Nasab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Nasab Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam terbagi ke dalam tiga
klasifikasi: Pertama, yang disepakati oleh ahlus Siyar wal Ansaab (Para
Sejarawan dan Ahli Nasab); yaitu urutan nasab beliau hingga kepada
Adnan. Kedua, yang masih diperselisihkan antara yang mengambil sikap
diam dan tidak berkomentar dengan yang mengatakan sesuatu tentangnya,
yaitu urutan nasab beliau dari atas Adnan hingga Ibrahim ‘alaihissalam.
Ketiga, yang tidak diragukan lagi bahwa didalamnya terdapat riwayat yang
tidak shahih, yaitu urutan nasab beliau mulai dari atas Ibrahim hingga
Nabi Adam ‘alaihissalam. Kami sudah singgung sebagiannya, dan berikut
ini penjelasan detail tentang ketiga klasifikasi tersebut:
Klasifikasi Pertama: Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib
(nama aslinya; Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya: ‘Amru) bin ‘Abdu Manaf
(nama aslinya: al-Mughirah) bin Qushai (nama aslinya: Zaid) bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihr (julukannya: Quraisy
yang kemudian suku ini dinisbatkan kepadanya) bin Malik bin an-Nadhar
(nama aslinya: Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama
aslinya: ‘Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’add bin Adnan.
Klasifikasi Kedua: (dari urutan nasab diatas hingga ke atas Adnan)
yaitu, Adnan bin Adad bin Humaisa’ bin Salaaman bin ‘Iwadh bin Buuz bin
Qimwaal bin Abi ‘Awwam bin Naasyid bin Hiza bin Buldaas bin Yadlaaf bin
Thaabikh bin Jaahim bin Naahisy bin Maakhi b in ‘Iidh bin ‘Abqar bin
‘Ubaid bin ad-Di’aa bin Hamdaan bin Sunbur bin Yatsribi bin Yahzan bin
Yalhan bin Ar’awi bin ‘Iidh bin Diisyaan bin ‘Aishar bin Afnaad bin
Ayhaam bin Miqshar bin Naahits bin Zaarih bin Sumay bin Mizzi bin
‘Uudhah bin ‘Uraam bin Qaidaar bin Isma’il bin Ibrahim ‘alaihimassalam.
Klasifikasi Ketiga: (dari urutan nasab kedua klasifikasi diatas
hingga keatas Nabi Ibrahim) yaitu, Ibrahim ‘alaihissalam bin Taarih
(namanya: Aazar) bin Naahuur bin Saaruu’ atau Saaruugh bin Raa’uw bin
Faalikh bin ‘Aabir bin Syaalikh bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh
‘alaihissalam bin Laamik bin Mutwisylakh bin Akhnukh (ada yang
mengatakan bahwa dia adalah Nabi Idris ‘alaihissalam) bin Yarid bin
Mahlaaiil bin Qainaan bin Aanuusyah bin Syits bin Adam ‘alaihissalam.
Keluarga besar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
Al-Usrah an-Nabawiyyah (Keluarga Besar Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam) lebih dikenal dengan sebutan al-Usrah al-Hasyimiyyah
(dinisbatkan kepada kakek beliau, Hasyim bin ‘Abdu Manaf), oleh
karenanya kita sedikit akan menyinggung tentang kondisi Hasyim ini dan
orang-orang setelahnya dari keluarga besar beliau Shallallahu ‘alaihi
wasallam :
Hasyim : Sebagaimana telah kita singgung bahwa Hasyim adalah orang
yang bertindak sebagai penanggung jawab atas penanganan air (as-Siqayah)
dan penyediaan makanan (ar-Rifadah) terhadap Baitullah dari keluarga
Bani ‘Abdi Manaf ketika terjadi perundingan antara Banu ‘Abdi Manaf dan
Banu ‘Abdid Daar dalam masalah pembagian kekuasaan antar kedua belah
fihak. Hasyim dikenal sebagai orang yang hidup dalam kondisi yang baik
dan memiliki martabat tinggi. Dia lah orang pertama yang menyediakan
makanan berbentuk ats-Tsarid (semacam roti yang diremuk dan direndam
dalam kuah) kepada jama’ah-jama’ah haji di Mekkah. Nama aslinya adalah
‘Amru, adapun kenapa dia dinamakan Hasyim, hal ini dikarenakan
pekerjaannya yang meremuk-remukan roti (sesuai dengan arti kata Hasyim
dalam Bahasa Arabnya-red). Dia juga lah orang pertama yang mencanangkan
program dua kali rihlah (bepergian) bagi kaum Quraisy, yaitu: Rihlatus
Syitaa’ ; bepergian di musim dingin dan Rihlatush Shaif; bepergian di
musim panas (sebagaimana dalam surat Quraisy ayat 2 -red). Berkenaan
dengan hal ini, seorang penyair bersenandung:
‘Amru lah orang yang menghidangkan at-Tsarid kepada kaumnya
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim panas
Kaum yang ditimpa kurang hujan dan paceklik
Dia lah yang mencanangkan bagi mereka dua rihlah musiman
Rihlah/bepergian di musim dingin dan di musim panas
Diantara kisah tentang dirinya; suatu hari dia pergi ke kota Syam
untuk berdagang, namun ketika sampai di Madinah dia menikah dahulu
dengan Salma binti ‘Amru, salah seorang puteri ‘Uday bin an-Najjar. Dia
tinggal bersama isterinya untuk beberapa waktu kemudian berangkat ke
kota Syam (ketika itu isterinya ditinggalkan bersama keluarganya dan
sedang mengandung bayinya yang kemudian dinamai dengan ‘Abdul
Muththalib).
Hasyim akhirnya meninggal di kota Ghazzah (Ghaza) di tanah Palestina.
Isterinya, Salma melahirkan puteranya, ‘Abdul Muththalib pada tahun 497
M. Ibunya menamakannya dengan Syaibah karena tumbuhnya uban (yang dalam
Bahasa ‘Arabnya adalah “syaibah”- red) di kepalanya. Dia mendidik
anaknya di rumah ayahnya (Hasyim-red) di Yatsrib sedangkan keluarganya
yang di Mekkah tidak seorang pun diantara mereka yang tahu tentang
dirinya. Hasyim mempunyai empat orang putera dan lima orang puteri.
Keempat puteranya tersebut adalah: Asad, Abu Shaifi, Nadhlah dan ‘Abdul
Muththalib. Sedangkan kelima puterinya adalah: asy-Syifa’, Khalidah,
Dha’ifah, Ruqayyah dan Jannah.
‘Abdul Muththalib : dari pembahasan yang telah lalu kita telah
mengetahui bahwa tanggung jawab atas penanganan as-Siqayah dan
ar-Rifadah setelah Hasyim diserahkan kepada saudaranya, al-Muththalib
bin ‘Abdu Manaf {Dia adalah orang yang ditokohkan, disegani dan memiliki
kharisma di kalangan kaumnya. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan
al-Fayyadh karena kedermawanannya (sebab al-Fayyadh artinya dalam Bahasa
Arab adalah yang murah hati-red)}.
Ketika Syaibah (‘Abdul Muththalib) menginjak remaja sekitar usia 7
tahun atau 8 tahun lebih, al-Muththalib, kakeknya mendengar berita
tentang dirinya lantas dia pergi mencarinya. Ketika bertemu dan
melihatnya, berlinanglah air matanya, lalu direngkuhnya erat-erat dan
dinaikkannya ke atas tunggangannya dan memboncengnya namun cucunya ini
menolak hingga diizinkan dahulu oleh ibunya. Kakeknya, al- Muththalib
kemudian meminta persetujuan ibunya agar mengizinkannya membawa serta
cucunya tersebut tetapi dia (ibunya) menolak permintaan tersebut.
