Republika – Rab, 25 Jul 2012
Dalam hatinya, ia bergumam apa yang terjadi bila dirinya
menjadi seorang Muslim, dan apakah identitas itu akan mengubah hidupnya.
Memerhatikan dengan seksama, Haneefah melihat perempuan tersebut mengenakan jilbab. Sementara ia bekerja sebagai sekretaris.
Begitu minimnya informasi tentang Islam yang diperoleh membuat dia begitu terkejut. "Dalam hatiku, bagaimana bisa dia bekerja dengan jilbab di kepalanya? Siapa yang akan mempekerjakannya?” gumam Haneefah.
Kesimpulannya, ia tidak mungkin menjadi Muslim lantaran akan mengurangi kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan yang diimpikan. Pemikiran ini berkat didikan orang tuanya yang jujur dan pekerja keras, namun tidak melihat agama sebagai hal penting. Tak heran, pengaruh itu begitu tertanam dalam pemikirannya.
Mereka berpandangan makna hidup sebenarnya berada di dalam hidup sendiri. Ketika manusia menjadi debu, maka ia lebih dari sekedar debu. Meski demikian, Haneefah merasa ibunya masih menghormati tradisi dalam Kristen. "Ia tak mau aku seperti dirinya. Maka ia sekolahkan aku di gereja," tuturnya.
Haneefah setuju dengan rencana ibunya. Dalam hatinya, barangkali dengan mendekatkan diri dengan gereja, maka dirinya akan beragama. Benar saja, Haneefah mulai menikmati kebersamaannya dengan gereja. Ia kembali bernyanyi, bermain teater, dan menghabiskan musim panas di kamp.
"Sebenarnya, kebersamaan itu hanya mendatangkan keraguan kuat dalam diriku tentang agama Kristen. Aku baca Alkitab, tapi tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan," kata dia. "Aku tidak tahu ada sesuatu yang kucari. Aku tidak tahu apa itu. Aku belajar astrologi dan meditasi, tetapi tetap saja membuatku bingung."
Semenjak itu, Haneefah mulai menyimpan jurnal rohani. Jurnal ini berupa buku kecil yang berisi materi berupa literatur agama dan non-agama. Tak ketinggalan, ayat-ayat Alkitab, puisi, nyanyian Hindu, lagu atau apa pun yang memiliki arti baginya.
Di usia ke-16 tahun, Haneefah meninggalkan kota kelahirannya guna menuju kota besar. Di kota itu, ia lanjutkan pendidikannya. Selama proses adaptasi, banyak kekhawatiran dalam dirinya. "Aku memulainya dengan perasaan kurang nyaman," ujarnya.
REPUBLIKA.CO.ID, Haneefah binti Stefan pertama kali
bersinggungan dengan Islam ketika berusia 15 tahun. Kala itu, ia membaca
sebuah kisah dalam buku tentang seorang perempuan Swedia yang memeluk
Islam.
Memerhatikan dengan seksama, Haneefah melihat perempuan tersebut mengenakan jilbab. Sementara ia bekerja sebagai sekretaris.
Begitu minimnya informasi tentang Islam yang diperoleh membuat dia begitu terkejut. "Dalam hatiku, bagaimana bisa dia bekerja dengan jilbab di kepalanya? Siapa yang akan mempekerjakannya?” gumam Haneefah.
Kesimpulannya, ia tidak mungkin menjadi Muslim lantaran akan mengurangi kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan yang diimpikan. Pemikiran ini berkat didikan orang tuanya yang jujur dan pekerja keras, namun tidak melihat agama sebagai hal penting. Tak heran, pengaruh itu begitu tertanam dalam pemikirannya.
Mereka berpandangan makna hidup sebenarnya berada di dalam hidup sendiri. Ketika manusia menjadi debu, maka ia lebih dari sekedar debu. Meski demikian, Haneefah merasa ibunya masih menghormati tradisi dalam Kristen. "Ia tak mau aku seperti dirinya. Maka ia sekolahkan aku di gereja," tuturnya.
Haneefah setuju dengan rencana ibunya. Dalam hatinya, barangkali dengan mendekatkan diri dengan gereja, maka dirinya akan beragama. Benar saja, Haneefah mulai menikmati kebersamaannya dengan gereja. Ia kembali bernyanyi, bermain teater, dan menghabiskan musim panas di kamp.
"Sebenarnya, kebersamaan itu hanya mendatangkan keraguan kuat dalam diriku tentang agama Kristen. Aku baca Alkitab, tapi tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan," kata dia. "Aku tidak tahu ada sesuatu yang kucari. Aku tidak tahu apa itu. Aku belajar astrologi dan meditasi, tetapi tetap saja membuatku bingung."
Semenjak itu, Haneefah mulai menyimpan jurnal rohani. Jurnal ini berupa buku kecil yang berisi materi berupa literatur agama dan non-agama. Tak ketinggalan, ayat-ayat Alkitab, puisi, nyanyian Hindu, lagu atau apa pun yang memiliki arti baginya.
Di usia ke-16 tahun, Haneefah meninggalkan kota kelahirannya guna menuju kota besar. Di kota itu, ia lanjutkan pendidikannya. Selama proses adaptasi, banyak kekhawatiran dalam dirinya. "Aku memulainya dengan perasaan kurang nyaman," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar