas tindakan ekstrimis Terry Jones, yang melakukan pembakaran kitab suci Islam di hadapan 50 orang di sebuah gereja di Florida, 20 Maret lalu. Informasi ini tertuang dalam website Terry Jones. Tahun lalu, Jones juga berniat membakar Alquran tapi batal.

Aksi penistaan terhadap agama ini awalnya tidak disadari warga Afghanistan. Mereka baru tahu setelah Presiden Hamid Karzai menyampaikan kalimat kecaman dalam kotbah salah Jumat lalu. Kecaman inilah yang kemudian memobilisasi massa turun ke jalan-jalan dan menggelar aksi protes.

Pejabat Afghanistan dan PBB menduga aksi protes yang awalnya berlangsung damai telah ditunggangi kelompok tertentu yang menyulut kerusuhan. Atas dugaan ini, Taliban membantah terlibat. "Kemarahan terhadap orang asing sudah terpupuk. Sedikit percikan api saja sudah mampu membakar emosi warga," kata Thomas Ruttig, pejabat Jaringan Analis Afghanistan.

Terry Jones memang pendeta yang radikal. September 2010 dia pernah merencanakan pembakaran Al Quran, sebagai bentuk protes terhadap rencana pendirian sebuah Masjid di Ground Zero, bekas reruntuhan menara kembar yang dibom teroris. Rencana pembakaran itu dilakukan tanggal 11 September sebagai bentuk peringatan atas ledakan itu.

Rencana itu dihujat banyak kalangan. Vatikan mengecam sang Pendeta dan menyebutnya sebagai tindakan tidak waras.Vatikan mendesak Presiden Barrack Obama untuk segera menghentikan tindakan sang pendeta karena hanya akan melukai hati-hati saudara-saudara muslim.

Presiden Iran, Ahmadinejad memuji sikap Vatikan dan mengirim surat ucapan terima kasih kepada Paus di Vatikan.

"Saya menyampaikan terima kasih kepada Yang Mulia atas kecaman kepada perbuatan tercela dari suatu gereja di Florida, AS, untuk melecehkan Kitab Suci Qur'an yang dapat menimbulkan kesedihan bagi jutaan Muslim di penjuru dunia," demikian petikan surat itu seperti yang dimuat oleh kantor berita Iran, Fars.

Rencana pembakaran Al Quran itu, kata Vatikan, jelas sensasi belaka dan merupakan perbuatan tercela. Setiap agama berhak melindungi kesucian ajarannya. 

Konferensi Wali Gereja (KWI) dan Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) juga mengecam keras rencana Terry Jones itu. Mereka mengirim surat kepada Presiden Barrack Obama dan mendesaknya agar menghentikan rencana jahat Terry Jones itu. 

Aksi ini dinilai bukan pekerjaan orang waras, dan mendesak otoritas Amerika Serikat agar segera menindak sang pendeta.

Tapi satu hal mereka lupa, bagi Muslim Al-qur'an telah terpatri begitu wangi di dalam hati sanubari hingga Akhir nanti.


Demikian, Wassalam. Kita kecam tindakan mereka, jika Anda merasa info ini manfaat mohon share ke rekan Anda. salam

sumber pelengkap: vivanews

Kamis, 26 April 2012

Inilah Virus Perusak Amal


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imron Baehaqi

Inilah Virus Perusak Amal
Sungguh beruntung dan mulia seseorang yang diberikan kelebihan harta, lalu mengeluarkan sebagian hartanya tersebut di jalan Allah (fi sabilillah) dengan penuh ketaatan. Dan, sungguh akan rugi dan hina orang yang memiliki kelebihan harta ketika hartanya tersebut hanya digunakan untuk bermegah-megah sehingga ia menjadi lalai dari ketaatan kepada Allah SWT.
Banyak di antara kita yang sadar terhadap pentingnya berinfak dan bersedekah, tetapi terkadang tidak sadar kalau kualitas ibadah infak tersebut menjadi rusak akibat perbuatan kita sendiri. Dalam Alquran banyak ayat yang menjelaskan tentang virus-virus yang merusak amal ibdah, termasuk infak atau sedekah seseorang.
Pertama, karena mengungkit-ungkit sedekah yang telah diberikan (manna) serta  merendahkan dan menyakiti hati orang yang menerima pemberian tersebut (adza). Perbuatan seperti ini adalah virus yang mengakibatkan ibadah infak menjadi sia-sia, yakni tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang diinfakkannya.
Amal yang demikian diibaratkan Alquran seperti debu di atas batu besar yang licin, kemudian ditimpa hujan lebat sehingga debu-debu itu menjadi sirna dan tinggallah batu itu menjadi bersih. (QS al-Baqarah [2]:264).
Kedua, berinfak karena riya, yaitu pamer dan ingin dipuji oleh orang lain. Termasuk gejala virus ini adalah seseorang yang berinfak atau bersedekah dengan tujuan mendapatkan suara untuk kepentingan politiknya, bukan karena mencari keridaan Allah SWT. Perumpamaan infak seperti ini sama dengan perumpamaan di atas. Pahala dan ganjarannya luput.
Ketiga, menginfakkan atau memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan, tapi harta atau barang yang diberikan yang paling jelek. Sedangkan, harta yang bagus justru disimpan untuk keperluan sendiri. Islam memerintahkan kepada umatnya supaya berinfak dengan harta yang paling bagus dan melarang memberikan sesuatu sebagai sedekah dengan harta yang paling buruk dan jelek.
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya dan Maha Terpuji.” (QS al-Baqarah [2]:267).
Berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat tersebut, Sahal bin Hanif mengatakan, “Orang-orang terbiasa memisahkan hasil perkebunannya yang tidak berkualitas, lalu mereka mengeluarkannya sebagai ibadah sedekah. Karena itulah, Allah menurunkan ayat di atas.” (HR Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim).
Dari penjelasan di atas, mudah-mudahan kita semua terhindar dari jenis-jenis virus tersebut. Dengan demikian, infak dan sedekah yang dikerjakan selama di dunia ini diterima di sisi Allah SWT serta mendatangkan banyak manfaat dan keutamaan bagi diri kita dan orang lain. Wallahu al-musta’an. 

PNS Langgar Sumpah Jabatan, Inilah Hukumnya Menurut Islam

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ustaz Bachtiar Nasir
Sumpah Jabatan/Ilustrasi
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu memba talkan sumpah-sumpah-(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)-mu sebagai alat penipu di antaramu .…” (QS al-Nahl [16]: 91-92).
Allah mewajibkan hamba-Nya untuk memenuhi sumpah dan janji yang diucapkan atas nama-Nya. Orang yang melanggar sumpah dan janjinya setelah diteguhkan diumpamakan seperti seorang wanita yang mengurai benang yang telah dipintalnya dengan kuat.
Badan Kepegawaian Negara telah menetapkan aturan kepada para PNS untuk memiliki akhlak dan budi pekerti tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Serta, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sumpah jabatan menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Perang adalah sebagai berikut. “Demi Allah! Saya bersumpah, bahwa saya, untuk diangkat dalam jabatan ini, baik langsung maupun tidak langsung, dengan rupa atau dalih apa pun, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi empat sesuatu kepada siapapun. Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia. Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan. Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapa pun, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya, dan seterusnya.”
Pejabat yang telah melanggar sumpah jabatan, Allah kutuk termasuk sebagai golongan orang merugi. Boleh jadi, uang atau penghasilan dari tunjangan jabatannya akan menjadi sumber malapetaka dan kerugian bagi diri dan keluarga serta lembaganya. Allah berfirman, “(Yaitu) orangorang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.’’ (QS al-Baqarah [2]: 27).
Rasulullah SAW menggolongkan orang yang selalu menyalahi dan mengingkari janjinya kepada golongan munafik. Dari Abdullah bin ‘Amru mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Empat hal yang barang siapa terdapat pada dirinya keempat itu, maka dia adalah seorang munafik tulen, dan barang siapa yang pada dirinya terdapat salah satu dari sifat sifat itu, maka pada dirinya terdapat sifat munafik sampai dia meninggalkannya. Yaitu, apabila dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia menipu, dan apabila bertengkar dia fajir (curang).” (HR Bukhari dan Muslim. Ini lafazh Bukhari). Wallahu a’lam bish shawab.

Sabtu, 21 April 2012

TINGKAT-TINGKAT KEPRIBADIAN MANUSIA

TINGKAT-TINGKAT KEPRIBADIAN MANUSIA

Menurut Abdul Fattah Rasyid Hamid, Ph.D, Psikolog Muslim Lulusan
St.Louis University USA.

Kepribadia tingkat I      :   An-Nafs al-AmmarahPada tingkat ini manusia condong pada hasrat dan kenikmatan dunia.
Minatnya tertuju pada pemeliharaan tubuh, kenikmatan selera-selera jasmani dan
pemanjaan ego. Di tingkat ini iri, serakah, sombong, nafsu seksual,
pamer,fitnah, dusta, marah dan sejenisnya, menjadi yang paling dominan.


Kepribadian tingkat II    :   An-Nafs al-Lawwamah
Pada tingkat ini manusia sudah mulai melawan nafsu jahat yang timbul,
meskipun ia masih bingung tentang tujuan hidupnya. Jiwanya sudah
melawan hasrat-hasrat rendah yang muncul. Diri masih menjadi subjek yang
dikendalikan hasrat-hasrat yang bersifat fisik, ia masih sering tertipu
oleh muslihat dunia yang sementara ini.