Al-Muththalib lantas bertutur: “sesungguhnya dia (cucunya, ‘Abdul
Muththalib) akan ikut bersamanya menuju kekuasaan yang diwarisi oleh
ayahnya (Hasyim-red), menuju Tanah Haram Allah”. Barulah kemudian ibunya
mengizinkan anaknya dibawa. Abdul Muththalib dibonceng oleh kakeknya,
al-Muththalib dengan menunggangi keledai miliknya.
Orang-orang berteriak: “inilah ‘Abdul Muththalib!”. Kakeknya,
al-Muththalib memotong teriakan tersebut sembari berkata: “celakalah
kalian! Dia ini adalah anak saudaraku (keponakanku), Hasyim”. ‘Abdul
Muththalib akhirnya tinggal bersamanya hingga tumbuh dan menginjak
dewasa. Al-Muthtthalib meninggal di Rodman, di tanah Yaman dan
kekuasaannya kemudian digantikan oleh cucunya, ‘Abdul Muththalib. Dia
menggariskan kebijakan terhadap kaumnya persis seperti nenek-nenek
moyang dulu akan tetapi dia berhasil melampaui mereka; dia mendapatkan
kedudukan dan martabat di hati kaumnya yang belum pernah dicapai oleh
nenek-nenek moyangnya terdahulu; dia dicintai oleh mereka sehingga
kharisma dan wibawanya di hati mereka semakin besar.
Ketika al-Muththalib meninggal dunia, Naufal (paman ‘Abdul
Muththalib) menyerobot kekuasaan keponakannya tersebut. Tindakan ini
menimbulkan amarahnya yang serta merta meminta pertolongan para pemuka
Quraisy untuk membantunya melawan sang paman. Namun mereka menolak
sembari berkata: “kami tidak akan mencampuri urusanmu dengan pamanmu
itu”. Akhirnya dia menyurati paman-pamannya dari pihak ibunya, Bani
an-Najjar dengan rangkaian bait-bait sya’ir yang berisi ungkapan memohon
bantuan mereka. Pamannya, Abu Sa’d bin ‘Uday bersama delapan puluh
orang kemudian berangkat menuju ke arahnya dengan menunggang kuda.
Sesampai mereka di al-Abthah, sebuah tempat di Mekkah dia disambut oleh
‘Abdul Muththalib yang langsung bertutur kepadanya: “silahkan mampir ke
rumah, wahai paman!”.
Pamannya menjawab: “demi Allah, aku tidak akan ( mampir ke
rumahmu-red) hingga bertemu dengan Naufal”, lantas dia mendatanginya dan
mencegatnya yang ketika itu sedang duduk-duduk di dekat al-Hijr (Hijr
Isma’il) bersama para sesepuh Quraisy. Abu Sa’d langsung mencabut
pedangnya seraya mengancam: “Demi Pemilik rumah ini (Ka’bah)! Jika tidak
engkau kembalikan kekuasaan anak saudara perempuanku (keponakanku) maka
aku akan memenggalmu dengan pedang ini”. Naufal berkata: “sudah aku
kembalikan kepadanya!”.
Ucapannya ini disaksikan oleh para sesepuh Quraisy tersebut. Kemudian
barulah dia mampir ke rumah ‘Abdul Muththalib dan tinggal di sana
selama tiga hari. Selama disana, dia melakukan umrah (ala kaum Quraisy
dahulu sebelum kedatangan Islam-red) kemudian pulang ke Madinah.
Menyikapi kejadian yang dialaminya tersebut, Naufal akhirnya bersekutu
dengan Bani ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf untuk menandingi Bani Hasyim.
Suku Khuza’ah tergerak juga untuk menolong ‘Abdul Muththalib setelah
melihat pertolongan yang diberikan oleh Bani an-Najjar terhadapnya.
