Selasa, 14 Juni 2011

Aroma Dosa

Mohammad bin Wahsy, pernah berkata dalam muhasabahnya (perenungannya): “Seandainya dosa itu mempunyai aroma, tentu semua orang tidak akan senang duduk bersama saya“.

Bayangkan kalau dosa itu mempunyai aroma, maka semua orang tidak akan bisa hidup tenang, karena masih mencium bau busuknya. Apalagi efek sampingnya terhadap anggota tubuh kita, misalnya, ketika kita memakan hasil korupsi, lalu perut kita tiba-tiba buncit. Atau ketika kita selingkuh atau berzina lalu hidung kita menjadi belang, ketika mata kita suka melihat aurat wanita lalu mata kita tiba-tiba buta. Tentu semua orang tidak akan melakukan perbuatan dosa.

Tepatlah ucapan Imam Ghazali: “Dosa itu bagaikan debu yang menempel di kaca. Maka pandai-pandailah membersihkan kaca itu “. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya ” (QS. Asy-Syams: 9-10).

Kita bertambah yakin apabila hati kita bersih, Hati yang bersih akan memunculkan kedamaian, ketentraman, dan kesejukan. ltulah hati yang telah memperoleh percikan surga. Kalau situasi dan kondisi semacam itu telah terwujud dalam kehidupan sehari-hari, alangkah indahnya hidup.

Suasana kedamaian dan kasih sayang begitu terasa dalam kehidupan. Kehidupan keluarga (rumah tangga) penuh dengan nila-nilai kerukunan, di kantor (tempat kerja) pun telah tercipta suasana keharmonisan (kondusif), saling tegur sapa berlangsung sedemikian akrab, dengan tutur kata yang santun, sepanjang masa serasa berada di sebuah negara Baldatun toyyibatun warrabbun ghafur (Negara indah yang penuh dengan nilai-nilai keampunan dari Allah yang Maha Pengatur).
Tidak Sia-sia

Ada tiga yang tidak akan kembali, Kata-kata apabila telah diucapkan, waktu apabila telah berlalu, dan kesempatan yang terabaikan. Oleh karena itu, janganlah kita menyia-nyiakan umur dengan hanya menimbun dosa, lebih baik memperbanyak amal shaleh (berbuat kebajikan), yang nantinya akan mendapat pahala, yang merupakan jalan lebar menuju surga.

Setiap manusia tentu menginginkan surga karena ia adalah tempat bahagia, disediakan bagi orang-orang yang selalu meningkatkan kualitas taqwa dan kesabarannya. Untuk itu diperlukan gairah yang optimistis, menjadi manusia yang selalu condong untuk melakukan amal-amal shalih (kebajikan), sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT:

“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga, dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun ” (QS. An Nisa: 124).

Apabila seseorang telah condong kepada kebaikan dengan dasar kejujuran, dan ia ingin beraudiensi (bertemu) dengan Allah SWT, maka ia akan terhindar dari noda-noda, terhindar dari kepalsuan, terhindar dari amal-amal buruk.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam rangka menjawab pertanyaan seorang sahabatnya, Abu Darda: “Ya Rasulullah, mungkinkah seorang mukmin mencuri? ”
Kata Nabi SAW: “Ya, kadang-kadang”.
la bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berzina? “.
Kata Nabi SAW: “Mungkin saja”.
Abu Darda bertanya lagi: “Mungkinkah mereka (mukmin) berdusta? ”
Nabi SAW menjawab dengan ayat Al-Qur ‘an: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta” (QS. An-Nahl: 105)

Maka, apabila seorang mukmin sudah tercium bau kebohongannya, dia bukanlah seorang mukmin, melainkan dia (hanyalah) orang Islam. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: “Bahwa orang-orang Arab Baduwi itu berkata: Kami telah beriman. (Allah berfirman) Katakanlah (kepada mereka): kamu belumberiman, tetapi katakanlah kami telah tunduk. karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Al Hujuraat: 14)
Jujur dan Bohong

Hindanlah kebiasaan berbohong, karena kebohongan akan melahirkan kelemahan-kelemahan dan jiwa pengecut. Sedangkan kejujuran
akan melahirkan keberanian. Sahabat Nabi SAW, AbuBakar as Shiddiq pernah menyampaikan sebuah hadits: “Kejujuran adalah amanah, sedangkan kebohongan adalah khianat “.

Apabila seluruh anggota tubuh kita khianati, tidak mau peduli dengan aturan-aturan Allah, ketika makan, istirahat, bekerja, maka akan mengakibatkan badan sakit. Begitu juga halnya hati kita “akan sakif apabila kita tidak mau ikut aturan-aturan-Nya.

Hanya orang-orang yang kuat imannya yang tidak bisa tercium aroma dosa mengontrol diri dengan menghindari tempat-tempat maksiat. Mendobrak belenggu nafsu, ingin segara masuk ke dalam hati nurani. Di saat itulah seorang mukmin akan menemukan cahaya ilahi, yang sempat terlepas dari dirinya.

Sumber : Lembar Risalah An-Natijah Mo. 14/Thn. XIV - 3 April 2009

Kumpulan Hadist

" Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan - bisikan mereka kecuali bisikan orang yang menyuruh manusia memberikan sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia " ( An-nisaa ayat 114 )

"" Seorang duduk disebelah kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. " ( Qaaf ayat 17 - 18 )

Abdullah bin Umar Ra meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Kepada yang senang membaca Al'Quran di hari kiamat nanti dikatakan : " Bacalah dan perbaikilah bacaanmu sebagaimana yang telah kamu kerjakan didunia dahulu, maka sesungguhnya kedudukanmu itu tergantung kepada akhir ayat yang telah kamu baca itu. " ( HR. Tirmidzi)

Abu Hurairah Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda " Cukuplah bagi orang itu disebut pembohong jika dengan setiap apa yang ia dengar" ( HR. Muslim )

Aisyah Ra, meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW : " Bolehkah saya mengatakan kepada suami saya telah memberikan sesuatu padahal dia tidak memberikan sesuatu kepadaku ? " Rasulullah lalu bersabda : " Orang yang menyiarkan tenteng apa yang tidak dia terima (pemberian) bagaikan orang yang memakai dua baju kebohongan." (Muttafaq allaihi)

Abdullah bin Basar Ra pernah menyebutkan bahwa ada seorang laki - laki berkata : " Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam itu telah cukup banyak dalam pandangan saya, untuk itu beritahu saya dengan yang bisa saya jadikan peganggan. " Bersabda Rasulullah : " Lidahmu itu akan selalu basah dengan berdzikir kepada Allah." ( HR. Tirmidzi )

" Sesungguhnya sesuatu yang paling saya benci dan paling jauh posisinya dariku pada hari kiamat adalah mereka yang banyak bicara angkuh dalam berucap dan besar mulut." ( HR. Tirmidzi )

"" Barangsiapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau (kalau tidak bisa) diamlah." (HR. Bukhari)

" Abi Musa Ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : " Jika seorang wanita memakai wangi - wangian kemudian keluar menuju khalayak ramai agar mereka mencium baunya, maka dia telah begini dan begini (artinya sama saja seperti pelacur)." (HR. Ahmad)

" Berdoalah kamu sekalian kepada Alloh dengan perasaan yakin akan dikabulkannya doamu. Ketahuilah bahwasannya Allah SWT tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dan tidak bersungguh - sungguh." (HR. Tirmidzi)

Allah Azza Wa Jalla berfirman : " Orang - orang yang saling mencintai karena Aku mereka mendapat cahaya Illahi yang dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada." (HR.Tirmidzi)

" Barangsiapa yang ingin dilapangan rezekinya, ditangguhkan ajalnya dan dilapangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silahturahmi." (Mutafaq alaihi)

"Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayani." (HR. Bukhari)

" Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan dan dia (setan) diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu jika salah seorang dari kalian marah maka berwudhulah." (HR. Ahmad)

" Barangsiapa meniru - niru suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka." (HR. Abu daud)

Lihatlah Apa Yang Dikatakan, Jangan Lihat Siapa Yang Berkata

Lihatlah Apa Yang Dikatakan, Jangan Lihat Siapa Yang Berkata
Dalam beberapa catatan hadits tentang keutamaan Ayat Kursi diceritakan bahwa suatu ketika Abu Huroiroh ditugaskan untuk menjaga harta zakat. Namun selama tiga malam berturut-turut selalu ada seorang maling yang datang dan mencuri harta zakat tersebut. Sebetulnya oleh Abu Huroiroh maling tersebut sudah tertangkap, namun karena si maling tersebut selalu berjanji untuk tidak datang lagi maka Abu Huroiroh merasa iba dan melepaskannya.