Kepribadian tingkat III   :   An-Nafs al-MulhimaPada tingkat ini manusia sudah menyadari cahaya sejati tidak lain
adalah petunjuk Allah.  Semangat taqwa dan mencari ridho Allah adalah
semboyannya. Ia tidak lagi mencari kesalahan-kesalahan orang lain tetapi ia selalu
introspeksi untuk menjadi hamba Allah yang lurus. Ia selalu zikir dan
mengikuti sunah nabi Muhammad SAW.


Kepribadian tingkat IV  :   An-Nafs al-Qana'ah
Pada tingkat ini hati telah mantap, merasa cukup dengan apa yang
dimilikinya dan tidak tertarik dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Ia sudah
tidak ingin berlomba untuk menyamai orang lain. Ketinggalan 'status' baginya
bukan berarti keterbelakangan dan kebodohan. Ia menyadari bahwa ketidak
puasan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah menunjukan keserakahan
dan ketidak matangan pribadi. Pada tingkat ini, manusia mengetahui bahwa
seseorang tidak dapat memperoleh kebaikan apapun kecuali dengan
kehendak Allah. Hanya Allah yang mengetahui apa yang terbaik dalam situasi
apapun.


Kepribadian tingkat V   :   An-Nafs al-Mut'mainnah
Pada tingkat ini manusia telah menemukan kebahagiaan dalam mencintai
Allah SWT. Ia tidak ingin memperoleh "pengakuan" dari masyarakat atau pun
tentang tujuannya. Jiwanya telah tenang, terbebas dari ketegangan, karena
pengetahuannya telah mantap bahwa segala sesuatu akan kembali kepada
Allah. Ia benar-benar telah memperoleh kualitas yang sangat baik dalam
ketenangan dan keheningan.


Kepribadian tingkat VI   :   An-Nafs al-Radiyah
Ini adalah ciri tambahan bagi jiwa yang puas dan tenang. Ia merasa
bahagia karena Allah ridho padanya. Ia selalu waspada akan tumbuhnya keengganan
yang paling sepele terhadap kodratnya sebagai abdi Tuhan. Ia menyadari bahwa
Islam adalah fitrah insan dan iapun haqqul yaqin pada firman Allah,
"....Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu .... ".
Ia patuh pada Allah semata-mata hanya sebagai perwujudan rasa terima
kasihnya.


Kepribadian tingkat VII   :   An-Nafs al-Kamilah
Ini adalah tingkat manusia yang telah sempurna ( al-Insan al-Kamil ).
Kesempurnaannya adalah kesempurnaan moral yang telah bersih dari semua
hasrat kejasmanian sebagai hasil kesadaran murni akan pengetahuan yang
sempurna tentang Allah. "Selubung diri"nya telah terbuka hanya
mengikuti kesadaran llahi. Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia yang telah
sampai pada tingkat ini. Kepribadiannya mengungkapkan segala hal yang mulia
dalam kodrat manusia.


Ditingkat mana anda berada ? Berjihadlah untuk memperbaiki peringkat.
Seorang ahli hikmah berkata, "Barang siapa hendak memperbaiki jiwa
hendaklah bersungguh-sungguh menekan diri sampai terbebas dari keburukannya."
Insya Allah.

Kamis, 05 April 2012

Pola Hidup Sehat Rasulullah S.A.W

Pola Hidup Sehat Rasulullah S.A.W


Pola Hidup Sehat Rasulullah S.A.W – Sebagian dari kita pasti sudah sering mendengar  istilah pola hidup sehat. Namun tidak semuanya benar benar sudah menjalani pola hidup sehat tersebut. Dalam ajaran islam pola hidup sehat juga sudah dikenalkan oleh rasulullah Muhamad S.A.W. Ajaran polahidup yang sehat mencerminkan pribadi yang kuat.
Masalah kesehatan juga tertera dalam kitab suci Al-Qur’an yaitu ”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orangnya yang beriman” (QS:Yunus 57).
Berdasarkan sejarah hidup baginda Rasulullah, disebutkan bahwa beliau hanya dua kali menderita sakit, yang pertama setelah menerima wahyu di Gua Hira. Penerimaan wahyu tersebut mendadak membuat rasulullah demam karena bemengalami ketakutan. Sedang sakit kedua yang dialami Rasulullah yaitu pada saat menjelang beliau meninggal. Fakta tersebut membuktikan bahwa Rasulullah memiliki ketahanan fisik yang luar biasa. Sementara kondisi alam di Jazirah Arab ketika itu sangat keras, tandus, panas di siang hari dan dingin di malam hari.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTs4atlvgGnEP733fu0YTgKpeX3cJgqYRQUJypQImkNpn9VuIvMERG0gDBjx5-gxMB68BIBF1fMw-Fv2kZ_AtPEWiLhMc9k0DGcqawr2bZ8YP4JUbqkXNCXGLbX-vRvIE-NykZWGeU8PSS/s1600/sehat+ala+rasul.jpeg
Dalam hadist Shahih Bukhari, terdapat 80 hadist yang membahas masalah kesehatan pribadi baginda Rasulullah. Belum lagi yang dibahas pada hadist sahih lainnya, misalnya hadist Shahih Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, dan Shahih Ahmad. Semasa hidup Rasulullah senantiasa peduli pada kesehatan, baik kesehatan pribadinya maupun kesehatan umatnya. Ajarannya beliau pada aspek kesehatan lebih banyak menitik beratkan pada pola pencegahan daripada pengobatan.
Ada dua pola hidup sehat yang menonjol dan relevan dengan disiplin ilmu kesehatan masyarakat yakni kesehatan individu dan masalah pengaturan gizi kesehatan. Pada aspek kesehatan individu, Rasulullah senantiasa menjaga kebersihan dirinya seperti rajin memotong kuku, mencuci dan memotong rambut serta menggosok gigi. Kegiatan memotong kuku dan rambut dilakukan setiap hari kamis atau hari jumat setiap pekan yang patut kita tauladani.
Hal lainnya terkait dengan kesehatan individu Rasulullah adalah membatasi makanan didalam perut. Rasulullah menganjurkan umatnya agar menyediakan ruang di dalam perut untuk tiga hal yakni udara, air dan makanan. Ketiganya harus diisi secara seimbang masing-masing sekitar sepertiga isi perut. Sebagaimana Sabda Rasul: “Kami adalah sebuah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami makan tidak terlalu banyak (tidak sampai kekenyangan)”.
Pada aspek pengendalian gizi, Rasulullah selalu menjaga makanan yang dikonsumsinya. Dalam hidupnya Rasulullah kerap mengonsumsi kurma baik kurma kering maupun kurma basah. Anjuran mengonsumsi kurma beberapa kali disebutkan dalam Al-Quran, seperti pada Surat Ar-Ra’du: 4, “Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman di atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” dan Surat Qaaf: 10, “Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun.”
Para ahli kesehatan juga sepakat mengungkapkan adanya asam amino pada kurma, seperti glutathione sebagai antioksidan. Setelah diteliti secara ilmiah, kurma memiliki semua unsur makanan pokok yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, mineral, gula dan vitamin.
Pola Hidup Sehat

Pola hidup sehat  Rasulullah lebih mengacu pada pengendalian gizi makanan. Makanan Rasulullah terseleksi secara disiplin dan ketat, baik dari tingkat kehalalannya maupun kebaikannya. Ukuran kehalalan dinilai dari cara mendapatkanya secara halal (legal) dan berkaitan dengan urusan akhirat. Sedangkan kebaikan (thayyib) berkaitan dengan kandungan gizi pada makanan untuk dikonsumsi. Makanan yang kerap dikonsumsi Rasul selain kurma adalah madu untuk membersihkan pencernaan. Sebagaimana hadits beliau, “Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yakni madu dan Al Quran” (HR Ibnu Majah dan Hakim).
Mengatur dan menjaga pola tidur adalah salah satu kunci hidup sehat Rasulullah yakni cepat tidur malam hari dan cepat bangun pada dinihari. Rasulullah biasanya tidur selepas Shalat Isya dan bangun pada sepertiga malam untuk shalat lail. Lamanya waktu tidur tidak melebihi batas kebutuhan, demikian pula pada ingin tidur maka beliau tidak akan menahannya. Cara tidur sehat Rasulullah yaitu memiringkan tubuh kearah kanan sambil berzikir hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur. Kadang badan Rasulullah dimiringkan ke kiri sebentar, lalu kembali miring ke sebelah kanan. Model tidur Rasullulah ini sangat baik untuk kesehatan karena merupakan posisi yang pas untuk lambung sehingga makanan mengendap secara proporsional. Ketika beralih ke sebelah kiri sebentar maka proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung (Al Jauziyyah 2004). Ketika terbangun dari tidur, maka Rasulullah langsung bersiwak (sikat gigi), lalu berwudhu dan shalat.
Rahasia pola hidup sehat Rasulullah yang lainya yaitu puasa sunnah diluar bulan Ramadhan. Beberapa puasa sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah adalah puasapaa hari senin dan kamis, puasa enam bulan pada bulan Syawal, dan lainya. Berpuasa merupakan tameng sederhana dan efektif bagi diri pribadi agar terhindar dari berbagai macam penyakit jasmani dan rohani. Pada sisi kesehatan jasmani, berpuasa dapat menjaga organ tubuh dan stamina tubuh agar tetap berenergi serta sarana pembersihan racun (detoksifikasi) secara total dalam tubuh.
Pola hidup sehat Rasulullah yang terkait dengan kesehatan, sebagian besar bersifat preventif. Karena itu, anjuran bersuci, berkhitan, dan senyum semuanya bertendensi pada kesehatan individu yang bermuara para umat Muslim yang sehat jasmani dan rohani.
Demikian seputar pola hidup sehat layaknya rasullulah, semoga bisa menambah manfaat dan wawasan sobat semua.

