Rabu, 21 Mei 2014

Mereka yang Dinaungi Allah

  Senin, 14 April 2014, 02:58 WIB

Sedekah (ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahmud Yunus

Pada hari kiamat, Allah SWT bakal mengumpulkan segenap manusia dari semua generasi di suatu tempat bernama mahsyar. Tempat itu berupa tempat terbuka. Di sana, tak ada satu naungan pun kecuali naungan Allah SWT.

Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW menggambarkan pada hari itu matahari akan berada sedekat-dekatnya dengan manusia. Dengan begitu, mereka dipastikan merasa kepanasan luar biasa. Keringat mereka bercucuran sangat deras.

Genangan keringat mereka sangat banyak. Ada yang menggenangi mata kaki, lutut, dan pinggang mereka. Bahkan, ada pula yang menenggelamkan mereka. Semua itu bergantung pada amal masing-masing.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat semua manusia berkeringat. Genangan keringat mereka di atas permukaan bumi mencapai tujuh puluh hasta. Dan, akan menggenangi mereka hingga telinga mereka.’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Pada hari itu hanya ada tujuh golongan yang berhak atas naungan Allah. Abu Hurairah menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, “(Terdapat) tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Siapa mereka yang beruntung itu? Pertama, pemimpin yang adil. Yakni orang yang memimpin rakyatnya dengan amanah dan tidak menghakimi mereka dengan menuruti hawa nafsunya.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.’’ (QS An-Nisaa [4] : 58).

Kedua, pemuda yang konsisten beramal kebajikan dalam hidupnya. Yakni yang beruntung mendapatkan taufik dan hidayah Allah sejak usia muda belia. Dia diberi kemudahan untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Dia terhindar dari perbuatan sia-sia, dan tak meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja. Allah SWT memuji mereka dalam firman-Nya, “Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.’’ (QS Al-Kahfi [18] : 13).

Ketiga, laki-laki yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid. Yakni yang selalu berupaya keras memakmurkan masjid dalam hidupnya.

Allah SWT berfirman, “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut selain kepada Allah. Merekalah yang diharapkan termasuk golongan orang yang mendapat petunjuk.” (QS At-Taubah [9] : 18).

Keempat, dua orang laki-laki yang saling mencintai atas nama Allah. Mereka berdua berkumpul dan berpisah atas nama-Nya. Allah berfirman, “Maka kelak Allah mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lembut terhadap orang-orang mukmin, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjuang di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS Al-Maidah [5] : 54).

Dari Abu Umamah RA Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa saling mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah maka iman pada dirinya telah sempurna.’’ (HR Abu Dawud dan disahihkan oleh Al-Albani).

Kelima, laki-laki yang manakala diajak mesum oleh wanita jelita dan memiliki kedudukan tinggi dengan tegas dia menolak ajakan semacam itu karena takut akan Allah.

Allah berfirman, “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari dorongan hawa nafsunya. Maka, sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya).’’ (QS An-Naazi’aat [79] : 40-41).

Keenam, laki-laki yang menyedekahkan hartanya dengan ikhlas demi mendapatkan keridaan-Nya semata (diilustrasikan dalam QS Al-Baqarah [2] : 271).

Ketujuh, laki-laki yang hatinya merasa takut kepada Allah. Dengan begitu dia selalu mengingat keberadaan-Nya, menyebut-nyebut nama-Nya, merenungkan kebesaran-Nya, karunia-Nya, dan rahmat-Nya. Tak jarang hingga berlinang air matanya (dilukiskan dalam QS Al-Maidah [5] : 83). Semoga kita semua termasuk golongkan yang dinaungi Allah. Amin.




Pemimpin Amanah

Rabu, 16 April 2014, 05:31 WIB

Pemanjat dari Federasi Panjat Tebing Indonesia memasang spanduk raksasa bertuliskan 'Pilih Yang Jujur' di Gedung KPK Jakarta, Selasa (8/4). (Republika/Agung Supriyanto)REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
  
Pada suatu hari, Abu Dzar al-Ghifari meminta kepada Nabi SAW agar diangkat sebagai pejabat (semacam wali kota).
Sembari menepuk-nepuk pundaknya, Nabi SAW menolak permintaan itu dan berkata, ’’Tidak, Abu Dzar.  Engkau orang lemah. Ketahuilah, jabatan itu amanah. Ia  merupakan kehinaan dan penyesalan di hari kiamat, kecuali bagi orang yang mendapatkannya secara benar, dan mempergunakanya dengan benar pula.” (HR Muslim).