Pada hari ketiga, di saat Abu Huroiroh sudah sangat kesal atas kelakuan si maling tadi, barulah si maling tadi mengaku bahwa sesungguhnya dia adalah syetan. Dan si syetan tersebut sempat mengatakan:” Bila anda ingin agar saya tidak bisa datang lagi, maka bacalah “Ayat Kursi”.
Ketika kejadian tersebut dilaporkan kepada Rosululloh SAW, beliau menyabdakan : “ Benar juga (syetan) si pendusta itu”.
Dari hadits tersebut kita bisa mengambil pelajaran bahwa walaupun yang mengatakan itu adalah syetan, tetapi karena yang dikatakan ketika itu adalah suatu kebenaran maka Rosululloh pun membenarkan. (Bahwa salah satu keutamaan Ayat Kursi adalah sebagai pengusir syetan).

Sekarang saya ingin membuat suatu perandaian. Andaikan tetangga anda tadi mengatakan:” Sebagai sesame tetangga, kita harus saling menghormati dan tidak boleh saling menipu”. Maka tidak boleh lantas mengatakan:” Betapapun bagusnya perkataanmu, saya tidak akan peduli, karena kamu suka berbuat maksiat”. Apakah lantas kita jadi boleh menyakiti tetangga atau boleh menipu orang lain gara-gara orang yang menasihatkan kalimat tadi adalah orang yang suika bernuat maksiat? ‘kan tidak begitu. Adapun orang yang suka berbuat maksiat, maka kemaksiatannya itu akan menjadi tanggung jawabnya dan tentu saja tidak boleh kita tiru dan tidak boleh kita idolakan.
Maka perlu kita renungkan suatu kalimah hikmah yang diriwayatkan pernah dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib : “Unzhur maa qiila , walaa tanzhur man qoola”. Cermati apa yang dikatakan , tak usah lihat siapa yang mengatakannya.

Sebagai manusia, kita tidak luput dari salah dan lupa. Dalam keadaan kita lupa, mestinya kita bersyukur bila ada yang mengingatkan kita, siapapun dia. Pada hakekatnya, Alloh jualah yang mengingatkan kita, dan peringatan dari Alloh bisa jadi lewat manusia yang menjadi perantara sampainya peringatan itu kepada kita. Mudah-mudahan Alloh SWT, memberi kekuatan pada kita agar kita bisa selalu berkata benar dan berbuat benar pula. Tidak hanya sekedar berkata atau mengaku benar tapi berbuat salah.

Wallohul-musta’aan walaa haula walaa quwwata illaa billah. Wasalaamu’alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh

Sunnah Rasul

Sunnah Rasul
Melaksanakan sunnah Rasulullah SAW sangat penting bagi kehidupan seorang muslim, baik dalam hal ibadah maupun muamalah (hablum minallahi wa hablum minannasi). Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya,”…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya “. (QS. Al-Hasyr[59]:7).

Disamping Al-Quran, sunnah Rasullah SAW merupakan pedoman hidup manusia. Dengan menjalankan kedua pedoman hidup tersebut, manusia bisa mencapai hidup yang sempurna, bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya, ditinggalkannya salah satu pedoman tersebut akan membuat manusia kehilangan arah dan tersesat dalam hidup. Ada banyak hikmah yang bisa diambil apabila kita melaksanakan sunnah Rasul SAW, diantaranya:
1. Hidup Menjadi Seimbang