Mereka berkata (kepada Bani an-Najjar):”kami juga melahirkannya (‘Abdul
Muththalib juga merupakan anak/turunan kami-red) seperti kalian, namun
kami justru lebih berhak untuk menolongnya”. Hal ini lantaran ibu dari
‘Abdi Manaf adalah keturunan mereka. Mereka memasuki Darun Nadwah dan
bersekutu dengan Bani Hasyim untuk melawan Bani ‘Abdi Syams dan Naufal.
Persekutuan inilah yang kemudian menjadi sebab penaklukan Mekkah
sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Ada dua momentum besar yang terjadi atas Baitullah di masa ‘Abdul
Muththalib: Pertama, Penggalian sumur Zam-zam. Kedua, datangnya pasukan
gajah.
Ringkasan momentum pertama : ‘Abdul Muththalib bermimpi dirinya
diperintahkan untuk menggali Zam-zam dan dijelaskan kepadanya dimana
letaknya, lantas dia melakukan penggalian (sesuai dengan petunjuk mimpi
tersebut-red) dan menemukan didalamnya benda-benda terpendam yang dulu
dikubur oleh suku Jurhum ketika mereka akan keluar meninggalkan Mekkah;
yaitu berupa pedang-pedang, tameng-tameng besi (baju besi) dan dua
pangkal pelana yang terbuat dari emas. Pedang-pedang kemudian dia
jadikan sebagai pintu Ka’bah, sedangkan dua pangkal pelana tersebut dia
jadikan sebagai lempengan-lempengan emas dan ditempelkan di pintu
tersebut. Dia juga menyediakan tempat untuk pelayanan air Zam-zam bagi
para jama’ah haji.
Ketika sumur Zam-zam berhasil digali, orang-orang Quraisy
mempermasalahkannya. Mereka berkata kepadanya: “ikutsertakan kami!”. Dia
menjawab: “aku tidak akan melakukannya sebab ini merupakan proyek yang
sudah aku tangani secara khusus”. Mereka tidak tinggal diam begitu saja
tetapi menyeretnya ke pengadilan seorang dukun wanita dari Bani Sa’d, di
pinggiran kota Syam namun dalam perjalanan mereka, bekal air pun habis
lalu Allah turunkan hujan ke atas ‘Abdul Muththalib tetapi tidak
setetespun tercurah ke atas mereka. Mereka akhirnya tahu bahwa urusan
Zam-zam telah dikhususkan kepada ‘Abdul Muththalib dan pulang ke tempat
mereka masing-masing. Saat itulah ‘Abdul Muththalib bernazar bahwa jika
dikaruniai sepuluh orang anak dan mereka sudah mencapai usia baligh,
meskipun mereka mencegahnya guna mengurungkan niatnya untuk menyembelih
salah seorang dari mereka disisi Ka’bah maka dia tetap akan
melakukannya.
Ringkasan momentum kedua: Abrahah ash-Shabbah al-Habasyi, penguasa
bawahan an-Najasyi di negeri Yaman ketika melihat orang-orang Arab
melakukan haji ke Ka’bah, dia juga membangun gereja yang amat megah di
kota Shan’a’. Tujuannya adalah agar orang-orang Arab mengalihkan haji
mereka ke sana. Niat jelek ini didengar oleh seorang yang berasal dari
Bani Kinanah. Dia secara diam-diam mengendap-endap menerobos malam
memasuki gereja tersebut, lalu dia lumuri kiblat mereka tersebut dengan
kotoran.