Hadis ini menarik untuk direnungkan pada saat bangsa Indoensia sedang mencari dan akan memilih pemimpin, dalam pemilu presiden nanti. Menunjuk pada hadis di atas, seorang pemimpin tidak cukup hanya baik secara moral.

Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan dan integritas sekaligus yang dalam hadis ini disebut amanah.
Amanah berarti kepercayaan atau bisa dipercaya. Amanah berasal dari akar kata yang sama dengan iman. Jadi, amanah itu implikasi dari iman.

Tak ada iman bagi yang tak amanah,” demikian sabda Nabi (HR Ahmad). Ini berarti, kalau ada iman, maka ada amanah. Makin kuat iman semakin kuat pula sifat amanah pada seseorang. Amanah juga memiliki implikasi sosial.

Wujudnya berupa rasa aman dan kedamaian pada masyarakat. Kata al-amn yang diindonesiakan menjadi rasa aman dan damai berasal dari akar kata yang sama dengan amanah.

Ini juga mengandung makna bila pemimpin amanah, bisa dipercaya, lantaran dapat melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kehidupan masyarakat akan aman dan damai. Semakin pemimpin amanah, semakin rakyat aman dan sejahtera.

Dalam bahasa modern, amanah itu disebut trust (kepercayaan) atau trustworthiness (layak dan bisa dipercaya). Pemimpin amanah memiliki setidak-tidaknya tiga kriteria. Pertama,  kapabilitas yakni kemampuan atau kompetensi.

Ini diukur antara lain, melalui kepandaian dan ilmu, keterampilan mengelola dan memimpin . Manusia secara umum sulit atau tidak bisa memberi kepercayaan kepada orang yang bodoh atau tidak kompeten.

Kedua, integritas yakni kualitas moral dan keluhuran budi pekerti. Integritas menunjuk pada satunya kata dan laku perbuatan. Dalam intergirtas itu terdapat karakter. Karakter dibedakan dari citra.

Karakter adalah apa yang sebenarnya mengenai diri Anda sedangkan citra adalah apa yang dibayangkan orang tentang Anda yang boleh jadi bukan diri anda yang sebenarnya. Pemimpin memerlukan karakter, bukan citra.

Dalam integritas, juga terdapat kejujuran, yang berarti berkata benar atau mengatakan apa yang dilakukan dan melakukan apa yang dikatakan.
Integritas sangat  penting karena masyarakat tidak mungkin bisa memercayai orang yang tidak memiliki integritas tinggi.

Apalagi orang yang sudah nyata-nyata cacat secara moral, karena korupsi, menyuap, dan berbagai tindak kejahatan lainnya. Ketiga, bukti dan hasil.

Pada akhirnya, pemimpin disebut amanah saat sanggup membuktikan kepada rakyat dan dunia, kepemimpinan yang diembannya membawa perubahan bagi kemajuan bangsa dan peradaban. Wallahu a`lam!


Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)((QS ar-Rum: 41))

Telaga Rasulullah

Kamis, 17 April 2014, 06:48 WIB

Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Is Nursamsi
Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir. Pada suatu hari Rasulullah SAW keluar untuk menyalatkan jenazah syuhada Uhud.
Kemudian beliau beralih ke atas mimbar dan bersabda,’’Sesungguhnya aku akan mendahului kalian dan aku menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sesungguhnya sekarang ini aku sedang melihat telagaku, sesungguhnya aku  diberikan kunci-kunci kekayaan bumi atau kunci-kunci bumi. Sesungguhnya demi Allah, aku tidak khawatir kalian akan kembali musyrik sepeninggalku tetapi aku khawatir kalian akan berlomba-lomba dalam kehidupan dunia.’’ (HR Muslim).

Dalam hadis di atas dijelaskan, akan terjadi pada umat Rasulullah perlombaan mencari kehidupan dunia. Mereka rela mengorbankan iman dan akidahnya hanya demi kehidupan dunia sehingga mereka tidak mendapatkan telaga Rasulullah.

Ketika seseorang masuk ke telaga Rasulullah tidak akan merasakan dahaga sedikitpun. Sebaliknya, mereka merasakan kenikmatan begitu besar.