Kehidupan Rasulullah Saw selalu berlangsung dalam keseimbangan antara jasmani, akal dan qalbu (rohani). Hal itu tercermin dari sikap dan perbuatannya sehari-hari. Sunnah Rasulullah Saw telah menjelaskan aspek-aspek tertentu agar tercapainya hidup yang seimbang

* Aspek jasmaniah
Rasulullah Saw selalu mengajarkan agar bidup bersih, memakan makanan yang halal dan baik serta tidak berlebihan. Rasulullah Saw menyatakan, “Perutmu itu sepertiganya untuk makanan, sepertiga untuk air dan sepertiganya untuk bernafas“. (QS. Al-Hadits).
Juga tentang keutamaan mukmin yang kuat jasmaniahnya, Rasulullah Saw, “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, (hal ini berlaku) dalam semua segi kebaikan“. (HR Muslim).
* Aspek Akal
Rasulullah Saw sangat menganjurkan dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Dalam haditsnya Rasulullah Saw menyatakan: “Barangsiapa yang menjalani satu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan akan dimudahkan Allah baginya jalan ke surga“. (HR. Muslim).
Penguasaan terhadap ilmu qauliyah (kitabullah dan sunah Rasulullah SAW) dan kauniyah (alam semesta) bermanfaat untuk kepentingan manusia dalam mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak menjadi orang yang taklid buta, ikut-ikutan tanpa dasar pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya“. (QS. Al-Isra’ [17]:36).
* Aspek Qalbu
Dalam al-Quran, Allah S WT berfirman, “Sesungguhnya orang-orangyang beriman itu adalah merekayangapabila disebut namaAllah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal “. (QS. Al-Anfaal [8]: 2).
Rasulullah SAW mengajak umatnya untuk selalu bertawakkal dengan mengendalikan hawa nafsu agar sesuai dengan kehendak Allah SWT sehinggaqalbunyabersih, itulah hati orang yang beriman dan Rasulullah Saw bersabda, “Hati orang mukmin bersih yang didalamnya terdapat lampu yang bersinar, tapi kalau hatinya orang kafir itu hitam, kotor dan berpenyakit “. (HR. Ahmad dan Thabrani).

2. Dapat memiliki akhlak al-karimah

Rasulullah Saw diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia, oleh karena itu Rasulullah Saw mempunyai sifat-sifat mulia yang dapat dijadikan pedoman hidup manusia agar dapat memiliki akhlakul karimah (akhlak yang baik), sebagaimana Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung “. (QS. Al-Qalam [68]: 4).

Bagaimana seseorang seharusnya berakhlak kepada yang menciptakannya Allah SWT, harus beribadah dan mengabdi hanya karena-Nya. Bagaimana seharusnya akhlak kepada sesama manusia. Rasulullah Saw selalu menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya baik terhadap sahabat-sahabatnya maupun terhadap musuh dan lawan. Bagaimana akhlak kepada makhluk lain alam, manusia harus menjalankan fungsi peran dan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
3. Dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat

Setiap manusia yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orangyang tidak meninggalkan (kepentingan) akhiratnya, karena (sibuk dengan kepentingan) dunianya. Dan tidak meninggalkan (kepentingan) dunianya, karena (tekun dengan kepentingan) akhiratnya. Dan tidak memberatkan (jadi tanggungan) orang lain “. (HR. Al-Khatib).

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 11 Th. XXIII - 13 Maret 2009

Surat Al-Ashr

Al-Ashri. Demikian bunyi ayat pertama dari surah al-Ashr. Surah yang sangat dalam dan luas isi kandungannya. Bahkan menurut ahli tafsir Muhammad ‘Abduh, bahwa seandainya hanya surat Al-Ashr ini saja yang diturunkan, maka sudah bisa mencakup seluruh kandungan Al-Quran.

Dalam surah tersebut, Allah SWT bersumpah dengan masa. Tentu kita akan bertanya, kenapa Allah bersumpah dengan masa?. Kenapa Allah bersumpah dengan makhluknya? Sementara kita makhluk-Nya tidak boleh bersumpah dengan selain Allah, karena Dia yang menciptakan seluruh makhluk di alam ini. Kita bersumpah dengan menyebut khaliq (yang menciptakan) para makhluk. Tetapi Allah bersumpah dengan masa, sesuatu yang kebih rendah dari Dzat Allah itu sendiri. Tak lain sebabnya adalah karena masa/waktu itu penting.

