Jumat, 27 Juli 2012

Korupsi Ibadah



REPUBLIKA.CO.ID,oleh: Yudi Latif 

Banyak penyeru menekankan pentingnya ibadah sebagai cara memerangi korupsi. Pernahkah terpikir bahwa pengamalan ibadah yang salah justru bisa menyuburkan korupsi? Akar terdalam dari tindakan korupsi adalah korupsi terhadap peribadatan. Alquran mengisyaratkan hal ini sebagai pangkal kecelakaan. ”Maka, celakalah orang-orang yang shalat; yang lalai dalam shalatnya; yang hanya pamer; yang tidak memberikan pertolongan.”

Lebih dari tujuh dekade yang lalu, Mohandas K Gandhi menengarai adanya ancaman yang me matikan dari “tujuh dosa sosial”. Satu di anta ranya adalah ”peribadatan tanpa pengorbanan”. Dalam Hikayat Florentin, Machiavelli menandai ”kota korup” dengan sejumlah ciri. Antara lain, 
pemahaman keagamaan penduduk ”berdasarkan kemalasan bukan kesalehan”. Yang ia maksudkan adalah keagamaan yang menekankan aspek formal dan ritual ketimbang pengembangan esensi ajaran.
Memuja ”insan pembual dari pada insan pekerja,” memperindah tempat ibadah daripada menolong yang papa. Modus keagamaan seperti ini, menurutnya, ”membuat orang tak lagi beramal saleh, yang mengantarkan penduduk menjadi mangsa empuk tirani politik dan modal.” Membicarakan hal ini penting di bulan Ramadhan yang padat ibadah. Alangkah malangnya, jika peringatan Rasulullah menimpa kita, ”Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.”

Untuk tidak tergelincir dalam praktik korupsi terhadap ibadah, kita perlu menangkap pesan moral dari setiap peribadatan. Salah satu pesan moral dari puasa adalah menahan diri agar perut kita tidak menjadi kuburan bagi orang lain. Pesan ini, pertama dialamatkan kepada golongan pemimpin. Mengapa? Rasulullah mengingatkan, ”Tidak akan tersucikan suatu umat se lama si lemah tidak dapat menuntut dan mem peroleh kembali haknya yang dirampas oleh orang yang kuat tanpa rasa takut.”
Terhadap golongan ini, puasa mengajarkan penghayatan rasa lapar, untuk membangkitkan rasa kasih sayang dan tanggung jawab bagi rakyatnya. Dalam hal ini, Sayidina Ali menasihatkan, ”Tanamkanlah kasih sayang di hatimu terhadap rakyatmu, dan perlakukanlah mereka secara lemah lembut. Dan janganlah sekali-kali engkau menjadikan dirimu seperti binatang buas, lalu engkau menjadikan rakyatmu sendiri sebagai mangsamu.”

Kedua, pesan itu juga ditujukan kepada golongan elite. Mengapa? Imam Ali mengingat kan, ”Sesungguhnya rakyat yang berasal dari golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya bila diberi, paling lambat menerima alasan bila di tolak, dan paling lemah kesabarannya bila berhadapan dengan berbagai bencana.”

Terhadap golongan ini, puasa mengajarkan bahwa manusia tidak akan pernah merasa ”puas” hingga bisa ”puasa” (menahan diri). Puasa juga mengajak mereka untuk berzuhud: ”Tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu” (QS 57: 23), dengan menumbuhkan empati terhadap yang papa dan nestapa. Dengan demi kian, puasa mengajak kita untuk melampaui ego personal menuju kesadaran transpersonal.

Orang-orang dalam kesadaran transpersonal (makrifat) pada gilirannya akan memiliki kesadaran hakikat. Suatu bentuk kesadaran Rabaniyah yang menenggelamkan egosentrisme demi mencintai dan bersatu dengan alam semesta.

Dengan semangat Rabaniyah timbul keinsyafan akan tanggung jawab kepemimpinan. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, ”Setiap kamu pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” Tanggung jawab kepemimpinan ini pada gilirannya bukan saja menuntut perhatian keluar, tetapi terlebih dahulu harus menengok ke dalam, mengasah diri sendiri. Orang yang sadar dirinya, akan memahami Tuhannya.