Diriwayatkan oleh Sahal, ia berkata pernah mendengar Nabi SAW bersabda,’’Aku mendahului kalian berada di telaga. Barang siapa yang sampai di sana tentu dia akan minum dan barang siapa yang telah minum niscaya tidak merasakan dahaga selamanya. Sungguh akan datang kepadaku kaum yang aku kenal dan mereka mengenal aku kemudian terdapat penghalang antara aku dan mereka.’’ (HR Muslim).

Telaga Rasulullah tidak akan diberikan kepada umatnya yang sibuk dengan kehidupan dunia, yang menjadikannya sebagai awal dan akhir dari kehidupan. Lalu, mereka rela meninggalkan amalan akhirat dan mengutamakan kehidupan dunia.

Telaga Rasulullah akan diberikan kepada mereka yang menjadikan dunia sebagai tempat bercocok tanam untuk mengais pahala demi negeri yang abadi (akhirat). Mereka menjadikan dunia sebagai tempat sementara dan mencari bekal sebanyak-banyaknya menuju akhirat.

Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba mendapatkan telaga Rasulullah. Caranya, menghindari kehidupan dunia yang melenakan dan menghancurkan diri kita.

Diriwayatkan oleh Amr bin Auf, Rasulullah SAW mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah ke Bahrain untuk memungut jizyahnya (upeti). Rasulullah SAW telah mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat Alaa bin Hadhrami sebagai gubernurnya.

Kemudian Abu Ubaidah kembali dengan membawa harta dari Bahrain. Orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah lalu melaksanakan shalat subuh bersama Rasulullah. Setelah shalat beliau beranjak lalu mereka menghalanginya.

Ketika melihat mereka beliau tersenyum dan bersabda,’’ Aku tahu kalian mendengar kabar Abu Ubaidah telah tiba dari Bahrain dengan membawa upeti.'' Mereka berkata,’’ Benar wahai Rasulullah.’’

Beliau bersabda,’’Bergembiralah dan berharaplah agar mendapat sesuatu yang menyenangkan kamu sekalian. Demi Allah, bukan kefakiran yang aku khawatirkan atas diri kalian tetapi yang aku khawatirkan adalah jika kekayaan dunia dilimpahkan kepada kalian seperti orang-orang sebelum kalian, lalu kalian akan berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba dan akhirnya dunia itu membinasakan kalian seperti yang telah membinasakan mereka.'' (HR Muslim).

 'Ketahuilah, sesungguhnya bahwa malaikat tidak mau masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat patung.(HR Bukhari)

Pahala Orang Teraniaya

Selasa, 22 April 2014, 05:51 WIB

Pemuda mabuk (ilustrasi)REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri

Dalam kitab Ushfuriyah karya Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri, dikisahkan, Ibrahim bin Azham, sebelum masuk Islam, memiliki 72 orang budak (hamba sahaya). Namun setelah masuk Islam, ia memerdekakan seluruh budaknya, kecuali satu orang.

Hal itu disebabkan si hamba sahaya ini suka minum minuman keras dan mabuk-mabukan. Pada suatu hari, sang budak kembali mabuk-mabukan. Tanpa disadarinya, ia bertemu dengan tuannya, yakni Ibrahim bin Azham. Si budak pun meminta diantarkan pulang.

"Wahai fulan, tolong antarkan aku ke rumahku," ujarnya. Ibrahim pun mengantarkannya. Namun bukan diantar ke rumah, melainkan ke kuburan. Mengetahui tempat yang dituju adalah kuburan, marahlah si budak tersebut.

Ia pun memukul Ibrahim dengan keras hingga jatuh tersungkur. "Bukankah aku minta diantar ke rumah. Kenapa kau antar aku ke kuburan?" kata dia. Ibrahim pun lantas segera bangkit dan berkata kepada si budak.

"Wahai orang yang pecah kepalanya, wahai orang yang sedikit otaknya, ini (kuburan) adalah rumah yang sebenarnya. Yang lain hanyalah majazi," ujar Ibrahim. Mendengar jawaban itu, bukannya tambah sadar, si budak malah makin marah. Ia pun kembali memukuli Ibrahim.

Ibrahim pun berkata: "Semoga Allah mengampunimu dan aku membebaskanmu." Tapi, lagi-lagi si budak justru memukulinya berkali-kali dengan penuh amarah. Ibrahim terus mendoakan si budak agar perbuatannya diampuni Allah SWT dan diberi petunjuk ke jalan Islam.

Akhirnya datanglah seseorang menghentikan perbuatan buruk si budak itu. "Wahai fulan, apa yang kamu lakukan? Mengapa engkau memukuli tuanmu?" kata laki-laki yang menghentikan perbuatan buruknya tadi. Kesadaran mulai menghinggapi pikirannya. "Siapa ini?" kata dia.

Laki-laki itu pun menceritakan, orang yang dipukulinya itu adalah tuannya, Ibrahim bin Azham. Si budak yang sudah dimerdekakan ini pun kemudian meminta maaf atas perbuatannya tadi. Ia lalu berkata: "Wahai tuan, maafkan kesalahanku." Ibrahim pun memaafkannya.

Si budak yang telah dimerdekakan ini berkata: "Wahai tuan, aku telah memukuli dan menyakitimu. Namun, engkau selalu saja berdoa yang terbaik untukku dan berkata semoga Allah mengampuniku."

Ibrahim berkata, "Bagaimana aku tak mendoakanmu, sebab karena perbuatanmu itu yang bisa mengantarkanku ke surga. Maka sudah selayaknya aku memohon doa kepada Allah agar Ia mengampunimu," ujarnya.

Dari kisah di atas dapat diambil kesimpulan, seburuk apapun perbuatan orang kepada kita, selayaknya kita tak membalasnya dengan keburukan pula. Sebaliknya kita dianjurkan mendoakannya dan berharap yang bersangkutan mendapat petunjuk  Allah SWT.

Sebab, jika kita membalas perbuatannya dengan keburukan pula, kita ikut berbuat zalim. Agama mengajarkan, bila melihat kemungkaran, kita harus mengubahnya (menghentikannya) dengan kekuasaan yang dimiliki.

Jika kita tak mampu, hentikan dengan lisan, dan bila tak mampu juga, cukuplah dengan hati untuk membenci perbuatan buruk itu. Kisah di atas juga mengajarkan agar kita tak semena-mena menganiaya (menzalimi) orang lain.

Misalnya mencuri, membunuh, membohongi, atau mengambil hak orang lain. Sebab, doa orang teraniaya itu sangat mustajab dan dikabulkan Allah.
Dan bagi mereka yang bersabar atas perbuatan zalim akan mendapatkan pahala dan surga dari Allah. Wallahu a'lam. 

 Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. ((QS. Al-Baqarah [2]:107))

Bekal Perjalanan

Rabu, 23 April 2014, 12:33 WIB

Takwa (ilustrasi).REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail

Sewaktu sakit menjelang wafatnya, sahabat Abu Hurairah sempat menangis. Ketika ditanya, beliau berkata, “Aku menangis bukan karena memikirkan dunia, melainkan karena membayangkan jauhnya perjalanan menuju negeri akhirat. Aku harus menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Aku pun tak tahu, perjalananku ke sorga tempat kenikmatan atau ke neraka tempat penderitaan.?”

Lalu Abu Hurairah berdo’a: “Ya Allah, aku merindukan pertemuan dengan-Mu, kiranya Engkau pun berkenan menerimaku. Segerakanlah pertemuan ini”! Tak lama kemudian, Abu Hurairah berpulang ke rahmatullah. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam).
   
Sahabat Nabi SAW yang satu ini, Abu Hurairah, memiliki keutamaan tersendiri. Lantaran tidak terlalu sibuk dalam bisnis dan politik, Abu Hurairah merupakan seorang sahabat yang paling banyak belajar dan mendapatkan pengajaran dari Baginda Rasulullah SAW.

Tak heran bila sejarah mencatatkan namanya sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis. Kita semua berhutang budi kepadanya. 
    
Sebagaimana ditunjukkan Abu Hurairah, setiap Muslim mesti mengingat kematian, dan memperbanyak bekal dalam perjalanan panjang menuju negeri akhirat. Setiap perjalanan, sejatinya, memerlukan bekal, baik fisik maupun non fisik (spiritual).

Kitab suci Alqur’an menyebut takwa sebagai sebaik-baik bekal. “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah/2: 197).
   
Bekal itu setidak-tidaknya meliputi empat macam. Pertama, transendensi, yang bertolak dari kekuatan iman kepada Allah SWT.
Transendensi menunjuk pada kemampuan manusia menyeberang atau melintasi batas-batas alam fisik, menuju alam rohani yang tak terbatas, yaitu Allah SWT. Ciri yang mula-mula dari orang takwa adalah transendensi, yu`minu bi al-ghayb (QS. Al-Baqarah/2: 3).
   
Kedua, distansi, yaitu kemampuan menjaga jarak dari setiap godaan dan kesenangan duniawi yang menipu (al-Tajafa fi Dar al-Ghurur). Distansi adalah kunci keselamatan.

Dalam bahasa modern, seperti dikemukakan al-Taftazani, distansi tak mengandung makna menolak dunia atau meninggalkannya, tetapi mengelola dunia dan menjadikannya sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah dan amal shalih. Di sini, dunia dipahami hanya sebagai alat (infrastruktur), bukan tujuan akhir.
   
Ketiga, kapitalisasi dalam arti kemampuan menjadikan semua aset yang dimiliki sebagai modal untuk kemuliaan di akhirat. Penting diingat, kapitalisasi hanya mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar percaya kepada Allah, dan percaya pada balasan-Nya.

Firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah/2: 45-46).
   
Keempat, determinasi dalam arti memiliki semangat dan kesungguhan dalam mengarungi kehidupan. Determinasi tak lain adalah perjuangan itu sendiri.

Dalam Islam, perjuangan itu bersifat multideminsional dan multi-quotient, meliputi perjuangan fisikal (jihad), intelektual (ijtihad), dan spiritual (mujahadah). Allah SWT akan  membukakan pintu-pintu kemenangan bagi orang yang berjuang dan memiliki determinasi dalam perjuangan. (QS. Al-`Ankabut/29: 69).
   
Inilah empat macam bekal yang perlu dipersiapkan sebelum ajal menjempunya. Semua orang berakal mengerti, kalau cukup bekal, perjalanan menjadi enjoy dan menyenangkan. Wallahu a`lam!


 Menguap adalah dari setan. Karena itu, apabila salah seorang dari kalian menguap, tutuplah serapat mungkin karena ketika salah seorang dari kalian berkata ‘huah’ (pada saat menguap), setan akan menertawakannya". (HR Bukhari)


Memperlakukan Anak Perempuan

Kamis, 24 April 2014, 04:19 WIB
Mendidik anak perempuan.REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hj Siti Mahmudah
Selain sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan, anak merupakan karunia dan hibah dari Allah SWT sebagai penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua, dan sekaligus sebagai perhiasan dunia, serta belahan jiwa (QS al-Kahfi [18]: 46).

Karena itu, perlakukan anak dengan penuh cinta dan kasih sayang, lebih-lebih bagi anak perempuan. Terkait anak perempuan, secara khusus Rasulullah SAW melarang memperlakukannya dengan kasar.

Dari Uqbah bin Amir berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, “Janganlah kalian memperlakukan anak-anak perempuan dengan kasar, karena sesungguhnya mereka adalah manusia yang berpembawaan lembut lagi peka perasaannya.” (HR Ahmad).

Hadis di atas menuntun kita, para orang tua, untuk mendidik anak-anak perempuan dengan baik dan bijak, serta tidak memperlakukannya dengan kasar. Sebab, perlakuan kasar dapat memicu rasa sakit hati dan dendam yang tidak mudah hilang dari ingatannya.

Bagaimana jika anak perempuan itu melakukan perbuatan yang menjengkelkan? Orang tua hendaknya dapat meluruskannya dengan baik dan bijak. Karena perlakuan kasar itu tidak dapat menyelesaikan masalah. Alih-alih meluruskan kesalahan anak, orang tua malah dijauhi.

Oleh karena itu, hindarkan tindakan menuduh, berburuk sangka, dan bermuka masam terhadap anak perempuan. Perlakukan anak perempuan dengan kelembutan dan kasih sayang.

Dan, sungguh beruntung orang tua yang dikaruniai anak perempuan dan ia dapat memperlakukannya dengan baik, bijak, dan penuh kesabaran. Maka, baginya balasan kemuliaan, yaitu surga. Subhanallah.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, lalu bersikap sabar terhadap keluh-kesah, suka-duka, dan jerih-payah mengasuh (mendidik) mereka, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga berkat kasih sayangnya kepada mereka.

Dalam hadis yang lain, “Barang siapa mempunyai tiga orang anak perempuan atau tiga saudara perempuan, dua orang anak perempuan atau dua saudara perempuan, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik dan bertakwa kepada Allah dalam mengasuh mereka, maka baginya surga.” (HR Tirmidzi).

Hadis lainnya, “Barang siapa menanggung tiga anak perempuan, lalu mendidiknya, menikahkannya, dan memperlakukannya dengan baik, maka baginya surga.” (HR Abu Dawud).

Redaktur : Damanhuri Zuhri


Semoga Allah mengaruniai kita, para orang tua, tambahan kesabaran dan ketakwaan dalam mendidik anak-anak, terutama anak perempuan dengan penuh cinta, kasih sayang, dan tanggung jawab. Aamiin.

 Beramallah kamu sekalian, karena beramal akan merubah sesuatu yang buruk yang telah ditentukanNya padamu(HR Bukhori-Muslim)





 

Sayangi Anak Kita

Jumat, 25 April 2014, 14:14 WIB 
Sayang anak
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bahagia
Dalam hadis riwayat Imam Muslim, ada seseorang wanita yang datang kepada Aisyah. Lalu, Aisyah memberikan tiga buah kurma. Wanita itu kemudian memberikannya kepada setiap anak satu buah kurma dan satu kurma tinggal di tangannya.

Dua anak kecil sudah memakan dua buah kurma itu dan memandang pada ibunya. Si ibu lalu membelah yang satu kurma itu menjadi dua dan memberikan kepada kedua anak itu masing-masing separuh. Setelah Nabi Muhammad datang, Aisyah mengabarkan tentang kejadian itu.

Beliau lalu berkata, “Apa yang membuatmu takjub dengan kejadian itu, sungguh Allah telah memberi rahmat-Nya kepada si ibu itu atas kasih sayangnya kepada kedua anak kecil itu.'' (HR Imam Muslim).

Dalam kisah lain, seorang Arab Badui pernah bertanya kepada Nabi, ’’Apakah Anda mencium anak laki-laki? Kami tidak pernah mencium anak laki-laki.”  Nabi SAW bersabda, ’’Aku tak dapat berbuat apa-apa terhadap kamu jika Allah mencabut kasih sayang dari hatimu.” (HR Imam Al-Bukhari).

Aqra bin Habis pernah melihat Nabi sedang menciumi Al-Hasan. Aqra berkata, “Sesungguhnya, aku mempunyai sepuluh orang anak, tetapi aku belum pernah mencium seorangpun di antara mereka!”

Lalu Rasulullah SAW bersabda,’’Barang siapa tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.'' (HR Imam Muslim). Kasih sayang Rasulullah SAW kepada anak kecil selain senang menciumi mereka maka beliau juga seneng memangku anak-anak kecil.

Usamah bin Zaid mengungkapkan, Rasulullah SAW pernah mendudukkan seorang anak di atas salah satu pahanya dan mendudukkan al-Hasan di atas pahanya yang lain. Lalu, Rasul memeluk mereka berdua lalu berdoa, “Ya Allah! Sayangilah kedua anak ini, karena saya menyayangi keduanya.’’

Makna  hadis di atas paling tidak ada empat perilaku model dalam memberikan kasih sayang yang diajarkan dalam Islam kepada anak-anak yang masih kecil. Pertama, memberikan makanan ringan yang dia sukai seperti permen.

Membagi makanan-makanan itu dengan adil kepada anak-anak jika lebih dari satu dan jangan ada yang lebih banyak dibandingkan dengan yang lain sebab akan menimbulkan iri hati kepada yang lain. Kedua, memberikan ciuman sebagai bentuk kasih sayang.

Ketiga, memangku anak-anak dan dan keempat meletakkan mereka di atas pundak. Cara-cara di atas merupakan gambaran bagaimana memperlakukan anak-anak supaya tumbuh dengan baik dalam hal kecerdasan yakni kecerdasan emosional dan spiritual.

Kasih sayang terhadap anak akan memengaruhi perilaku dan karakternya. Tentu hasilnya akan berbeda jika yang muncul adalah kekerasan terhadap anak.

Rasulullah SAW bersabda:"Barangsiapa yang berwudhu lalu menyempurnakannya, lunturlah dosa-dosanya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya."( HR Muslim)