Setiap kali Allah bersumpah dengan sesuatu, maka berarti Allah menyuruh kita untuk memperhatikannya. Allah bukan hanya bersumpah atas masa, tetapi juga atas matahari, bulan, siang, malam dan sebagainya. Semuanya itu bertujuan supaya kita memperhatikan benda-benda dan makhluk-makhluk tersebut dalam rangka menambah keimanan kita kepada Allah SWT.

Allah bersumpah dengan masa, karena masa itu adalah sesuatu yang sangat penting. Dimana letak pentingnya masa? Karena masa itu terus berjalan. Masa tidak pernah berhenti, walaupun sesaat. Masa terus berputar dengan cepat. Masa tidak dapat kita kejar. Jangankan masa 5 atau 10 tahun yang lalu, sedetikpun waktu yang baru lewat tidak dapat kita kejar. Karena itu, kita harus bisa mempergunakan masa dengan sebaik-baiknya. Kalau tidak, kita akan menjadi orang yang merugi.

Pepatah Arab mengatakan, “Waktu itu laksana pedang, jika tidak kamu yang memotongnya, maka dia akan memenggalmu”. Dalam menyikapi waktu hanya ada dua pilihan. Mau menjadi orang yang dipenggal oleh waktu (merugi), atau sebaliknya menjadi yang memotong (mengambil keuntungan) dari perjalan waktu.

Dalam ayat selanjutnya dari surat Al-Ashr, Allah SWT menegaskan bahwa semua manusia pada hakekatnya merugi (la fii khusriri). Yang tidak merugi hanya orang-orang yang melakukan empat hal.

1. Aamanuu, yang beriman (beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kkab, rasul-rasul, hari akhir, dan takdir dan ketentuanAllah).
2. Wa ‘amilushshaalihaati, yang beramal shaleh baik sifatnya vertikal maupun horizontal, baik amal-amal mahdhah (ritual) maupunamal-amal sosial.
3. Wa tawaashau bil haqqi, saling menasehati kepada kebenaran dengan cara yang benar.
4. Wa tawashau bishshabri, saling memberi nasehat untuk bersikap sabar dengan cara sabar.

Merugi di sini janganlah diartikan seperti meruginya pedagang. Rugi yang dimaksud mencakup arti yang sangat luas, kerugian di dunia dan kerugian di akhirat. Di dunia, hidupnya tidak pernah tentram, walaupun segala keperluannya terpenuhi, dan di akhirat akan menerima azab yang maha dahsyat.

Orang yang beriman tidak akan merugi, sebab ia mempunyai tali untuk bergantung, rumah tempat berteduh, dan tempat untuk berlindung, yaitu Allah SWT. Orang yang tidak beriman kepada Allah, sama dengan orang yang tidak mempunyai tempat untuk berlindung. Ibarat orang yang berada di tengah lautan tanpa bantuan pelampung. Akibatnya ia akan terombang-ambing didera ombak gelimbang kehidupan dunia. Kadang-kadang dengan sedikit musibah yang menimpanya, dia sudah putus asa. Sedikit saja bahaya yang mengenai dirinya, dia mau bunuh diri.

Namun, iman saja belum cukup. Iman harus diikuti dengan amal sholeh. Iman letaknya di dalam hati, harus dizhahirkan (ditampakkan) dengan amal shaleh. Orang yang mengaku beriman, tetapi amal/ tingkah lakunya tidak shaleh, maka belum termasuk orang yang beriman dalam konteks surat Al- Ashr.

Selanjutnya, merekayang beriman dan beramal shaleh, haruslah saling memberi nasehat, wasiat kepada kebenaran (haq) dengan cara yang benar (ma ‘ruf), dan saling memberi nasehat, wasiat untuk senantiasa menjadi orang yang sabar dan dengan cara-cara yang sabar pula, tidak gegabah dan emosional.

