Fenomena
kesyirikan yang marak dilakukan di bumi pertiwi yang kita cintai ini
tidak lepas dari pengkultusan yang berlebihan terhadap para wali.
Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru
adalah mengkultuskan wali tersebut secara berlebihan dan
mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘alamin.
Artikel yang terkait;
Fenomena Ziarah Wali
Pengultusan individu sangat bertolak belakang dengan ajaran penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah melarang umatnya mengkultuskan beliau secara berlebihan dalam sabdanya,
َا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah
kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin
Maryam (puncak pengkultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah
menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya” (HR. Bukhari nomor 3261).
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
قوله لا تطروني لا تمدحوني كمدح النصارى حتى غلا بعضهم في عيسى فجعله إلها مع الله وبعضهم ادعى أنه هو الله وبعضهم بن الله
“Maksud
sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah janganlah kalian
mengkultuskanku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengkultuskan ‘Isa
bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau
bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah
atau anak Allah” (Fathul Baari 12/149).
Pengkultusan
inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke
kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas
kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek
dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka
tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali
adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah
berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar
penduduk negeri.
Oleh karena itu, kami akan membahas hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radliallahu ‘anhu. Karena hadits ini memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi.
Hadits Syaddur Rihal
Dari Abu Sa’id al Khudri radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah
suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga
masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid
Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197).
Dalam hadits yang lain, Abu Sa’id mengatakan, “Aku mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
“Janganlah
kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari
tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan
Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827).
Hadits
Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga
masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan
ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihimus salam. Masjidil
Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha
adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang
terbangun di atas pondasi ketakwaan (Al Fath 3/64). Oleh karena
itu, kaum muslimin disyari’atkan untuk melakukan safar menuju ketiga
tempat tersebut dan mereka dilarang untuk melakukan safar ke tempat
lain dalam rangka melakukan peribadatan di tempat tersebut meskipun
tempat itu adalah masjid.
Ziarah Kubur Wali
Larangan
yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id diatas juga mencakup perbuatan
yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, yaitu menziarahi
berbagai tempat yang diyakini memiliki keutamaan apabila seorang
beribadah disana seperti kubur para wali rahimahumullah.
Dalil
yang menunjukkan hal ini adalah riwayat yang dibawa oleh imam Ahmad
dalam Musnad-nya yang menyebutkan pengingkaran sahabat Abu Basrah Al
Ghifari radliallahu ‘anhu atas tindakan Abu Hurairah radliallahu ‘anhu
yang mengunjungi bukit Thursina kemudian melaksanakan shalat disana
(HR. Ahmad nomor 23901 dengan sanad yang shahih). Abu Basrah mengatakan
kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana (karena aku akan melarangmu).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya.
Pengingkaran
Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan
indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum,
mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat
mendatangkan berkah.
Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah
engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu
dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan
janganlah engkau mendatangi bukit Thursina!” (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih).
Syaikhul Islam Ahmad bin ’Abdil Halim Al Harrani rahimahullah mengemukakan sebuah alasan yang logis mengenai hal ini. Beliau mengatakan,
فقد
فهم الصحابي الذي روى الحديث أن الطور وأمثاله من مقامات الأنبياء ،
مندرجة في العموم ، وأنه لا يجوز السفر إليها ، كما لا يجوز السفر إلى
مسجد غير المساجد الثلاثة . وأيضًا فإذا كان السفر إلى بيت من بيوت الله
-غير الثلاثة- لا يجوز ، مع أن قصده لأهل مصره يجب تارة ، ويستحب أخرى ،
وقد جاء في قصد المساجد من الفضل ما لا يحصى- فالسفر إلى بيوت الموتى من
عباده أولى أن لا يجوز
”Sahabat
yang meriwayatkan hadits tersebut sangat memahami bahwa bukit Thursina
dan berbagai tempat semisalnya, yang notabene adalah tempat-tempat
yang pernah dikunjungi oleh para nabi tercakup dalam keumuman larangan.
Oleh karena itu, bersafar menuju tempat-tempat tersebut tidak
diperbolehkan, sebagaimana bersafar ke masjid selain tiga masjid yang
disebutkan dalam hadits juga tidak diperkenankan. Bersafar (mengadakan
perjalanan jauh) ke salah satu masjid Allah tidak diperkenankan,
padahal pergi menuju masjid terkadang diwajibkan atau dianjurkan bagi
penduduk kampung karena terdapat banyak keutamaan yang tak terhitung
akan hal itu. Apabila hal tersebut tidak diperbolehkan, maka tentu
bersafar menuju kuburan para hamba-Nya lebih layak untuk tidak
diperkenankan.” (Al Iqtidla 2/183).
Syaikh Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan,
”Konteks
hadits ini menunjukkan pengharaman bersafar untuk mengunjungi berbagai
tempat selain ketiga tempat yang disebutkan di dalam hadits seperti
menziarahi orang-orang shalih, baik yang hidup maupun telah wafat
dengan tujuan bertaqarrub (beribadah) disana. Selain itu, larangan
tersebut mencakup tindakan bersafar ke berbagai tempat yang diyakini
memiliki keutamaan dengan tujuan bertabarruk dan melaksanakan shalat
disana. Pendapat ini merupakan pendapat Syaikh Abu Muhammad Al Juwaini
(imam Al Haramain-pen) dan juga Al Qadli ’Iyadl (keduanya merupakan
ulama Syafi’iyyah-pen).” (Subulus Salam 1/89).
Penutup
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan yang
dilakukan sebagian kaum muslimin, yaitu berziarah ke kuburan para wali rahimahumullah telah menyelisihi ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ridlwanullah ’alaihim jami’an. Larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radliallahu ‘anhu mencakup perbuatan mereka tersebut.
Patut
dicamkan hal ini bukan berarti melarang kaum muslimin untuk berziarah
kubur. Akan tetapi, yang terlarang adalah melakukan perjalanan jauh dan
berpeluh untuk mengunjungi tempat atau kuburan yang diyakini memiliki
keutamaan dalam rangka beribadah disana. Adapun menziarahi kubur tanpa
melakukan safar, maka hal ini disyari’atkan dalam agama kita apabila
dilakukan dalam rangka mendo’akan mayit, mengingat kematian dan
kehidupan akhirat.
Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi menetapkan,
“Tidak
diperbolehkan bersafar untuk menziarahi kuburan para nabi dan orang
shalih atau selain mereka. Hal ini adalah perbuatan yang tidak memiliki
tuntunan dalm agama Islam. Dan dalil yang melarang hal tersebut adalah
sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah suatu
perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid
berikut: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan masjid Al
Aqsha.” Begitupula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunan dari
kami, maka amal tersebut tertolak.” Adapun menziarahi kubur mereka
tanpa melakukan safar maka hal ini dianjurkan berdasarkan sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu
dapat mengingatkan seorang pada kehidupan akhirat.” Diriwayatkan Muslim
dalam Shahih-nya.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhutsi Al ’Ilmiyah wa Al Ifta, jawaban pertanyaan ketiga dari Fatwa nomor 4230, Maktabah Asy Syamilah).
Wash shalatu was salamu ’ala nabiyyinal mursalin. Al hamdu lillahi rabbil ’alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar