Kamis, 11 April 2013

John Webster Jadi Mualaf Setelah Melihat Masjid

Selasa, 09 April 2013, 06:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mohammad John Webster dibesarkan dalam keluarga Protestan. Di usia remajanya, ia memiliki banyak pertanyaan soal kepercayaan yang dianutnya.

"Yang menjadi pertanyaan saya, di Inggris, banyak kemiskinan dan ketidakpuasan sosial. Agama saya seperti tidak berusaha untuk menyelesaikannya," kenang dia seperti dikutip Arabnews.com, Senin (8/4).

Sejak itu, Webster muda tidak lagi menerima Protestan dan beralih menjadi penganut komunis. Baginya, komunisme menciptakan kepuasan tersendiri. Tapi itu tidak berlangsung lama. Selanjutnya, ia beralih pada filsafat dan agama.

"Dari apa yang saya alami ini mendorong saya mengidentifikasi diri dengan apa yang disebut panteisme," katanya.

Webster mengakui peradaban Barat membuat masyarakatnya begitu asing dengan Islam. Ini terjadi karena sejak Perang Salib berakhir, banyak hal yang menyimpang terkait informasi tentang Islam dan Muslim.

Satu fase baru dalam kehidupannya dimulai ketika ia menetap di Australia. Di sana, ia membaca Alquran di sebuah perpustakaan umum di Sydney. Saat itu, kefanatikan Webster terhadap Islam coba ia tutupi. Padahal, ia sangat antusias untuk mengkaji lebih dalam terkait isi Alquran. Satu hari, ia temukan salinan Alquran terjemahan Inggris.

Pada satu surat, ia temukan satu hal tentang kehidupan Rasulullah. Ia habiskan berjam-jam untuk menemukan apa yang diinginkannya. Ketika keluar dari perpustakaan, Webster merasakan kelelahan. Kebimbangan muncul dalam pemikirannya.

Hal itu coba ia tangguhkan dengan berjalan menyusuri keramaian. Langkahnya terhenti ketika ia melihat tulisan yang menyebut 'Masjid'. Hatinya bergetar seketika. Wajahnya segera memucat.

"Inilah kebenaran.Spontan Webster mengucapkan syahadat. Tiada Tuhan selain Allah, Muhamamd adalah utusan Allah. Alhamdulillah, aku menjadi seorang Muslim," kata dia yang kini menjabat Presiden The English Muslim Mission.

Reporter : Agung Sasongko  
Redaktur : Karta Raharja Ucu

 Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minumnya ((HR Bukhari))

Belajar dari Musibah

Kamis, 11 April 2013, 16:51 WIB

                                                                                    REPUBLIKA.CO.ID,
HIKMAH oleh; Abdul Karim DS
Memasuki tahun 2013, bencana alam dan kecelakaan lalu lintas kerap terjadi di hampir seluruh Indonesia, bahkan di belahan dunia lainnya. Apakah kejadian ini tergolong musibah?

Musibah berarti peristiwa yang datang tidak diduga oleh manusia. Musibah itu suatu kejadian yang ada pada wilayah kekuasaan (takdir) Allah. Karenanya, ia diposisikan sebagai stimulus (S) dari Allah, seperti yang ditegaskan di dalam Alquran.

Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS at-Taghaabuun: 11)

Dengan paham di atas, musibah secara bahasa adalah tertimpa atau terkenai. Sedangkan, secara istilah ialah peristiwa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi umatnya pada umur 40 hari (dalam riwayat lain 40 malam) di rahim ibu.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap orang di antaramu dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari berbentuk nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian menjadi gumpalan seperti potongan daging selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya (menulis) 4 perkara: (1) ketentuan rezekinya, (2) ketentuan ajalnya, (3) amalnya, (4) ia celaka atau bahagia....” (HR Bukhari-Muslim).

Di sini, ada dua perbedaan yang mencolok dalam memaknai musibah. Dari sisi makhluk, manusia tidak bisa mendeteksi kapan datang dan perginya. Di sisi lain, Allah telah menentukan waktu terjadinya musibah. Jadi, ada semacam perjanjian ghaib antara Allah dan makhluk-Nya.

Di balik musibah ada hikmah, tetapi manusia tidak menyadarinya dan bahkan ada yang tidak mau menerimanya berupa sikap tidak mau tertimpa musibah.

Buktinya, mereka menganggapnya sebagai bencana atau hal-hal negatif dan menakutkan, bahkan azab. Musibah yang paling ditakuti oleh semua orang adalah kehilangan orang tua, terutama ibu kandung. Namun siapa kira, di balik musibah ini ada hikmah kesuksesan.

Dari i'tibar itu, ketaatan dan ingkar menjadi jawaban ketika ditimpa musibah. Taat dan ingkar merupakan sikap seseorang terhadap zat yang ghaib (yang berkaitan dengan rukun Iman).
Taat berarti patuh terhadap tugas dan kewajiban disertai tanggung jawab. Sedangkan, ingkar adalah bentuk perlawanan terhadap perintah.

Lalu, apa yang Anda lakukan jika mendapat musibah? Misalkan kecelakaan, yang menyebabkan kaki Anda patah.
Apakah Anda masih tetap berjuang mendirikan shalat, ataukah Anda berhenti dengan alasan kecelakaan? Tentu, sikap Anda sangat ditentukan oleh kualitas ketaatan Anda.

Jika ketaatan Anda hanya berdasarkan rasa takut, pasti Anda akan mengambil sikap untuk beristirahat. Akan tetapi, jika didasari oleh takwa, Anda tetap berjuang untuk bisa mendirikan shalat. Wallahu a'lam.

 Redaktur : Damanhuri Zuhri

 Buta yang paling buruk ialah buta hati.((HR. Asysyihaab))


 

Orang Berakal

Kamis, 11 April 2013, 09:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imam Nawawi
Qarun adalah manusia kaya raya yang hidup di zaman Nabi Musa. Di dalam Alquran dijelaskan  kekayaannya sangat melimpah. Bahkan, untuk kunci-kuncinya saja harus dipikul sejumlah orang dengan badan yang besar dan kuat. (QS al-Qashash [28]: 76).

Tapi sayang, Qarun berbuat aniaya, ia angkuh dan sombong. Hatinya beku dan akalnya keras, sehingga ia tidak bisa menerima nasehat kebenaran.

Ketika diperingatkan agar tidak angkuh dan sombong dengan harta yang dimilikinya ia malah berpaling sembari berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS al-Qashash [28]: 78).

Menurut Ibnu Katsir, ucapan Qarun itu menunjukkan dirinya tidak butuh dengan nasehat kebenaran. Bahkan ia tidak merasa butuh dengan apapun, termasuk ampunan dan ancaman Allah SWT. Ia merasa dirinya hebat dan harta yang dimilikinya murni karena kepintarannya.

Sikap Qarun yang tidak bisa menghargai orang lain dan selalu menganggap dirinya lebih baik dan lebih terhormat hanya semata-mata karena harta yang dimiliki adalah sikap orang yang kurang akal. Sikap demikian biasanya umum terjadi pada mereka yang dititipi harta kekayaan.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitabnya, Taj al-‘Aruus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus menjelaskan, “Hal pertama yang semestinya engkau tangisi adalah akalmu. Sebagaimana kekeringan bisa terjadi pada rumput, akal juga bisa mengering.''

Ia menambahkan, ''Berkat akal, manusia dapat hidup berdampingan bersama manusia lain dan bersama Allah. Bersama manusia dengan akhlak yang baik dan bersama Allah dengan mengikuti apa yang diridai-Nya.”

Jadi, kriteria orang berakal atau tidak, sama sekali bukan pada berapa kekayaan yang dimiliki, tapi pada bagaimana akhlak yang dimiliki, baik akhlak kepada sesama manusia maupun akhlak kepada Allah SWT.

Semakin baik akhlak seseorang terhadap sesama manusia dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu adalah orang yang berakal. Sebaliknya, semakin buruk akhlak seseorang terhadap sesama dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu tidak berfungsi akal sehatnya.

Lebih jauh orang berakal adalah orang yang paling ingin mendapat cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya, yaitu yang tawadhu’ yang mencintai dan dicintai” (HR Thabrani).

Di dalam Alquran, orang yang berakal disebut sebagai Ulul Albab. “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS Ali Imran [3]: 191).

Dengan demikian dapat dipahami, orang berakal bukanlah orang yang semata-mata kaya, tapi orang yang memanfaatkan siang dan malamnya untuk dzikir dan pikir, sehingga tidak bertambah usia melainkan bertambah baik keimanan dan ketakwaannya, serta semakin baik pula akhlaknya baik kepada sesama maupun kepada Allah SWT.

 Redaktur : Damanhuri Zuhri

Apabila seseorang mengafirkan temannya, maka ucapan (yang mengafirkan) itu benar-benar kembali kepada salah seorang di antara keduanya (yang mengatakan atau yang dikatakan). ( HR Muslim)






Godaan Harta

Minggu, 07 April 2013, 21:44 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H Ahmad Dzaki MA
Pemberian Allah subhanahau wa ta’ala berupa makanan, harta benda, kedudukan, anak, dan semisalnya merupakan ujian bagi manusia.

Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 28 yang artinya : “Dan ketahuilah, harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu tidak lain hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya pada setiap umat ada fitnah dan fitnah umat-Ku adalah harta.” Hadis riwayat at-Tirmidzi
Godaan harta ini akan datang dari berbagai sisi. Antara lain dari cara mencarinya. Allah SWT mensyariatkan
berbagai cara dalam mendapatkan harta, yang semuanya dibangun di atas keadilan dan jauh dari perbuatan zalim, perbuatan jahat atau menyakiti orang lain.

Maka, Orang-orang yang bertakwa kepada Allah SWT, tentu senantiasa memperhatikan batasan-batasan syariat dalam mendapatkannya.
Jauh dari unsur riba, unsur judi, dan bentuk-bentuk kezaliman lainnya, yang semuanya termasuk dalam bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Allah SWT mengingatkan kita dalam surat An-Nisa ayat 29 yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kalian.”

Godaan harta ini juga datang dari sisi perhatian dan keinginan seseorang terhadapnya. Sehingga sebagian orang ada yang keinginannya terhadap harta membuat dirinya berambisi terhadapnya. Hal ini membuat kesibukannya hanyalah mencari harta.

Mulai aktivitasnya setelah bangun tidur sampai kembali ke rumahnya untuk beristirahat, yang dipikirkannya hanyalah harta. Di saat duduk, berdiri, maupun berjalan, yang ada di hatinya hanyalah mencari harta.

Bahkan saat tidur pun yang diimpikan adalah mencari harta. Lebih dari itu, saat shalat pun pikirannya dipenuhi dengan harta. Seakan-akan dirinya diciptakan untuk sekadar mencari harta.

Padahal dengan perhatian dan keinginan yang berlebihan hingga melalaikan akhirat seperti itu, seseorang tidak akan mendapatkan rezeki kecuali yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk dirinya.

Orang yang demikian, tentunya orang yang tertipu serta terjatuh pada godaan dunia. Sehingga memusatkan seluruh pikiran dan kesibukannya untuk harta. Dia menjadikan dunia bersemayam di hatinya sehingga lupa dari beribadah kepada Allah Ta’ala.

Godaan harta juga akan muncul dari sisi penggunaannya. Dari sisi ini, kita dapatkan sebagian orang yang berharta memiliki sifat pelit sehingga tidak mau mengeluarkan zakatnya, tidak mau menjalankan kewajiban berinfak kepada kerabatnya yang wajib untuk dibantu.

Sedangkan sebagian yang lainnya justru mengeluarkan hartanya tanpa ada perhitungan serta dihambur-hamburkan sia-sia. Padahal Allah Ta’ala menyebutkan di dalam surat Al-Isra : 27-27 yang artinya :

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat haknya (mereka), (begitu pula) kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) sia-sia. Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya sia-sia adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.”

Karena itu, siapa pun di antara kita harus hati-hati dan senantiasa takut terkena godaan harta ini. Betapa
banyak orang yang lebih berilmu dari kita, terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan karena godaan ini.

Bahkan ada pula orang yang dahulunya istiqamah membela As-Sunnah dan melawan kebatilan, namun kala tergoda harta, kemudian terjatuh pada penyimpangan-penyimpangan.

Hal itu di antaranya disebabkan oleh ketidakhati-hatian serta perasaan aman dari bahaya godaan harta. Padahal harta secara umum akan menarik pemiliknya untuk memenuhi keinginan-keinginan syahwatnya.

Akibat memenuhi keinginannya, seseorang akan terseret hidup bermewah-mewah yang kemudian membuat dirinya sombong dan angkuh. Akhirnya membuat dirinya tidak peduli dengan kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Na'udzubillah.

Harta itu lezat dan manis, siapa yang menerimanya dengan hati bersih, ia akan mendapat berkah dari hartanya tersebut(HR Muslim)

Redaktur : Damanhuri Zuhri