Kata “saling” dalam terjemahan ayat mengindikasikan, bahwa memberi nasehat atau wasiat adalah kewajiban setiap orang yang beriman yang ingin beramal sholeh, tidak harus dimonopoli oleh orang-orang tertentu, sehingga orang-orang selain mereka tidak berhak menyampaikan nasehat. Semua manusia makhluk Allah SWT, sangat berpotensi berbuat khilaf, siapa pun dia. Nah, mereka yang mau terbuka menerima masukan orang lain, akan terbebas dari belenggu kerugian, karena masukan tersebut telah membuat dirinya tidak berlarut-larut dalam kekeliruan yang tidak diketahuinya sebelumnya.

Sumber : Buletin Mimbar Jum’at No. 8 Th. XXIII - 20 Februari 2009

Pemuda Adalah Tanaman Alloh SWT

Pemuda Adalah Tanaman Alloh SWT
Qola Nabiyu Sholallohu ‘alaihi wa salam :” Laa yazalullohu yaghrisyu fi hadhad-din i ghorssan yasta’miluhum fii to’atihi” HR Ibnu Madjah Juz 1 ha.5

Bersabda Nabi Muhammad SAW ” Tiada henti-hentinya Alloh senantiasa menanam tanaman dalam agama ini (Islam) , (yang mana) Alloh memberikan amalan kepada mereka dalam hal toat kepadaNYA”

Inilah hadits sabda Nabi Muhammad SAW yang berisi tentang rahasia Alloh.

Ternyata Alloh SWT memiliki “cara tersendiri” dalam menjaga keberlangsungan agama Islam agar terus terwujud di dunia.

Alloh SWT senantiasa mentaqdirkan mereka para generasi muda sehingga toat kepada Alloh, mencintai Agama Islam dan sanggup menegakkannya.

Mereka para pemuda (termasuk pemudi) hatinya digerakkan oleh Alloh untuk menggeluti ilmu dasar agama Islam, sebagaimana “paku bumi” yang ditancapkan untuk menjaga kelestarian Agama Islam di muka bumi.

Di tangan merekalah Islam lestari diestafetkan dari generasi ke generasi berikutnya sampai suatu zaman nanti di mana Alloh menghendaki mengakhiri segalanya.

Allohu akbar

Surat Al-Fatihah

Surat Al-Fatihah mengandung tiga pokok bahasan utama yang sekaligus merupakan pokok bahasa dalam kajian Islam, yaitu :

1. Aqidah (Tauhid).
2. Syari’ah .
3. Muamalah.

1.Aqidah (Iman Dengan Allah & Hari Pembalasan)

Al-Fatihah menanamkan keimanan dengan Allah dengan memperkenalkan tiga macam tauhid :

- Tauhid Rububiyah : Meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan dan mengatur alam semesta ( Ayat 2 ).

- Tauhid Asma’ & Sifat : Meyakini bahwa hanya Allah saja yang maha sempurna dalam segnap asma dan sifatnya. ( Ayat 1 & 3 ).

- Tauhid Uluhiyah : Meyakini bahwa hanya kepada Allah saja mengabdikan diri ( Ayat 5 ).

Surat al-Fatihah juga menanamkan keyakinan dengan hari pembalasan ( Ayat 4 )

2. Syari’ah .

Al-Fatihah membahas tentang tata cara hubungan manusia dengan Allah SWT, untuk mendapatkan keridhaan-Nya.( Ayat 5 )

3. Mu’amalah.

Al-Fatihah membahas juga tentang tatacara hubungan sesama manusia agar tercapai kehidupan yang bahagia penuh kenikmatan, dan terhindar dari kemurkaan Allah serta jauh dari kesesatan.( Ayat 7 ).


Ayat 1

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

Ayat yang pertama turun kepada Rasulullah SAW. Adalah : ( إقرأ باسم ربك ) “Bacalah dengan nama Tuahanmu!, yang mengandung makna agar Rasulullah SAW memulai menyampaikan wahyu kepada umatnya dengan menyebut nama-Nya. Untuk mengamalkan perintah Allah tsb. maka setiap awal surat yang disampaikan Rasulullah SAW, selain surat At-Taubah senantiasa diawali dengan menyebut “Basmalah” .