Dan orang yang memahami kebesaran Tuhannya akan menyadari bahwa semakin besar bukan kian serakah dan bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Semoga puasa kita terbebas dari korupsi ibadah! 

Mimpi Basah Setelah Sahur

 

Bagaimana kalau mimpi basah abis sahur? Apakah puasa saya tetap sah sampai Magrib?
(Bamby, Semarang)

Apabila kita sedang berpuasa, melakukan sesuatu yang membatalkan puasa tanpa kesadaran atau tanpa kesesengajaan, misalnya makan atau minum, maka puasanya tidak batal karena dilakukan tanpa kesengajaan atau tanpa kesadaran.

Mimpi basah terjadi tanpa niat dan tanpa kesengajaan orang yang mengalaminya. Mimpi basah terjadi karena proses biologis ketika kapasitas sperma sudah melewati ambang batas, maka sperma itu keluar lewat mimpi, yang kemudian disebut mimpi basah.

 
Jupiterimages/Ilustrasi

Karena mimpi basah itu terjadi di luar kesengajaan atau kesadaran kita, maka hukumnya sama seperti kita makan atau minum tanpa sengaja. Oleh karena itu, puasanya tetap sah dan harus dilanjutkan hingga magrib.

Ada beberapa aktivitas yang mungkin oleh sebagian orang dinilai dapat membatalkan puasa, termasuk mimpi basah. Padahal jika merujuk pada keterangan-keterangan yang sahih dari Nabi Muhammad SAW ternyata hal tersebut tidaklah membatalkan puasa. Apa sajakah itu?

Gosok gigi
Islam memerintahkan kita menjaga kebersihan, salah satunya dengan menjaga kebersihan gigi. Karena itu menggosok gigi tetap dianjurkan walau sedang berpuasa. Hal ini mengacu ke hadis, Amir bin Rabi’ah R.A. mengatakan, “Aku melihat Rasulullah SAW menggosok gigi padahal beliau sedang puasa” (H.R. Ahmad dan Bukhari).

Muntah & mimpi basah
Orang yang muntadan mimpi basah puasanya tidak batal karena itu di luar kemampuan dirinya. Sebagaimana hadits, “Tidak batal orang yangmuntah, yangmimpi hubungan seks, dan berbekam (diambil darah).” (H.R. Abu Daud).

Mencium istri
Istri Rasulullah SAW. Ummu Salamah r.a. mengatakan, “Nabi Muhammad SAW menciumku padahal beliau sedang puasa" (H.R. Tirmidzi).

Diriwayatkan dari Aisyah R.A., “Nabi Muhammad SAW memeluk dan mencium (istrinya) ketika sedang berpuasa, dan beliau lebih mampu menahan diri dari siapa pun di antara kalian” (H.R. Bukhari).

Diambil darah
Diambil darah saat puasa untuk keperluan laboratorium atau sebagai donor darah tidak membatalkan puasa kecuali jika dengan donor tubuh menjadi lemah (drop), diperbolehkan untuk berbuka. Hal ini mengacu pada hadis, “Nabi Muhammad SAW berbekam (diambil darah) ketika beliau puasa” (H.R. Bukhari).

Mandi siang hari
Mandi di siang hari tidak membatalkan puasa sebagaimana keterangan seorang sahabat berikut, “Aku melihat Rasulullah SAW menuangkan air di kepalanya ketika puasa karena cuaca panas” (H.R. Ahmad).

Berkumur-kumur
Umar R.A. berkata, "Suatu hari aku merasa gembira kemudian aku mencium [istriku] padahal aku sedang puasa. Lalu aku mendatangi Nabi Muhammad SAW kataku, 'Hari ini saya melakukan kesalahan besar, saya mencium istri padahal sedang puasa,' Rasulullah SAW bersabda, 'Apa pendapatmu jika kamu berkumur dengan air, padahal engkau puasa?' Aku menjawab,'Tidak apa-apa,' Nabi bersabda, 'Lalu mengapa?'" (H.R. Ahmad dan Abu Daud)