Tatkala mengetahui perbuatan ini meledaklah amarah Abrahah dan
sertamerta dia mengerahkan pasukan besar yang kuat (berkekuatan 60.000
personil) ke Ka’bah untuk meluluhlantakkannya. Dia juga memilih gajah
paling besar sebagai tunggangannya. Dalam pasukan tersebut terdapat
sembilan ekor gajah atau tiga ekor. Dia meneruskan perjalanannya hingga
sampai di al-Maghmas dan disini dia memobilisasi pasukannya, menyiagakan
gajahnya dan bersiap-siap melakukan invasi ke kota Mekkah. Akan tetapi
baru saja mereka sampai di Wadi Mahsar (Lembah Mahsar) yang terletak
antara Muzdalifah dan Mina, tiba-tiba gajahnya berhenti dan duduk. Gajah
ini tidak mau lagi berjalan menuju Ka’bah dan ogah dikendalikan oleh
mereka baik ke arah selatan, utara atau timur; setiap mereka perintahkan
ke arah-arah tersebut, gajah berdiri dan berlari dan bila mereka
arahkan ke Ka’bah, gajah tersebut duduk.
Manakala mereka mengalami kondisi semacam itu, Allah mengirimkan ke
atas mereka burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka
dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia Ta’ala
menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Burung tersebut
semisal besi yang berkeluk/pengait (khathaathiif) dan kacang adas
(balsan). Setiap burung melempar tiga buah batu; sebuah diparuhnya, dan
dua buah di kedua kakinya berbentuk seperti kerikil. Bila lemparan batu
tersebut mengenai seseorang maka anggota-anggota badan orang tersebut
akan menjadi berkeping-keping dan hancur. Tidak semua mereka terkena
lemparan tersebut; ada yang dapat keluar melarikan diri tetapi mereka
saling berdesakan satu sama lainnya sehingga banyak yang jatuh di
jalan-jalan lantas mereka binasa terkapar di setiap tempat. Sedangkan
Abrahah sendiri, Allah kirimkan kepadanya satu penyakit yang membuat
sendi jari-jemari tangannya tanggal dan berjatuhan satu per-satu.
Sebelum dia mencapai Shan’a’ maka dia tak ubahnya seperti seekor anak
burung yang dadanya terbelah dari hatinya, untuk kemudian dia roboh tak
bernyawa.
Adapun kondisi orang-orang Quraisy; mereka berpencar-pencar ke
lereng-lereng gunung dan bertahan di bukit-bukitnya karena merasa ngeri
dan takut kejadian tragis yang menimpa pasukan Abrahah tersebut akan
menimpa diri mereka juga. Manakala pasukan tersebut telah mengalami
kejadian tragis dan mematikan tersebut, mereka turun gunung dan kembali
ke rumah masing-masing dengan rasa penuh aman.
Peristiwa tragis tersebut terjadi pada bulan Muharram, lima puluh
hari atau lima puluh lima hari (menurut pendapat mayoritas) sebelum
kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam; yaitu bertepatan dengan
penghujung bulan Pebruari atau permulaan bulan Maret pada tahun 571 M.
Peristiwa tersebut ibarat prolog yang disajikan oleh Allah untuk NabiNya
dan BaitNya. Sebab ketika kita memandang ke Baitul Maqdis, kita melihat
bahwa kiblat ini (dulu, sebelum Ka’bah-red) telah dikuasai oleh
musuh-musuh Allah dari kalangan kaum Musyrikin dimana ketika itu
penduduknya beragama Islam, yakni sebagaimana yang terjadi dengan
tindakan Bukhtanashshar terhadapnya pada tahun 587 SM dan oleh bangsa
Romawi pada tahun 70 M. Sebaliknya Ka’bah tidak pernah dikuasai oleh
orang-orang Nasrani (mereka ketika itu disebut juga sebagai orang-orang
Islam/Muslimun) padahal penduduknya adalah kaum Musyrikin.
Peristiwa tragis tersebut juga terjadi dalam kondisi yang dapat
mengekspos beritanya ke seluruh penjuru dunia yang ketika itu sudah
maju; Diantaranya, Negeri Habasyah yang ketika itu memiliki hubungan
yang erat dengan orang-orang Romawi . Di sisi lain, orang-orang Farsi
masih mengintai mereka dan menunggu apa yang akan terjadi terhadap
orang-orang Romawi dan sekutu-sekutunya. Maka, ketika mendengar
peristiwa tragis tersebut, orang-orang Farsi segera berangkat menuju
Yaman. Kedua negeri inilah (Farsi dan Romawi) yang saat itu merupakan
negara maju dan berperadaban (superpower). Peristiwa tersebut juga
mengundang perhatian dunia dan memberikan isyarat kepada mereka akan
kemuliaan Baitullah. Baitullah inilah yang dipilih olehNya untuk
dijadikan sebagai tempat suci. Jadi, bila ada seseorang yang berasal
dari tempat ini mengaku sebagai pengemban risalah kenabian maka hal
inilah sesungguhnya yang merupakan kata kunci dari terjadinya peristiwa
tersebut dan penjelasan atas hikmah terselubung di balik pertolongan
Allah terhadap Ahlul Iman (kaum Mukminin) melawan kaum Musyrikin; suatu
cara yang melebihi kejadian Alam yang bernuasa kausalitas ini.
‘Abdul Muththalib mempunyai sepuluh orang putera, yaitu: al-Harits,
az-Zubair, Abu Thalib, ‘Abdullah, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaaq,
al-Muqawwim, Shaffar, al-’Abbas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa
mereka berjumlah sebelas orang, yaitu ditambah dengan seorang putera
lagi yang bernama Qutsam. Ada lagi versi riwayat yang menyebutkan bahwa
mereka berjumlah tiga belas orang ditambah (dari nama-nama yang sudah
ada pada dua versi diatas) dengan dua orang putera lagi yang bernama
‘Abdul Ka’bah dan Hajla. Namun ada riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Abdul
Ka’bah ini tak lain adalah al-Muqawwim diatas sedangkan Hajla adalah
al-Ghaidaaq dan tidak ada diantara putera-puteranya tersebut yang
bernama Qutsam. Adapun puteri-puterinya berjumlah enam orang, yaitu:
Ummul Hakim (yakni al-Baidha’/si putih), Barrah, ‘Atikah, Arwa dan
Umaimah.
‘Abdullah, ayahanda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : Ibu
‘Abdullah bernama Fathimah binti ‘Amru bin ‘Aaiz bin ‘Imran bin Makhzum
bin Yaqzhah bin Murrah. ‘Abdullah ini adalah anak yang paling tampan
diantara putera-putera ‘Abdul Muththalib, yang paling bersih jiwanya dan
paling disayanginya. Dia lah yang sebenarnya calon kurban yang
dipersembahkan oleh ‘Abdul Muththalib sesuai nazarnya diatas.
Ceritanya; ketika ‘Abdul Muththalib sudah komplit mendapatkan sepuluh
orang putera dan mengetahui bahwa mereka mencegahnya untuk melakukan
niatnya, dia kemudian memberitahu mereka perihal nazar tersebut sehingga
mereka pun menaatinya. Dia menulis nama-nama mereka di anak panah yang
akan diundikan diantara mereka dan dipersembahkan kepada patung Hubal,
kemudian undian tersebut dimulai maka setelah itu keluarlah nama
‘Abdullah. ‘Abdul Muththalib membimbingnya sembari membawa pedang dan
mengarahkan wajahnya ke Ka’bah untuk segera disembelih, namun
orang-orang Quraisy mencegahnya, terutama paman-pamannya (dari fihak
ibu) dari Bani Makhzum dan saudaranya, Abu Thalib.
Menghadapi sikap tersebut, ‘Abdul Muththalib berkata: “lantas, apa
yang harus kuperbuat dengan nazarku?”. Mereka menyarankannya agar dia
menghadirkan dukun/peramal wanita dan meminta petunjuknya. Dia kemudian
datang kepadanya dan meminta petunjuknya. Dukun/peramal wanita ini
memerintahkannya untuk menjadikan anak panah undian tersebut diputar
antara nama ‘Abdullah dan sepuluh ekor onta; jika yang keluar nama
Abdullah maka dia (‘Abdul Muththalib) harus menambah tebusan sepuluh
ekor onta lagi, begitu seterusnya hingga Tuhannya ridha. Dan jika yang
keluar atas nama onta maka dia harus menyembelihnya sebagai kurban.