Dengan menyebut “Basmalah” pada setiap awal surat memberikan suatu pengertian bahwa wahyu yang disampaikan Rasulullah SAW. itu bukan dari dan atas kemauan Rasulullah SAW pribadi, akan tetapi ia berasal dari Allah SWT, dan atas perintah-Nya serta mengharapkan keridhaan dan keberkahan-Nya.

Sejalan dengan itu pula maka Rasulullah mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memulai setiap pekerjaan dengan menyebut nama Allah agar pekerjaan tersebut mendapatkan berkah dan ridha Allah SWT. Sebaliknya apabila tidak dimulai dengan menyebut nama Allah maka pekerjaan itu akan sia-sia. Sabda Rasulullah SAW :

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كل أمرذى بال لا يبدأفيه ببسم الله الرحمن الرحيم فهو أقطع (رواه أبو داود)

Artinya: Menurut keterangan Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW, pernah bersabda : ”Setiap perbuatan yang mengandung arti apabila tidak dimulai dengan “Basmalah” maka akan terputus berkatnya (tidak berhasil dengan baik)” ( H.R. Abu Daud ).

Ungkapan ( بسم الله) mengandung makna tersirat : Aku mulai, atau aku baca dengan nama Allah…; dengan demikian kalimat tersebut merupakan suatu doa’ atau pernyataan bahwa pekerjaan itu kita mulai dengan nama Allah, atau atas perintah Allah untuk mengharapkan ridha dan keberkahan daripada Allah SWT, serta terhindar dari hal-hal yang akan merusak pekerjaan tersebut atau merusak hati pelaku perjaan tersebut karena dorongan hawa nafsu dan gangguan syetan dan jin ataupun manusia yang mempunyai niat yang buruk.

الرحمن الرحيم

adalah dua nama dan sifat Allah yang terambil dari akar kata ( الرحمة) yang biasa diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan “ Rahmat ”. Arti keduanya secara umum adalah : “Yang mempunyai rahmat yang melimpah ruah dan senantiasa melimpahkan rahmat-Nya itu kepada makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Semua nikmat yang ada didunia ini berasal dari limpahan rahmat-Nya yang tidak akan pernah kering dan habis itu.

Secara rinci ada ulama yang menafsirkan الرحمن dengan : ”Sifat kasih sayang yang senantiasa tercurah, sedangkan الرحيم adalah aplikasi dari sifat tersebut, yaitu dengan segala kepemurahan-Nya Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepada makhluk-Nya . Sebaliknya ada pula yang menafsirkan kebalikan dari itu, yaitu الرحمن Adalah : Yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada makhlukNya tanpa pilih kasih. Apakah orang itu kafir atau muslim, apakah orang itu bersyukur atau kufur, apakah orang itu mukmin atau munafiq, semua diberi-Nya limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tidak akan pernah habis, karena itu biasa diterjemahkan dengan : Yang Maha Pemurah. Sedangkan الرحيم adalah sifat kasih sayang yang khusus diberikan kepada orang-orang yang beriman, baik didunia maupun diakhirat sebagaimana firman-Nya adaalam Surat Al-Ahzab ayat 43 :

(وكان بالمؤمنين رحيما )

artinya: “Allah itu Maha Penyayang terhadap orang yang beriman (QS.33:43).

Dengan membaca dan meyakini sepenuhnya bahwa semua nikmat yang ada didunia ini adalah milik Allah SWT, yang berasal dari limpahan Rahmat-Nya yang tidak putus putusnya dan meyakini pula bahwa Allah SWT, sangat pemurah untuk mencurahkan rahmat dan karunia-Nya maka timbullah pengharapan yang penuh dan optimis terhadap limpahan rahmat-Nya , sebaliknya dengan menyadari kelemahan kita sebagai manusia yang tidak akan mendapatkan kebutuhan hidup lahir dan bathin selain hanya dari Allah SWT yang Maha Rahman dan Rahim, maka akan timbullah rasa ketergantrungan kita kepada Allah dalam segala hal , dan sekaligus hilang pulalah rasa ketergantungan kita kepada siapapun selain Allah SWT.

Rasa ketergantungan dan penuh harapan kepada Allah SWT, dalam segala hal itu merupakan cikal tauhid yang tumbuh dalam diri seorang mukmin yang selanjutnya akan membuahkan pengabdian kepada Allah SWT, dengan melakukan ibadah dan mua’amalah, aktifitas kehidupan yang dirdhai Allah dengan penuh keikhlasan dan kecintaan mengharapkan keredhaan Allah SWT Yang Maha Rahman dan Rahim.

Mengucapkan dan merenungkan makna “Rahman & Rahim” selanjutnya juga akan menimbulkan rasa malu untuk melakukan kemaksiatan atau pendurhakaan kepada Allah SWT, yang senantiasa dan tidak putus-putusnya melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan apapun dari hamba-Nya selain kebahagiaan hamba-Nya itu sendiri dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Diantara orang-orang yang sesat menurut Al-Quran

Diantara orang-orang yang sesat menurut Al-Quran adalah :

Pertama : Orang Musyrik :

Siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah tersesat sejauh-jauhnya.(QS.An-Nisa’ 4:116)

Kedua: Orang kafir :

Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, benar-benar Telah sesat sejauh-jauhnya.(QS.An-Nisa’ 4:167)

Ketiga: Orang yang murtad :

Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, Kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.(QS.Ali Imran 3:90)

Keempat : Orang yang putus asa :

Ibrahim berkata: "Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat"(QS.Hijir 15:56)

Kelima: Orang-orang yang durhaka :

Siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.(QS.Al-Ahzab 33:36)

Orang Nasrani dinyatakan sesat karena kemusyrikan mereka mempersekutukan Tuhan dengan Isa bin Maryam dan menganggapnya sebagai anak Tuhan. Bahkan Al-Quran menyatakan mereka kafir. Firman Allah SWT :

Sesungguhnya Telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al masih putera Maryam", padahal Al masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.(QS.Almaidah 5:17).

Demikianlah do’a dan harapan kita setiap membaca Al-Fatihah, semoga kita berada pada jalan lurus yang diridhai Allah, dan kiranya Allah memberi kita kenikmatan hidup, dan semoga Allah senantiasa memelihara keimanan dan keislaman kita agar tidak tergelincir menjadi orang yang dimjurkai-Nya dan orang yang sesat. Semua harapan itu kita nyatakan dalam satu kata : Amiin. Menurut para ulama amiin tidaklah termasuk Al-Fatihah, namun setiap selesai membaca Al-Fatihah kita disunatkan mengucapkan Amiin yang artinya adalah : Perkenankanlah Ya Allah. Landasannya adalah sabda Rasulullah SAW :

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا تلا غير مالغضوب عليهم ولا الضالين قال: اّميـــن حتى يسمع ممن يليه من

الصف الأول (رواه أبو د وابن ماجه)

Artinya:

Dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata: Rasulullah SAW. bila beliau membaca “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhalin” maka beliau membaca : amiin sehingga kedengaran oleh orang orang sekitar beliau”(HR.Abu Daud dan Ibnu Majah

Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam

Urgensi Tafsir Al-Qur'an dalam Islam
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur'an.

Sejarah Tafsir Al-Qur'an

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :

1. Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur'an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur'an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafis bi al-Matsur.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

Bentuk Tafsir Al-Qur'an

Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

Tafsir bi al-Matsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:

“wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri....” (Surat Al Baqarah:187)

Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.

Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:

“alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......” (Surat Al An'am: 82)

Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :

“innasy syirka lazhulmun 'azhiim” (Surat Luqman: 13)

Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.

Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja'far An Nahhas).

Tafsir bi ar-Rayi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)

Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)

Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Metodologi Tafsir Al-Qur'an

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.

Metode Tahlili (Analitik)

Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur'an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur'an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

Metode Maudhu’i (Tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Macam Tafsir Al-Qur'an

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:

Tafsir Al-Qur'an
Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.

Tafsir Al-Qur'an

Diantara berbagai corak itu antara lain adalah :

* Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.
* Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
* Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
* Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
* Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
* Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

Perkembangan

Ilmu tafsir Al Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur'an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Diantara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.