Rabu, 29 Februari 2012

Ibu Pionir Perubahan



REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhtadi Kadi
Di balik pria yang agung, ada wanita agung di belakangnya. Demikian orang bijak mengatakan. Jika ada lelaki yang menjadi cendekia, tokoh ternama, pemimpin yang disegani, atau mujahid kesatria maka lihat dulu siapa ibunya. Karena, ibu memiliki peran besar dalam membentuk watak, karakter, dan pengetahuan seseorang. Ibu adalah ustazah pertama sebelum si anak berguru kepada orang lainnya, kapan pun dan di manapun.
Ibu adalah orang pertama yang memberikan nutrisi kehidupan berupa air susu dan kasih sayang sebelum mereka bergelut dengan dinamika kehidupan. Maka, kecerdasan, keuletan, dan budi pekerti sang ibu adalah faktor dominan bagi masa depan anak-anaknya.
Seorang ibu memiliki peran penting dalam mendidik anaknya. Jika ia memainkan peran tersebut dengan baik, kelak ia –bahkan masyarakat-- akan memetik buah manisnya dari sang anak berupa ketaatan dan kesuksesan. Namun, bila ia menyia-nyiakan perannya, kelak ia akan menuai kedurhakaan, sikap kurang ajar, rasa malu, dan penyesalan.
Peran paling mendasar yang dimainkan oleh seorang ibu, di antaranya, adalah, menanamkan nilai-nilai luhur dan budi pekerti mulia dalam dirinya sendiri terlebih dahulu karena orang yang tidak punya sesuatu tidak mungkin memberi kepada orang lain.
Allah SWT telah menentukan karakter seorang ibu yang baik dan salehah dalam surat an-Nisa. “Maka, wanita yang salehah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak  ada. Maka dari itu, Allah telah memelihara mereka.” (QS an-Nisa [4]: 34). Karenanya, seorang istri salehah lebih cocok untuk diajak membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah dan melahirkan keturunan yang saleh lagi salehah.
Utsman bin Affan pernah berpesan kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya orang yang hendak menikah itu ibarat orang yang hendak menyemai benih. Maka, hendaknya ia memperhatikan di mana ia akan menyemainya. Dan, ingatlah bahwa wanita yang berasal dari keturunan yang jelek jarang sekali melahirkan keturunan yang baik maka pilih-pilahlah terlebih dahulu meskipun sejenak.”
Dengan ini sangat gamblang bahwa peran ibu sangat urgen dalam dunia pendidikan. Ia adalah pemeran utama dan salah satu faktor terpenting yang melatarbelakangi keberhasilan proses pendidikan itu sendiri. Dengan kesalehannya, masyarakat akan menjadi saleh. Dan, sebab kebrobokan akhlaknya, masyarakat akan menjadi amburadul. Ibu adalah pionir perubahan dan pencetak generasi brilian. Tanpa ibu yang salehah, kita hanya akan menuai duri dan buah yang pahit di tengah masyarakat.

Tuhfat Al-Maudud bi Ahkam Al-Maulud, Panduan Mendidik Anak (1)




REPUBLIKA.CO.ID, Seorang anak, bagi keluarga Muslim tak sebatas sebagai pelipur lara dan buah hati dari sebuah pernikahan.
Setiap orang tua berharap, kala sudah memasuki usia senja atau telah tiada, anak-anaknya akan memanjatkan doa bagi mereka. "Dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka (keduanya) sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS Al-Israa’: 24).
Namun, anak seperti apa yang mampu merealisasikan tugas mulia itu? Tentunya adalah anak-anak saleh dan salehah. Di era modern ini, membentuk generasi Muslim yang saleh bukanlah perkara mudah. Dalam Islam, pendidikan yang mesti ditempuh tidak sebatas pendidikan formal ataupun non-formal di usia anak-anak.
Tetapi, seyogianya pendidikan tersebut harus dimulai bahkan sebelum sepasang calon suami istri memutuskan untuk menikah, terutama tentang pentingnya menanamkan sebuah pemahaman terkait urgensi anjuran memperoleh keturunan.
Faktor inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan penting bagi Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayyim Al-Jauziyyah (751 H), masyhur dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, untuk mengarang buku panduan bagi orang tua dalam menyelenggarakan pendidikan bagi buah hati.
Upaya Ibnu Qayyim itu terbilang sesuatu yang baru pada zamannya. Belum didapati karya serupa yang secara khusus fokus mengkaji tentang pendidikan anak. Apalagi, bahasan yang dikupas cukup kompleks dan komprehensif. Semuanya dirangkum dalam 17 bab yang menjadi bahasan utama kitab.
Kitab itu juga dilengkapi pendalaman tentang sejumlah persoalan yang turut melengkapi setiap babnya. Kitab yang ditulis pun tidak hanya berbicara tentang hal ihwal yang berkenaan dengan anak, mulai dari hukum-hukum fikih hingga kiat-kiat praktis mendidik anak. Lebih dari itu, Ibnu Qayyim mengupas ragam argumentasi yang memperkuat perintah memperbanyak keturunan dan dasar filosofis di balik amar tersebut.
Meskipun kitab Tuhfat kental dengan nuansa disiplin hadits, metode istinbath yang diterapkan lebih menyerupai atau bahkan tak ubahnya pendekatan fikih. Metode serupa yang digunakan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya yang bertajuk Zaad al- Ma’ad.
Dalam kitab tersebut, misalnya, secara jelas penerapan ijtihad fikih membaca dan menyikapi teks hadits dalam konteks realitas zaman. Hal itu tampak ketika Ibnu Qayyim membahas tentang hukum jihad. Sikap tegas perlawanan terhadap ekspansi dan penindasan oleh tentara Salib dan Mongolia. Tidak berlebihan jika dikatakan metode dan corak yang diterapkan oleh Ibnu Qayyim sedikit banyak terinspirasi oleh sang guru, Ibnu Taimiyyah.

Islam Ajarkan Cinta Damai

TRIBUNNEWS.COM - Semua agama mengajarkan kedamaian. Tindak kekerasan harus dihilangkan. Selalu menjunjung tinggi sikap kebersamaan, kekompakan dan persatuan. Kejahatan dan kekerasan menjadi musuh bersama yang paling utama. Maka, sikap optimisme untuk membangun bangsa Indonesia ke depan harus menjadi prioritas utama. Semua itu kita satukan dalam bingkai kebersamaan Bhinneka tunggal ika (walaupun berbeda-beda namun tetap satu).
Bila merenungkan keadaan bangsa saat ini, seakan-akan Indonesia semakin lama semakin terpuruk dengan mencuat berbagai issue. Birokrasi sudah mulai ambruk, karena dinodai oleh para koruptor yang bertopeng manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hampir seluruh pelosok tanah air, mulai dari penggusuran pedagang asongan, pedagang kaki lima, kasus Mesuji, Bima hingga permasalahan agraria.
Di samping issue tersebut, tambah lagi permasalahan bangsa terhadap pembubaran ormas anarkis. Ratusan orang berdemo menuntut kedamaian dan mengecam kekerasan. Mereka berharap Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan. Karena mereka menganggap FPI telah bertindak keras dalam setiap demonstrasi dan sweeping yang dilakukannya. Sehingga dengan permasalahan ini akan menambah pekerjaan rumah bagi pejabat Negara untuk menyelesaikan persoalan antar anak bangsa sendiri.
FPI adalah ormas yang mengusung menegakkan syariat Islam dianggap anarkis oleh sebagian orang namun dianggap baik bagi sebagian yang lain. Sehingga muncul kalangan pro dan kontra terhadap ormas tersebut. Sehingga menteri dalam negeri Gamawan Fauzi pun ikut berkomentar untuk menata kembali tentang undang-undang keormasan.
Dibalik permasalahan itu semua, sebenarnya Islam tidak pernah mendukung tindak kekerasan, bahkan Islam mengecam tindakan biadab tersebut. Islam agama yang cinta damai, menjunjung tinggi hak setiap warga masyarakat, mengedepankan sikap toleransi dengan agama lain. Maka, siapapun dia, dari manapun ia jika “katanya” beragama Islam namun bertindak kekerasan dan kekisruhan tentunya mereka bukan mewakili Islam.
span style="font-size:12.0pt;line-height:200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Bila kita melihat perjuangan Nabi saw dan sahabat di Madinah selalu mengedepankan budaya kedamaian. Orang Islam menghargai kerukunan beragama, hingga melahirkan piagam Madinah. Inilah salah satu bukti bahwa Nabi saw dan sahabat selalu bersikap toleransi dan menjauhkan sikap anarkis lagi biadab. Maka Islam tidak pernah mencontohkan tindak kekerasan. Sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 256).
Konsep Islam yang telah diturunkan Allah swt kepada Nabi saw sungguh sangat sempurna. Islam agama yang universal, lengkap dengan segala atribut untuk menghadapi dunia modernisasi. Namun demikian, bila ada orang Islam atau kelompok yang mengaku dirinya Islam bertindak kekerasan dan tidak menjunjung tinggi kerukunan berarti dia sama sekali tidak mewakili Islam. Yang salah bukanlah ajaran Islam, tapi yang salah adalah orang Islam, sebagian mereka tidak tahu bahkan tidak mau tahu dan tidak mengamalkan ajaran yang telah digariskan Islam.
Dakwah Islam bukan dengan memukul tapi dengan merangkul. Menyebarkan Islam bukan dengan menyinggung namun dengan menyentuh. Mensosialisasikan ajaran Islam bukan dengan saling mengejek namun dengan mengajak. Sungguh indah Islam bila kita pelajari, hanya orang-orang salah tafsir ayat al-quran yang melakukan tindakan kriminal. Padahal kriminalisme adalah musuh Islam. Maka Islam memiliki budaya salam, dengan arti selalu mengedepankan kedamaian. Ditegaskan dalam firmanNya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS al-An'am [6): 108).
Untuk membendung kerusakan Islam yang disebabkan oleh segelintir orang, maka umat Islam harus bersatu untuk melawan kekerasan, kriminalitas, dan tindakan anarkis. Umat Islam harus bersikap “Kedamaian Yes But Kekerasan No”. Sikap menolak kekerasan untuk menghilangkan citra Islam yang diidentikkan dengan kekerasan. Umat Islam harus mampu membendung siapapun dari umat Islam yang selalu bertindak anarkis.
Oleh karenanya, mengajak umat Islam untuk selalu mengamalkan ajaran Islam dengan mengamalkan dan mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kedamaian harus menjadi tongkat perjuangan dan eksistensi umat Islam di masa depan. Tindak kekerasan, anarkis dan krimilitas harus menjadi musuh bersama. Ditegaskan olehNya: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Anfal [8]: 61).
Tambah lagi penegasanNya: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS al-Nahl [16]: 93). Berlanjut dengan ayat yang lain: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali 'Imran [3]: 159).
Maka, mari bersikap arif dan damai terhadap siapapun yang tidak mengganggu kita. Satukan langkah untuk menuju bangsa yang makmur, sejahtera dan damai dalam bingkai NKRI.o:p>
Penulis: Jubir Perkumpulan mahasiswa bumoe Aceh (Peuhaba) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta/Mahasiswa S1 Dakwah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Jumat, 24 Februari 2012

Alquran Dibakar, Ribuan Warga Afghanistan: Matilah Amerika!

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Ribuan pengunjuk rasa warga Afghanistan kembali turun ke jalan, Rabu (22/2), memprotes tindakan pelecehan agama oleh tentara Amerika Serikat (AS). Aksi unjuk rasa hari kedua menuntut dihukum beratnya tentara AS yang membakar Alquran. Para pengunjuk rasa mengekspresikan kemarahan sambil berteriak, 'Matilah Amerika'.
Para pengunjuk rasa berkonvoi dan melempari pasukan keamanan termasuk polisi. Aparat pun melepaskan tembakan ke udara untuk menenangkan pengunjuk rasa. Melihat aparat yang melepaskan tembakan, para pengunjuk rasa terus mengutuk AS dan Presiden Afganistan yang dianggap sebagai boneka AS.
"Matilah Amerika, Matilah Karzai," teriak perunjuk rasa dalam aksi yang terus menyebar di pinggiran kota Kabul. Sementara itu, pengunjuk rasa lain juga digelar di timur Afganistan, Jalalabad.
Pada Selasa, (21/2), lebih dari 2.000 warga Afghanistan berkumpul dan mengepung pangkalan udara AS di Bagram. Aksi protes ini meminta agar AS dan NATO menghukum keras bagi tentara mereka yang dengan sengaja membakar salinan Quran dan membuangnya di tempat sampah. Walaupun seketika itu, permintaan maaf muncul dari Gedung Putih rumah dan Pemimpin NATO.

Kamis, 16 Februari 2012

Ummu Mihjan: Miskin Harta, Kaya Amal



REPUBLIKA.CO.ID, Bagi sebagian orang di zamannya, barangkali Ummu Mihjan hanyalah wanita miskin dan lemah. Keinginannya yang kuat untuk berbuat yang terbaik bagi Agama Allah SWT membuatnya mendapat tempat dan perhatian terhormat di hati Rasulullah SAW.
Muslimah tua berkulit hitam itu membaktikan sisa hidupnya untuk Islam. Ia selalu mendapat perhatian dari Rasulullah. Terlebih, Nabi Muhammad SAW  biasa menyambangi orang-orang miskin, menanyakan kabar dan memberi makan kepada mereka.
Dalam kondisi hidupnya yang serba terbatas, Ummu Mihjan masih menyadari bahwa dirinya memiliki kewajiban akidah dan berbuat yang terbaik bagi masyarakat. Namun, ia juga menyadari tak mampu menyumbangkan harta bagi agama yang dicintainya.
Semangat untuk mengabdikan diri bagi Islam terus menggelora dalam kalbunya. Ia adalah wanita miskin dengan kekayaan hati dan akidah yang kokoh. Ummu Mihjan tak mau pesimistis dan putus asa dengan keadaannya. Ia mengimani ajaran Islam yang melarang umatnya menyimpan dan menanam sifat putus asa dalam hatinya.
Lalu apa yang bisa dia perbuat untuk Islam dengan kemiskinannya? Ummu Mihjan miskin, tapi cerdas. Ia mampu memanfaatkan celah-celah ladang amal yang seringkali diabaikan orang. Sang Muslimah yang lemah itu tetap yakin bisa meraih surga Illahi dengan kemampuan yang dimilikinya.
Ia mengabdikan dirinya untuk Islam dengan cara menjaga kebersihan tempat shalat kaum Muslim. Setiap hari, ia membersihkan lingkungan masjid, menyapunya, dan membuang sampah serta kotoran yang berserakan di masjid.
Ummu Mihjan tahu benar bahwa masjid memiliki peranan vital bagi umat Islam. Masjid adalah tempat shalat lima waktu dan madrasah yang telah telah menghasilkan banyak ulama dan para pahlawan islam. Di dalamnya, parlemen Islam berkumpul lima kali setiap harinya untuk mengadakan musyawarah, bertukar fikiran, dan mempererat tali kasih sayang di antara mereka.
Masjid bagi umat Islam, kala itu,  layaknya sebuah lembaga pendidikan yang mengajarkan dasar-dasar pembinaan umat.  Kesadaran inilah yang membuat Ummu Mihjan tidak merasa rendah diri dengan apa yang dilakukannya. Ia sadar bahwa inilah amal yang akan mengantarkannya menuju Fidaus.
Ummu Mihjan tak pernah meremehkan dan melalaikan tugasnya  membersihkan sampah dan kotoran. Hal itu dilakukannya agar beliau dapat memberikan suasana yang segar dan nyaman kepada Rasulullah dan para sahabat dalam melangsungkan muktamar tingkat tinggi yang rutin dilaksanakan itu.
Ia menunaikan tugas mulianya itu hingga akhir hayatnya. Ummu Mihjan meninggal saat hari sudah larut malam. Para sahabat kemudian membawa jenazahnya kepada Rasulullah, namun pada waktu itu para shahabat mendapati beliau sudah tidur.
Para sahabat tidak mau mengganggu tidur Rasulullah. Akhirnya,  mereka menshalatkan dan memakamkan jenazah Ummu Mihjan di pemakaman Baqi’ tanpa disertai Rasulullah SAW.
Pagi harinya, Rasulullah merasa kehilangan dan menanyakan keberadaan Ummu Mihjan kepada para sahabat. Mereka berkata, ‘’Kami telah memakamkannya, wahai Rasulullah. Sungguh, semalam kami telah mendatangi Engkau, namun kami mendapati Engkau sudah tertidur, sehingga kami tidak mau mengganggu tidurmu.’’
Rasul bersabda,  ‘’Berangkatlah kalian (ke kuburnya).’’ Rasulullah pun lalu berjalan bersama para shahabat sampai ke makam Ummu Mihjan. Sesampainya di sana, Rasulullah lalu berdiri dan para shahabat pun berbaris di belakang beliau. Beliau lalu menshalatkannya dengan empat kali takbir.
Selesai shalat beliau bersabda, ‘’Pekuburan ini penuh dengan kegelapan yang menimpa para penghuninya dan Allah menerangi mereka berkat shalatku.’’
Semoga Allah mencurahkan rahmatNya kepada Ummu Mihjah, seorang wanita tua yang miskin dan lemah, namun selalu berusaha mempersembahkan yang terbaik bagi Islam sekuat tenaganya. Ia merupakan pelajaran bagi kaum Muslim sepanjang masa agar tidak menganggap remeh suatu kebajikan walaupun sedikit.
Dialah wanita yang selama hidupnya dan sesudah kematiannya mendapat perhatian Rasulullah SAW.  Wahai kaum wanita… janganlah kalian menganggap remeh suatu kebaikan walaupun sedikit. Jangan pernah berkecil hati dan merasa bahwa kalian adalah orang yang lemah dan tak sanggup memberikan kontribusi apa pun dalam membangun tata kehidupan masyarakat Islam. Becerminlah kepada keteladanan Ummu Mihjan.

Tujuh Kiat Agar Anak Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW

REPUBLIKA.CO.ID, Berusaha mencontoh perilaku Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu wujud bahwa kita mencintai dan menghormati Rasul Allah tersebut. Perilaku tersebut sudah semestinya dimulai sejak usia dini. Berikut ini tujuh kiat mengajarkan anak agar mengingat dan mencontoh perilaku Rasulullah.
1. Satu Kebaikan Sehari
Membiasakan anak melakukan satu perbuatan baik dalam satu hari merupakan langkah awal untuk memulai hari. Mulai dengan hal kecil, misalnya tersenyum saat bertemu dengan kerabat. Jika ini dilakukan setiap hari akan membiasakan anak terhadap perbuatan baik seperti yang dilakukan Rasulullah. Orangtua dituntut untuk kreatif dalam hal ini. Bisa juga meminta anak untuk membantu tetangga. Jika anak sudah terbiasa, tingkatkan dengan 'dua kebaikan dalam sehari' dan seterusnya.

2. Membacakan cerita tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW sebelum tidur.
Mendengarkan cerita mengenai Rasulullah membantu anak menyerap pesan dari cerita-cerita tersebut.

3. Bepergian ke Luar Negeri
Tentu hal ini bukan menjadi suatu kewajiban. Jika kebetulan anda memiliki waktu dan dana lebih, tak ada salahnya melakukan tips yang satu ini. Cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai latar belakang dan bahasa negara yang akan anda kunjungi. Jangan ragu mengeksplorasi kebudayaan setempat. Mengetahui bahwa dunia terdiri dari berbagai macam latar belakang budaya, mampu menumbuhkan rasa kemanusiaan dan menghargai orang dari budaya yang berbeda dalam diri anak.

4. Bergaul dengan Anak yatim
Nabi sangat mencintai umatnya yang mengasihi anak yatim. Bahkan, membelai rambut anak yatim mendatangkan keberkahan tersendiri. Ajak anak mengunjungi panti asuhan dan ikutkan dia dalam kegiatan di panti. Contoh kegiatan yang bisa dilakukan anak anda, misalnya, mengajar anak yatim atau membantu menggalang dana bagi mereka. Anak juga bisa diajak mengatur suatu perjalanan wisata bersama dengan anak yatim.

5. Membaca Alquran dan Tafsirnya
Membaca Alquran dan tafsirnya membantu anak mengerti makna dibalik setiap surat yang dibaca.

6. Biasakan Anak Selalu Berdoa
Ajarkan anak agar selalu berdoa dimanapun dan kapanpun. Dengan berdoa, membantu anak agar selalu mengingat Allah dan anak kita senantiasa berada dalam perlindungan Allah. Insya Allah.

7. Bertemu Teman di Masjid
Nabi menjadikan masjid sebagai tempat pertemuan dan bersosialisasi dengan umatnya. Jadikan masjid sebagai tempat anak bertemu dengan teman-temannya. Selain shalat dan membaca Alquran, tak ada salahnya bagi anak untuk membawa buku cerita favoritnya. Anak yang nyaman saat berada di masjid akan memiliki kehidupan sosial yang baik.

Meneladani Nabi SAW Lewat Shalawat

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ratusan siswa Sekolah Dasar (SD) Nasima Semarang, Jawa Tengah, diajak meneladani Nabi Muhammad SAW melalui gerakan menulis 1.800 shalawat, Sabtu (28/1), yang dilangsungkan serentak di halaman sekolah.
Para siswa terlihat bersemangat menuliskan lafal shalawat "Nariyah" dengan huruf Arab dalam kertas-kertas yang telah disediakan, didampingi oleh sejumlah guru, hingga tulisan shalawat itu genap mencapai 1.800 lembar.
Menurut Ketua Panitia Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW SD Nasima Semarang, Muhson, gerakan menulis shalawat Nariyah memang ditujukan menyambut Maulid Nabi Muhammad yang jatuh pada 5 Februari mendatang.
"Tujuan utamanya, kami ingin menumbuhkan rasa kecintaan para siswa terhadap Nabi Muhammad SAW, sekaligus meneladani sifat-sifatnya. Setidaknya, siswa sedari awal sudah terbiasa bershalawat," katanya.
Ia menjelaskan, gerakan menulis 1.800 shalawat Nariyah itu dilakukan oleh sekitar 300 siswa mulai kelas IV-VI SD Nasima Semarang, namun mereka sebelumnya sudah disuruh menghafal lafal shalawat tersebut.
"Awalnya, kami biasakan mereka membaca dan menghafal shalawat, kemudian kami dorong mereka untuk bisa menuliskan lafalnya dalam huruf Arab," kata Guru Kelas II SD Nasima Semarang itu.
Selain itu, kata dia, para siswa juga diberikan pemahaman makna shalawat yang mereka baca, hafal, dan tuliskan selama ini, agar mereka bisa mengambil nilai-nilai edukatif dan religi yang terkandung di dalamnya.

Kamis, 17 November 2011

Mana yang lebih utama, berqurban dengan menyembelih sapi atau domba ?


Jawab :
Berqurban yang paling utama adalah dengan unta, kemudian sapi kemudian kambing kemudian unta atau sapi yang disembelih oleh tujuh orang berserikat, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat Jum’at : 
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً
( barang siapa pergi ( ke masjid untuk shalat Jum’at ) pada jam pertama maka seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor unta, dan barang siapa pergi pada jam kedua maka seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor sapi, dan barang siapa pergi pada jam ketiga maka seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor domba yang bertanduk, dan barang siapa pergi pada jam keempat maka seakan-akan dia telah berqurban dengan seekor ayam, dan barang siapa pergi pada jam kelima maka seakan-akan dia telah berqurban dengan sebutir telur. (HR. Ahmad, Malik, Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan mufadhalah (mengutamakan satu dengan lainnya), dalam mendekatkan diri kepada Allah antara unta, sapi dan kambing, dan tidak diragukan bahwa berqurban adalah termasuk ketaatan yang paling agung di sisi Allah Ta’ala, dan karena unta lebih mahal, lebih banyak dagingnya dan manfaatnya, pendapat ini dikeluarkan oleh Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad, namun Imam Malik berkata :
yang utama adalah (berqurban) dengan domba yang berumur enam bulan masuk ke bulan ke tujuh dari umurnya, kemudian dengan sapi kemudian dengan unta, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berqurban dengan dua ekor domba, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan kecuali yang lebih utama.
Jawaban atas pendapat Imam Malik adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kadang-kadang memilih yang tidak utama untuk meringankan ummat, karena mereka akan selalu berusaha mencontohnya, dan
dia shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka memberatkan ummatnya, dan dia shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan keutamaan unta dari sapi dan kambing sebagaimana hadits di atas.
(Dikutip dari Fatwa-fatwa tentang Qurban, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin; Syaikh Abdul Aziz Abdullah Bin Baz, Majmu’ Fatawa, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Jilid 6 hal,385)
Sumber : http://www.salafy.or.id/?p=492

Kamis, 30 Juni 2011

RAHMAT ALLAH BAGI UMAT MUHAMMAD DENGAN DUA HARI RAYA (IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA)

RAHMAT ALLAH BAGI UMAT MUHAMMAD DENGAN DUA HARI RAYA (IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA)

Oleh Syaikh Ali Bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari


Dari Anas Radliallahu 'anhu ia berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya dimana mereka bersenang-senang di dalamnya di masa jahiliyah[ ]. Maka beliau bersabda :
"Artinya : Aku datang pada kalian sedang kalian memiliki dua hari yang kalian besenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah. Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua hari itu yaitu : hari Raya Kurban dan hari Idul Fithri". (Hadits Shahih, dikeluarkan oleh Ahmad (3/103,178,235), Abu Daud (1134), An-Nasa'i (3/179) dan Al-Baghawi (1098).
Berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna :
"Maksudnya : Karena hari Idul Fihtri dan hari raya Kurban ditetapkan oleh Allah Ta'ala, merupakan pilihan Allah untuk mahluk-Nya dan karena keduanya mengikuti pelaksanaan dua rukun Islam yang agung yaitu haji dan puasa. Pada dua hari tersebut, Allah mengampuni orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang yang berpuasa, dan Dia menebarkan rahmat-Nya kepada seluruh mahluk-Nya yang taat. Adapun hari Nairuz dan Mahrajan merupakan pilihan para pembesar pada masa itu yang tentunya disesuaikan dengan zaman, selera dan semisalnya dari keistimewaan yang akan pudar. Maka perbedaan keistimewaan dari Idul Fithri dan Idul Adha dengan hari Nairuz dan Mahrajan sangat jelas bagi siapa yang mau memperhatikannya". [Fathur Rabbani 6/119].

Bolehnya Mendengarkan Rebana Yang Dimainkan Anak Perempuan Kecil
Dari Aisyah radliaalahu 'anha, ia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku sedangkan di sisiku ada dua anak perempuan kecil yang sedang bernyanyi[ ] dengan nyanyian Bu'ats. Lalu beliau berbaring di tempat tidur dan memalingkan wajahnya. Masuklah Abu Bakar, lalu dia menghardikku dan berkata : 'Seruling syaitan di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam !?' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian menghadap ke Abu Bakar seraya berkata :'Biarkan kedua anak perempuan itu'. Ketika beliau tidur, aku memberi isyarat dengan mata kepada dua anak itu maka merekapun keluar".
Dalam riwayat lain : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Wahai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita". [Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari 949, 952, 2097, 3530, 3931. Diriwayatkan juga oleh Muslim 892. Ahmad 6/134 dan Ibnu Majah 1898]
Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/322) mengatakan :
"Bu'ats[ ], adalah hari yang terkenal di antara hari-harinya bangsa Arab. Pada hari itu suku Aus mendapatkan kemenangan yang besar dalam peperangan dengan suku Khazraj. Peperangan antara kedua suku ini berlangsung selama 120 tahun sampai datang Islam. Syair yang didendangkan oleh kedua anak perempuan itu berisi penggambaran (tentang) peperangan dan keberanian serta menyinggung upaya untuk membantu tegaknya perkara agama.

Adapun nyanyian yang berisi kekejian, pengakuan berbuat haram dan menampakkan kemungkaran dengan terang-terangan melalui ucapan, adalah termasuk nyanyian yang dilarang. Tidak mungkin nyanyian seperti itu yang di dendangkan di hadapan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dilalaikan untuk mengingkarinya.

Sabda beliau : "Ini adalah hari raya kita", beliau mengemukakan alasan dari Aisyah bahwa menampakkan kegembiraan pada dua hari raya merupakan syiar (slogan) agama ini, dan tidaklah hari raya itu seperti hari-hari lain". [Selesai ucapan Imam Al-Baghawi].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
"Dalam hadits ini ada beberapa faedah : Disyariatkan untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi'ar agama.[ ]

BERPENAMPILAN INDAH PADA HARI RAYA

Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata :
"Artinya : Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49]
Berkata Al-Allamah As-Sindi.
"Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata.
"Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan :
"Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan :
"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".

Malik berkata :
"Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".

Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441).
"Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah[ ], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman


HUKUM SHALAT ID

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
"Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Id hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu Hanifah[ ] dan selainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.

Adapun pendapat orang yang menyatakan bahwa shalat Id tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Id termasuk syi'ar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih banyak dari pada berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan pula takbir di dalamnya.

Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Id hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa 23/161]

Berkata Al-Allamah Asy Syaukani dalam "Sailul Jarar" (1/315).[ ]
"Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid.

Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudaranya.[ ]

Semua ini menunjukkan bahwa shalat Id hukumnya wajib dengan kewajiban yang ditekankan atas setiap individu bukan fardhu kifayah. Perintah untuk keluar (pada saat Id) mengharuskan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki uzur. Inilah sebenarnya inti dari ucapan Rasul, karena keluar ke tanah lapang merupakan perantara terlaksananya shalat. Maka wajibnya perantara mengharuskan wajibnya tujuan dan dalam hal ini kaum pria tentunya lebih diutamakan daripada wanita".

Kemudian beliau Rahimahullah berkata :
"Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Id adalah : Shalat Id dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum'at apabila bertetapan waktunya (yakni hari Id jatuh pada hari Jum'at -pen)[ ]. Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan sungguh telah jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus melaksanakannya secara berjama'ah sejak disyari'atkannya sampai beliau meninggal. Dan beliau menggandengkan kelaziman ini dengan perintah beliau kepada manusia agar mereka keluar ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Id"[ ]

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" (hal 344) setelah menyebutkan hadits Ummu Athiyah :

"Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar sunnah ......"


MANDI SEBELUM SHALAT ID

Dari Nafi' ia berkata : "Abdullah bin Umar biasa mandi pada hari idul Fithri sebelum pergi ke mushallah"[ ]

Imam Said Ibnul Musayyib berkata :
"Artinya : Sunnah Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi" [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]
Aku katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal demikian.

Berkata Imam Ibnu Qudamah :
"Disunnahkan untuk bersuci dengan mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir" [Al-Mughni 2/370]

Adapun yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi ini maka haditsnya dhaif (lemah) [ ]

KELUAR MENUJU MUSHALLA
(Tanah Lapang Yang Digunakan Untuk Shalat Ied)

Dari Abu Said Al Khudri Radliallahu 'anhu, ia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat ..." [Hadits Riwayat Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa'i 3/187]
Berkata Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki :
"Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Harram". [Hadits Riwayat Bukhari 1190 dan Muslim 1394]
Kemudian, walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya. [Al-Madkhal 2/283].

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan, [Al-Mughni 2/229-230] :
"Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al-Auza'i dan Ashabur Ra'yi. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.” [ ]

Siapa yang tidak mampu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya Insya Allah. [Al-Mughni 2/229-230].

Di sini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat.

Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangannya mushalla (tanah lapang yang digunakan untuk shalat Id) meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh ulama. [Lihat Nihayah Al Muhtaj 2/375 oleh Ar-Ramli].

Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin.

Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.


MENGAMBIL JALAN YANG BERLAINAN KETIKA PERGI DAN KEMBALI DARI MUSHALLA

Dari Jabir bin Abdillah Radliallahu 'anhu, ia berkata :
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari raya biasa mengambil jalan yang berlainan (ketika pergi dan ketika kembali dari mushalla-pen)" [Hadits Riwayat Bukhari 986].
Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah :
"Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Beliau pergi ke mushalla melewati satu jalan dan kembali dengan melewati jalan lain. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya adalah agar beliau dapat memberi salam kepada orang-orang yang berada di dua jalan itu. Ada yang mengatakan : Agar mendapatkan barakahnya dua jalan yang berbeda. Ada pula yang mengatakan : Agar beliau dapat memenuhi hajat orang yang butuh pada beliau di dua jalan itu. Ada pula yang mengatakan tujuannya agar dapat menampakkan syi'ar Islam .... Dan ada yang mengatakan -inilah yang paling benar- : Beliau melakukan perbuatan itu untuk semua tujuan tersebut dan hikmah-hikmah lain yang memang perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kosong dari hikmah". [Zadul Ma'ad 1/449].

Imam Nawawi rahimahullah setelah menyebutkan perkataan-perkataan di atas, beliau mengomentari : " Kalau pun tidak diketahui apa sebabnya beliau mengambil jalan yang berbeda, disunahkan untuk meneladaninya secara pasti, wallahu a'lam". [Raudlatuh Thalibin 2/77]. Lihat ucapan Imam Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/314).


Dua Peringatan :

Pertama.
Berkata Al-Baghawi dalam "Syarhus Sunnah" (4/302-303) : "Disunnahkan agar manusia berpagi-pagi (bersegera) ke mushalla (tanah lapang) setelah melaksanakan shalat shubuh untuk mengambil tempat duduk mereka dan mengumandangkan takbir. Sedangkan keluarnya imam adalah pada waktu akan ditunaikannya shalat".

Kedua.
At-Tirmidzi meriwayatkan (530) dan Ibnu Majah (161) dari Ali Radliallahu 'anhu bahwa ia berkata : "Termasuk sunnah untuk keluar menunaikan shalat Id dengan jalan kaki". [Dihasankan oleh Syaikh kami Al-Albani dalam "Shahih Sunan Tirmidzi"].

TAKBIR PADA IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA

Allah Ta'ala berfirman :
"Artinya : Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur".
Telah pasti riwayat bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Beliau keluar pada hari Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau menghentikan takbir". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" dan Al-Muhamili dalam "Kitab Shalatul 'Iedain" dengan isnad yang shahih akan tetapi hadits ini mursal. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Lihat Kitab "Silsilah Al Hadits As-Shahihah" (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar menunaikan shalat Id]
Berkata Al-Muhaddits Syaikh Al Albani :
"Dalam hadits ini ada dalil disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini sekedar menjadi berita ...

Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir secara serempak dengan dipimpin seseorang -pent) sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut[ ], dan hendaklah kita selalu meletakkan di hadapan mata kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam".

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka beliau rahimahullah menjawab :
"Segala puji bagi Allah, pendapat yang paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq ( tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang empat". [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72]

Aku katakan : Ucapan beliau rahimahullah : '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu tanpa pengkhususan.

Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416 : "Bab Takbir pada hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah".

Umar Radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya.

Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid".

Pada pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat "Irwaul Ghalil' 650]

Sepanjang yang aku ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya.

Seperti Ibnu Mas'ud, ia mengucapkan takbir dengan lafadh :
Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu.
"Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar, Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan untuk Allah segala pujian". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih]
Sedangkan Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa Ajalla Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa.
"Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada kita". [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]
Abdurrazzaq[ ] -dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam "As Sunanul Kubra" (3/316)- meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salman Al- Khair Radliallahu anhu, ia berkata :
"Artinya : Agungkanlah Allah dengan mengucapkan : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabira".
Banyak orang awam yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam "Fathul Bari (2/536) :
"Pada masa ini telah diada adakan suatu tambahan[ ] dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak ada asalanya".

APAKAH ADA SHALAT SUNNAH SEBELUM DAN SESUDAH SHALAT ID
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata :
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at pada hari Idul Fithri, beliau tidak shalat sebelumnya dan tidak pula sesudahnya...." [Hadits Riwayat Bukhari 989, At-Tirmidzi 537, An-Nasa'i 3/193 dan Ibnu Majah 1291]
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullah :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunah) ketika tiba di tanah lapang sebelum shalat Id dan tidak pula sesudahnya"

Al-Hafidh Ibnu Hajar menyatakan[ ] :
"Jadi, kesimpulannya bahwa untuk shalat Id tidak ada shalat sunnah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya. Berbeda dengan orang yang mengqiyaskannya (menyamakannya) dengan shalat Jum'at" [Lihat Syarhus Sunnah 4/316. 317]


WAKTU PELAKSANAAN SHALAT ID

Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih"[ ]

Ini riwayat yang paling shahih[ ] dalam bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi isnadnya.

Berkata Ibnul Qayyim :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit" [Zadul Ma'ad 1/442]

Shiddiq Hasan Khan menyatakan :
"Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari" [Al-Mau'idhah Al-Hasanah 43,44]

Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi :
Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka" [Minhajul Muslim 278]

Peringatan :
Jika tidak diketahui hari Id kecuali pada akhir waktu maka shalat Id dikerjakan pada keesokan paginya.

Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu) kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla mereka keesokan paginya"


SHALAT ID TANPA AZAN DAN IQAMAH

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu ia berkata :
"Artinya : Aku pernah shalat dua hari raya bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan azan dan tanpa iqamah" [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Ibnu Abbas dan Jabir Radhiyallahu 'anhum berkata :
"Artinya : Tidak pernah dikumandangkan azan (untuk shalat Id -pent) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha" [Riwayat Muslim 887, Abu Daud 1148 dan Tirmidzi 532]
Berkata Ibnul Qayyim :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila tiba di mushalla (tanah lapang), beliau memulai shalat tanpa azan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan "Ash-Shalatu Jami'ah". Yang sunnah semua itu tidak dilakukan. [Zaadul Ma'ad 1/442]

Imam As-Shan'ani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam bab ini :
"Ini merupakan dalil tidak disyariatkannya azan dan iqamah dalam shalat Id, karena (mengumandangkan) azan dan iqamah dalam shalat Id adalah bid'ah" [Zaadul Ma'ad 1/442]


TATA CARA SHALAT ID

Pertama : Jumlah raka'at shalat Id ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu.
"Artinya : Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]
Kedua : Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :
"Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku" [ ]
Berkata Imam Al-Baghawi :
"Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada rakaat pertama shalat Id sebanyak tujuh kali selain takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnya" [Ia menukilkan nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam " Syarhus Sunnah 4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa Syaikhul Islam' 24/220,221]

Ketiga : Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Id[ ] Akan tetapi Ibnul Qayyim berkata : "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul- mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" [Zadul Ma'ad 1/441]

Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal 348 :
"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Id diriwayatkan dari Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di sini tidak shahih.

Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif (lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang"

Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami :
"Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir".

Keempat : Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapi ada atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu [ ] tentang hal ini. Ibnu Mas'ud berkata :
"Artinya : Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah Azza wa Jalla"
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
"(Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut".

Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.

Kelima : Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah. Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat lain membaca surat Al-Qamar[ ] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau membaca surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah[ ]

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
"Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari belaiu selain itu"[ ]

Keenam : (Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. [ ]

Ketujuh : Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id berjama'ah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at.
Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam "Shahihnya" :
"Bab : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua raka'at" [Shahih Bukhari 1/134, 135]
Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" 2/550 berkata setelah menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di atas).

Dalam tarjumah ini ada dua hukum :
1. Disyariatkan menyusul shalat Id jika luput mengerjakan secara berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan.
2. Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'at
Berkata Atha' : "Apabila seseorang kehilangan shalat Id hendaknya ia shalat dua rakaat" [sama dengan di atas]

Al-Allamah Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan :
"Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati shalat Id bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakat, sehingga ia mendapatkan keutamaan shalat Id sekalipun luput darinya keutamaan shalat berjamaah dengan imam".

Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla[ ] untuk shalat Id. Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali"[ ]

Berkata Imam Malik dalam 'Al-Muwatha' [ ]
"Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada raka'at kedua sebelum membaca (Al-Fatihah)"

Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang tata caranya seperti shalat Id. sebagaimana shalat-shalat lain [Al-Mughni 2/212]

Kedelapan : Takbir (shalat Id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada perselisihan [ ] Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.


KHUTBAH SETELAH SHALAT ID

Termasuk sunnah dalam khutbah Id adalah dilakukan setelah shalat. Dalam permasalahan ini Bukhari membuat bab dalam kitab 'Shahih'nya [ ] : "Bab Khutbah Setelah Shalat Id".

Ibnu Abbas berkata :
"Artinya : Aku menghadiri shalat Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu 'anhum. Semua mereka melakukan shalat sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 884 dan Ahmad 1/331 dan 346]
Ibnu Umar berkata :
"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha sebelum khutbah" [Riwayat Bukhari 963, Muslim 888, At-Tirmidzi 531, An-Nasa'i 3/183, Ibnu Majah 1276 dan Ahmad 2/12 dan 38]
Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan ketika mengomentari bab yang dibuat Bukhari di atas [ ] :
"Yakni : Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang diamalkan Al-Khulafaur Rasyidin adalah khutbah setelah shalat. Adapun perubahan yang terjadi -yang aku maksud adalah mendahulukan khutbah dari shalat dengan mengqiyaskan dengan shalat Jum'at- merupakan perbuatan bid'ah yang bersumber dari Marwan" [Dia adalah Marwan Ibnul Hakam bin Abil 'Ash, Khalifah dari Banni Umayyah wafat tahun 65H, biografinya dalam 'Tarikh Ath-Thabari 7/34]

Berkata Imam Tirmidzi [ ] :
"Yang diamalkan dalam hal ini di sisi ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan selain mereka adalah shalat Idul Fithri dan Adha dikerjakan sebelum khutbah. orang pertama yang berkhutbah sebelum shalat adalah Marwan bin Al-Hakam" [Lihat kitab Al-Umm 1/235-236 oleh Imam ASy-Syafi'i Rahimahullah dan Aridlah Al-Ahwadzi 3/3-6 oleh Al-qadli Ibnul Arabi Al-Maliki]


TIDAK WAJIB MENGHADIRI (MENDENGARKAN) KHUTBAH

Abi Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu berkata :
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla pada hari Idul Fithri dan Adha. Maka yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia sedangkan mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau lalu memberi pelajaran, wasiat dan perintah" [Dikeluarkan oleh Bukhari 956, Muslim 889, An-Nasa'i 3/187, Al-Baihaqi 3/280 dan Ahmad 3/36 dan 54]
Khutbah Id sebagaimana khutbah-khutbah yang lain, dibuka dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Yang Maha Mulia.

Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
"Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka semua khutbahnya dengan pujian untuk Allah. Tidak ada satu hadits pun yang dihafal (hadits shahih yang menyatakan) bahwa beliau membuka khutbah Idul Fitri dan Adha dengan takbir. Adapaun yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam 'Sunan'nya[ ] dari Sa'ad Al-Quradhi muadzin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau memperbanyak bacaan takbir dalam khutbah dua Id, hal itu tidaklah menunjukkan bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbir" [Zadul Ma'ad 1/447-448]

Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah Id dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk.

Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al-Bazzar meriwayatkan dalam "Musnad"nya (no. 53-Musnad Sa'ad) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa'ad Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk.

Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib : "Haditsnya mungkar"

Maka khutbah Id itu tetap satu kali seperti asalnya.

Menghadiri khutbah Id tidaklah wajib seperti menghadiri shalat, karena ada riwayat dari Abdullah bin Saib, ia berkata :
"Artinya : Aku menghadiri Id bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika selesai shalat, beliau bersabda : 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan maka duduklah dan siapa yang hendak pergi maka pergilah" [Diriwayatkan Abu Daud 1155, An-Nasa'i 3/185, Ibnu Majah 1290, dan Al-Hakim 1/295, dan isnadnya Shahih. Lihat Irwaul Ghalil 3.96-98]
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah [ ] :
"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi yang meghadiri shala Id untuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi" [Lihat Majmu Fatawa Syaikhul Islam 24/214]


BERTEPATANNYA HARI ID DENGAN HARI JUM'AT

Telah meriwayatkan Abu Daud (1070), An-Nasa'i (3/194), Ibnu Majah (1310), Ibnu Khuzaimah (1461), Ad-Darimi (1620) da Ahmad (4/372) dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami ia berkata.

"Aku menyaksikan Mua'wiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, ia berkata : "Apakah engkau pernah menyaksikan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertemunya dua hari raya pada satu hari ?"

Zaid berkata : "Ya"

Mu'awiyah berkata : "Lalu apa yang beliau lakukan ?"

Zaid menjawab : "beliau shalat Id kemudian memberi keringanan (rukhshah) untuk shalat Jum'at, beliau bersabda :
"Siapa yang ingin shalat maka shalatlah"[ ]
Abu Hurairah dan selainnya membawakan riwayat tentang hal ini dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dan ini yang diamalkan para sahabat radhiyallahu 'anhum.

Abdurrazzaq meriwayatkan dalam "Al-Mushannaf" (3/305) dan juga Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Mushannaf" (2/187) dengan sanad yang shahih dari Ali Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya berkumpul dua hari raya pada satu hari, maka ia berkata :
"Artinya : Siapa yang ingin menghadiri shalat Jum'at maka hadirilah dan siapa yang ingin duduk maka duduklah"
Dalam "Shahih Bukhari" (5251) disebutkan riwayat semisal ini dari Utsman Radhiyallahu 'anhu.

Dalam "Sunan Abi Daud" (1072) dan "Mushannaf Abdurrazaq" (nomor 5725) dengan sanad yang Shahih dari Ibnuz Zubair.
"Artinya : Dua hari raya bertemu dalam satu hari, maka ia mengumpulkan keduanya bersama-sama dan menjadikannya satu. Ia shalat Idul Fitri pada hari Jum'at sebanyak dua raka'at pada pagi hari, kemudian ia tidak menambah hingga shalat Ashar..."
Asy-Syaukani berkata dalam "Nailul Authar" (3/348) mengikuti riwayat ini :

"Dhahir riwayat ini menunjukkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat Dhuhur.

Dalam riwayat ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at jika gugur dengan salah satu sisi yang diperkenankan, maka tidak wajib bagi orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat dhuhur. Dengan ini Atha' berpendapat.

Tampak bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jum'at adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at, maka mewajibkan shalat Dhuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jum'at karena udzur atau tanpa udzur butuh dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang sepanjang yang aku ketahui"


KAPAN DISUNAHKAN MAKAN PADA HARI IDUL FITRI DAN IDUL ADHA ?

Dari Anas Radliallahu anhu, ia berkata :
"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pergi (ke tanah lapang) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan beberapa butir kurma". [Hadits Riwayat Bukhari 953, Tirmidzi 543, Ibnu Majah 1754 dan Ahmad 3/125, 164, 232]
Berkata Imam Al Muhallab :
" Hikmah makan sebelum shalat (Idul Fithri) adalah agar orang tidak menyangka masih diharuskan puasa hingga dilaksankan shalat Id, seolah-olah beliau ingin menutup jalan menuju ke sana" [Fathul Bari 2/447, lihat di dalam kitab tersebut ucapan penulis tentang hikmah disunahkannya makan kurma]

Dari Buraidah Radliallahu anhu ia berkata :
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya" [Diriwayatkan Tirmidzi 542, Ibnu Majah 1756, Ad-Darimi 1/375 dan Ahmad 5/352 dan isnadnya hasan]
Al-Allamah Ibnul Qoyyim berkata :
"Adapun dalam Idul Adha, beliau tidak makan hingga kembali dari Mushalla, lalu beliau makan dari hewan kurbannya" [Zadul Ma'ad 1/441]

Al-Alamah Asy Syaukani menyatakan [Dalam Nailul Authar 3/357] :
"Hikmah mengakhirkan makan pada Idul Adha adalah karena hari itu disyari'atkan menyembelih kurban dan makan dari kurban tersebut, maka bagi orang yang berkurban disyariatkan agar berbukanya (makan) dengan sesuatu dari kurban tersebut. Ini dikatakan oleh Ibnu Qudamah" [Lihat Al-Mughni 2/371]

Berkata Az-Zain Ibnul Munayyir [Lihat Fathul Bari 2/448] : "Makanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masing-masing Id (Idul Fithri dan Idul Adha) terjadi pada waktu disyariatkan untuk mengeluarkan sedekah khusus dari dua hari raya tersebut, yaitu mengeluarkan zakat fithri sebelum datang ke mushalla dan mengeluarkan zakat kurban setelah menyembelihnya".


UCAPAN SELAMAT PADA HARI ID

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [ ] :

"Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id :

Taqabbalallahu minnaa wa minkum
"Artinya : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian"

Dan ( Ahaalallahu 'alaika), dan sejenisnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a'lam.[ ]

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[ ] :

"Dalam "Al Mahamiliyat" dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata :
"Artinya : Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minka (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".
Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka

Imam Ahmad menyatakan : "Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)" [ ]

Adapun ucapan selamat : (Kullu 'aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah.
"Artinya : Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik.?"

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN YANG BISA TERJADI PADA HARI RAYA

Ketahuilah wahai saudaraku muslim -semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepadamu- sesungguhnya kebahagiaan yang ada pada hari-hari raya kadang-kadang membuat manusia lupa atau sengaja melupakan perkara-perkara agama mereka dan hukum-hukum yang ada dalam Islam. Sehingga engkau melihat mereka banyak berbuat kemaksiatan dan kemungkaran-kemungkaran dalam keadaan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya !! Semua inilah yang mendorongku untuk menambahkan pembahasan yang bermanfaat ini dalam tulisanku, agar menjadi peringatan bagi kaum muslimin dari perkara yang mereka lupakan dan mengingatkan mereka atas apa yang mereka telah lalai darinya[ ]. Di antara kemungkaran itu adalah.

Pertama : Berhias dengan mencukur jenggot.
Perkara ini banyak dilakukan manusia. Padahal mencukur jenggot merupakan perbuatan yang diharamkan dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih yang berisi perintah untuk memanjangkan jenggot agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang kita diperintah untuk menyelisihi mereka. Selain berkaitan dengan hal itu, memanjangkan jenggot termasuk fithrah (bagi laki-laki) yang tidak boleh kita rubah. Dalil-dalil tentang keharaman mencukur jenggot terdapat dalam kitab-kitab Imam Madzhab yang empat[ ] yang telah dikenal.

Kedua : Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Ini merupakan bencana yang banyak menimpa kaum muslimin, tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang dirahmati Allah. Perbuatan ini haram berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Seseorang ditusukkan jarum besi pada kepalanya adalah lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya" [Hadits Shahih, Lihta takhrijnya secara panjang lebar dalam "Juz'u Ittiba' is Sunnah No. 15 oleh Adl-Dliya Al-Maqdisi -dengan tahqiqku]
Keharaman perbuatan ini diterangkan juga dalam kitab-kitab empat Imam Madzhab yang terkenal [Lihat 'Syarhu An Nawawi ala Muslim 13/10, Hasyiyah Ibnu Abidin 5/235, Aridlah Al-Ahwadzi 7/95 dan Adlwau; Bayan 6/603]

Ketiga : Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir dan orang-orang barat dalam berpakaian dan mendengarkan alat-lat musik serta perbuatan mungkar lainnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda."Artinya : Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" [ ]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
"Artinya : Benar-benar akan ada pada umatku beberapa kaum yang mereka menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki ,-pent), khamr dan alat-alat musik. Dan benar-benar akan turun beberapa kaum menuju kaki gunung untuk melepaskan gembalaan mereka sambil beristirahat, kemudian mereka didatangi seorang fasik untuk suatu keperluan. Kemudian mereka berkata : 'Kembalilah kepada kami besok!' Lalu Allah membinasakan dan menimpakan gunung itu pada mereka dan sebagian mereka dirubah oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-bai hingg hari kiamat" [ ]
Keempat : Masuk dan becengkerama dengan wanita-wanita yang bukan mahram.
Hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau.
"Artinya : Hati-hatilah kalian masuk untuk menemui para wanita". Maka berkata salah seorang pria Anshar : "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang Al-Hamwu" Beliau berkata : "Al-Hamwu adalah maut" [Hadits Riwayat Bukhari 5232, Muslim 2172 dari 'Uqbah bin Amir]
Al- Allamah Az-Zamakhsyari berkata dalam menerangkan "Al-Hamwu"

"Al-Hamwu bentuk jamaknya adalah Ahmaa' adalah kerabat dekat suami seperti ayah[ ], saudara laki-laki, pamannya dan selain mereka... Dan sabda beliau : "Al-Hamwu adalah maut" maknanya ia dikelilingi oleh kejelekan dan kerusakan yang telah mencapai puncaknya sehingga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerupakannya dengan maut, karena hal itu merupakan sumber segala bencana dan kebinasaan. Yang demikian karena Al-Hamwu lebih berbahaya daripada orang lain yang tidak dikenal. Sebab kerabat dekat yang bukan mahram terkadang tidak ada kekhawatiran atasnya atau merasa aman terhadap mereka, lain halnya dengan orang yang bukan kerabat. Dan bisa jadi pernyataan "Al-Hamwu adalah mau" merupakan do'a kejelekan..." ["Al-Faiq fi Gharibil Hadits" 9 1/318, Lihat "An-Nihayah 1/448, Gharibul Hadits 3/351 dan Syarhus Sunnah 9/26,27]

Kelima : Wanita-wanita yang bertabarruj (berdandan memamerkan kecantikan) kemudian keluar ke pasar-pasar atau tempat lainnya.

Ini merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syari'at Allah. Allah Ta'ala berfirman :
"Artinya : Hendaklah mereka 9wanita-wanita) tinggal di rumah-rumah mereka dan jangan bertabarruj ala jahiliyah dulu dan hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat" [Al-Ahzab : 33]


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Dua golongan manusia termasuk penduduk neraka yang belum pernah aku melihatnya : ........ dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggak-lenggok[ ], kepala-kepala mereka bagaikan punuk-punuk unta[ ]. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau suurga dapat tercium dari perjalanan sekian dan sekian" [Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam "Shahihnya" 2128, 2856 dan 52, Ahmad 2/223 dan 236 dari Abu Hurairah]
Keenam : Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya, membagi-bagikan manisan dan makanan di pekuburan, duduk di atas kuburan, bercampur baur antara pria dan wanita, bergurau dan meratapi orang-orang yang telah meninggal, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.[Lihat perincian yang lain tentang bid'ah yang dilakukan di kuburan dalam kitab "Ahkamul Janaiz" 258-267 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah]

Ketujuh : Boros dalam membelanjakan harta yang tidak ada manfaatnya dan tidak ada kebaikan padanya.

Allah berfirman.
"Artinya : Janganlah kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al-An'am : 141]
"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros itu adalah saudaranya syaitan" [Al-Isra : 26-27]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak akan berpindah kedua kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang ... dan hartanya dari mana ia perolah dan ke mana ia infakkan" [ ]
Kedelapan : Kebanyakan manusia meninggalkan shalat berjama'ah di masjid tanpa alasan syar'i atau mengerjakan shalat Id tetapi tidk shalat lima waktu. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar.

Kesembilan : Berdatangannya sebagian besar orang-orang awam ke kuburan setelah fajar hari raya, mereka meninggalkan shalat Id, dirancukan dengan bid'ah mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya. [Al-Madkhal 1/286 oleh Ibnu Hajj, Al-Ibda hal.135 oleh Ali Mahfudh dan Sunnanul Iedain hal.39 oleh Al-Syauqani]

Sebagian mereka meletakkan pada kuburan itu pelepah kurma[ ] dan ranting-ranting pohon !!
Semua ini tidak ada asalnya dalam sunnah.
Kesepuluh : Tidak adanya kasih sayang terhadap fakir miskin.
Sehingga anak-anak orang kaya memperlihatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan bebagai jenis makanan yang mereka pamerkan di hadapan orang-orang fakir dan anak-anak mereka tanpa perasaan kasihan atau keinginan untuk membantu dan merasa bertanggung jawab. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya" [Hadits Riwayat Bukhari 13 dan Muslim 45, An-Nasa'i 8/115 dan Al-Baghawi 3474 meriwayatkan dengan tambahan ; "dari kebaikan" dan isnadnya Shahih]
Kesebelas : Bid'ah-bid'ah yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang dianggap syaikh dengan pengakuan bertaqqarub kepada Allah Ta'ala, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam agama Allah. Bid'ah itu banyak sekali[ ]. Aku hanya menyebutkan satu saja di antaranya, yaitu kebanyakan para khatib dan pemberi nasehat menyerukan untuk menghidupkan malam hari Id (dengan ibadah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Tidak hanya sebatas itu yang mereka perbuat, bahkan mereka menyandarkan hadits palsu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu hadits yang berbunyi.
"Artinya : Barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fithri dan Idul Adha maka hatinya tidak akan mati pada hari yang semua hati akan mati" [Hadits ini palsu (maudlu'), diterangkan oleh ustazd kami Al-Albani dalam "Silsilah Al-Ahadits Adl-Dlaifah" 520-521]
Hadits ini tidak boleh sama sekali disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

***