‘Abdul Muththalib pun kemudian pulang ke rumahnya dan melakukan
undian (sebagaimana yang diperintahkan dukun wanita tersebut) antara
nama ‘Abdullah dan sepuluh ekor onta, lalu keluarlah yang nama
‘Abdullah; bila yang terjadi seperti ini maka dia terus menambah tebusan
atasnya sepuluh ekor onta begitu seterusnya, setiap diundi maka yang
keluar adalah nama ‘Abdullah dan diapun terus menambahnya dengan sepuluh
ekor onta hingga onta tersebut sudah berjumlah seratus ekor berulah
undian tersebut jatuh kepada onta-onta tersebut, maka dia kemudian
menyembelihnya dan meninggalkannya begitu saja tanpa ada yang
menyentuhnya baik oleh tangan manusia maupun binatang buas.
Dulu diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan Bangsa ‘Arab secara
keseluruhan dihargai dengan sepuluh ekor onta, namun sejak peristiwa itu
maka dirubah menjadi seratus ekor onta yang kemudian dilegitimasi oleh
Islam. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya
beliau bersabda: “Aku lah anak (cucu) kedua orang yang dipersembahkan
sebagai sembelihan/kurban”. Yakni, Nabi Isma’il ‘alaihissalam dan ayah
beliau ‘Abdullah (Ibnu Hisyam;I/151-155, Tarikh ath-Thabari;
II/240-243).
‘Abdul Muththalib memilihkan buat puteranya, ‘Abdullah seorang gadis
bernama Aminah binti Wahab bin ‘Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab. Aminah
ketika itu termasuk wanita idola di kalangan orang-orang Quraisy baik
dari sisi nasab ataupun martabatnya. Ayahnya adalah pemuka suku Bani
Zahrah secara nasab dan kedudukannya. Akhirnya ‘Abdullah dikawinkan
dengan Aminah dan tinggal bersamanya di Mekkah.
Tak berapa lama kemudian, dia dikirim oleh ayahnya, ‘Abdul Muththalib
ke Madinah. Ketika sampai disana dia sedang dalam kondisi sakit,
sehingga kemudian meninggal disana dan dikuburkan di Daar an-Naabighah
al-Ja’di. Ketika (meninggal) itu dia baru berumur 25 tahun dan tahun
meninggalnya tersebut adalah sebelum kelahiran Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam sebagaimana pendapat mayoritas sejarawan.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dia meninggal dua bulan atau lebih
setelah kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika berita
kematiannya sampai ke Mekkah, Aminah, sang isteri meratapi kepergian
sang suami dengan untaian ar-Ratsaa’ (bait syair yang berisi ungkapan
kepedihan hati atas kematian seseorang dengan menyebut
kebaikan-kebaikannya-red) yang paling indah dan menyentuh:
Seorang putera Hasyim tiba (dengan kebaikan) di tanah lapang berkerikil
Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluar menghampiri liang lahad tanpa meninggalkan kata yang jelas
Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya
Tak pernah ia (maut) mendapatkan orang semisal putera Hasyim
Di saat mereka tengah memikul keranda kematiannya
Kerabat-kerabatnya saling berdesakan untuk melayat/mengantarnya
Bila lah pemandangan berlebihan itu diperlakukan maut untuknya
Sungguh itu pantas karena dia adalah si banyak memberi dan penuh kasih
Keluruhan harta yang ditinggalkan oleh ‘Abdullah adalah: lima ekor
onta, sekumpulan kambing, seorang budak wanita dari Habasyah bernama
Barakah dan Kun-yah (nama panggilannya) adalah Ummu Aiman yang merupakan
pengasuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
alsofwa.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar