Kamis, 26 April 2012

Rambu Kehidupan


 
Rambu lalu lintas. IlustrasiREPUBLIKA.CO.ID,  Ketika melewati jalan, saya melihat ada mobil yang berhenti parkir dengan santainya di bawah rambu jalan yang bertanda P dicoret. Bukankah itu artinya mobil itu tidak boleh parkir disana. Tetapi mengapa? Bukankah itu peraturan bersama, yang mesti ditaati bersama? Begitu juga tanda panah biru yang menunjukkan kendaraan sebaiknya melewati jalur itu, belum lagi tanda verboden, lampu merah jalanan, dan banyak lagi.



Apa yang bisa kita cermati dari rambu ini? Boleh jadi sebuah tanda-tanda batas, yang akan menuntun kita pada suatu cara untuk menentukan jalan yang akan mengantarkan kita pada suatu tujuan.
Dengan jalan yang penuh keteraturan, tidak saling merugikan, dengan kata lain jalan yang selamat. Namun bagi sebagian orang, seperti mobil yang berhenti parkir di bawah tanda dilarang parkir tersebut. Rambu, atau symbol keteraturan itu boleh jadi hanya dianggap sebagai pancang, atau tonggak hiasan jalan.
Bagi sebagian orang lagi rambu sangatlah penting. Makna sebuah “rambu” akan menjadi berbicara bahkan sangat lantang bagi sebagian orang yang sangat membutuhkan. Dalam ilustrasi rambu lalulintas, lampu merah (lampu stopan) adalah lampu yang mengatur seluruh pengguna jalan tersebut.rambu adalah satu bentuk pengejawantahan simbol aturan, regulasi dari regulator atau si pembuat aturan.
Rambu ini menjadi sebuah jawaban, solusi dari permasalahan yang muncul atau yang akan muncul. Rambu menjadi hidup, sangat sibuk, berbicara, bahkan berteriak bagi pelanggarnya.
Rambu yang kita bicarakan mungkin hanya berbentuk lampu atau dalam bentuk tiang pancang, tapi secara bentuk tidak menjadi masalah, maknanyalah yang menjadikan rambu tersebut sebuah sosok yang mengatur keharmonisan pengguna jalan raya. Tanpa rambu tak akan pernah ada toleransi, semua akan saling sikut, berebut cepat, dan tatanan aturan akan kembali ke hukum rimba. Manusia menjadi serigala bagi manusia yang lainnya.Siapa kuat dia yang menang. Pendek kata tanpa rambu, tanpa tanda batas, manusia akan melampaui batas.
Karena itu perlulah kita satu pedoman, satu rambu untuk melintasi perjalanan panjang ini. Perjalanan menuju akhirat sebagaimana ayat,“...sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.'' (QS Al Mu’min [40] : 39)
Dan pedoman, rambu atau petunjuk itu sebaik-baiknya adalah Alquran sebagaimana ayat, ''...dan Kami turunkan kepadamu Al kitab(Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjukserta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” Wa hudaw, wa rahmataw, wa busyra lil muslimin…. (QS. An Nahl, 16 : 89)
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Alquran adalah sebuah rambu yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, yang mengatur tentang hidup, sekaligus kehidupan. Sebuah system yang dapat membuat dunia menjadi harmonis dalam segala aspek. Subhanallah.
Seringkali kita kemudian membuat aturan, seakan-akan kitalah yang paling tahu tentang kemashalatan individu maupun kehidupan bermasyarakat.Padahal sulit untuk menselaraskan beragam keinginan, pihak yang satu dengan yang lainnya, harapan yang satu dengan yang lainnya. Karena dengan berbagai macam alasannya  manusia selalu mendahulukan keinginannya, kepentingannya, kelompoknya, golongannya.
Dan dikarenakan itu pula prioritas kepentingan diukur dari banyaknya suara yang terkumpul atau tidak, mendukung atau tidaknya, target kuorum rapat dan sebagainya. Dan seakan-akan kita dengan berbagai keterbatasan, kita harus mampu menetapkan aturan, definisi, juklak dan lain sebagainya secara adil seadil-adilnya.Bisakah aturan dibuat berlandaskan berbagai pertimbangan hak asasi kemanusiaan, komentar setuju dan tidak setuju, atau pro-kontra, bahkan polling suara?
Dan ini membuat sekali lagi seakan-akan antara yang Haq dan yang bathil ditentukan oleh banyaknya suara manusia yang mendukung dan akhirnya aturan Alloh dikesampingkan atas dasar keberagaman keinginan manusia.Padahal dalam sebuah ayat dijelaskan bahwa ; “Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang haq dan yang bathil”. (QS. Ath Thaariq, 86 : 13).
Jika kita memandang hakikat rambu dari sudut pandang kepentingan seseorang atau lebih, maka si pembuat “rambu” tersebut pastilah harus menguasai permasalahan secara menyeluruh agar tercipta suatu keharmonisan dalam tatanannya, begitu pula ilustrasi lain yang sejenis seperti manual book (buku panduan menggunakan) handphone. Dapat dipastikan agar penggunaan handphone dapat maksimal dan tidak terjadi kesalahan-kesalahan fatal, maka kita sebaiknya menggunakan buku panduan tersebut dengan sebaik-baiknya.Dan otomatis si pembuat handphone lah yang paling tahu kelebihan dan kekurangannya.
Oleh karena itu jika kita ingin memaksimalkan kehidupan kita ini, sebaiknya kita menggunakan pedoman, manual book, atau hukum, rambu-rambu dari yang membuat manusia, dunia, alam semesta beserta seluruh isinya ini. Karena yang membuatnyalah yang lebih mengerti.
Dan janganlah kita membuat aturan atau rambu yang bertentangan dengannya sebagaimana dijelaskan dalam ayat, “Ya ayyuhal lazina amanu ati ‘ulloha wa ati’urasula wa ulil amri minkum,…..Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (NYA), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nisaa, 4 : 59)
Oleh karena itu mari kita berjalan bersama-sama mengikuti “rambu-rambu” Allah SWT, agar kita tidak tersesat dan selamat dalam perjalanan. Jangan lupa “utamakan selamat”. Insya Allah
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
Twitter: @erickyusuf

Relasi Tuhan dan Hamba




REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar*

Ka'bah, berdoa di depan ka'bah
Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Tuhan adalah asalusul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada- Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini sesungguhnya siapa?
Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka 2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya. Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?
Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba. Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" ( similarity in uncomparability).
Allah SWT dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada satu pun setara dengannya" (). Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya dengan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.
Dalam konteks ini seolah-olah kalangan sufi —dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog- — beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya. Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa 'Alim (subjek yang mengetahui). (subjek yang mengetahui). Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya 'Alim tanpa ada ma'lum?
Alasan para sufi berpendapat demikian karena bukankah namanama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri? Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu. Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya? Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu. Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin. Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh. Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).
Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin. Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan de - ngan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai ham ba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.
Allah SWT sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal. Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.
Allah SWT sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya. Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugrah (isti'anah).

* Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Wakil Menteri Agama RI

Dengan Nama Allah SWT


 Pelajar SMP 2 Cibinong doa bersama



REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa sebelum melakukan aktivitas sebaiknya mengucapkan Bismillah atau dengan nama Allah?
Mari kita pahami dengan ilustrasi bila seandainya kita adalah tamu dari seorang pemilik rumah yang sangat besar, lengkap dengan segala fasilitasnya, bahkan dipenuhi dengan pelayan yang selalu siap melayani kita.
Lalu si pemilik rumah menitipkan rumah dan segala isinya pada kita, dan mempersilahkan kita untuk menikmati seluruh fasilitas di rumahnya, dilayani oleh para pelayan atas nama pemiliknya, dari mulai bangun, makan, melakukan aktivitas, menikmati seluruh fasilitas terus sampai tidur dan bangun kembali. Begitulah kiranya kita hidup di dunia ini, Allah SWT pemilik bumi langit dan yang berada di antaranya beserta seluruh isinya.
Keseharian kita akanlah selalu berkaitan dengan makhluk Allah, tidak saja manusia, tumbuhan dan binatang, tetapi juga air, angin, awan, gunung, batu dan seluruh apapun yang ada di bumi.
Itulah pelayan-pelayan atau hamba-hamba Allah, yang dengan mengucapkan Bismillah maka Insya Allah jika Allah mengizinkan maka para pelayan Allah pun akan melayani dengan senang hati.
Oleh karenanya, ucapan Bismillah mendatangkan keberkahan dalam artian kebaikan yang sangat banyak. Dengan pemahaman seperti itu sudah sepatutnyalah kita “kulonuwun”, memohon izin atas segala sesuatunya kepada pemilik segala sesuatunya yaitu Allah SWT dengan mengucapkan “Dengan Nama Allah”.
Dan dalam surah Al-Jatsiyah [45] ayat 13 Allah SWT berfiman, “Dan Dia telah menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya...”.
Bismillah, dengan nama Allah mengandung juga pemahaman mengatas namakan nama Allah secara keseluruhan yang berjumlah 99 atau yang kita kenal dengan asmaul husna.  Rahman, Rahim, Malik, Qudus, Salam, Mumin...
Dengan mengucapkan Bismillah, maka kitapun sekaligus memohon atas seluruh nama atau sifat Maha yang dimiliki oleh Allah SWT. Dan semoga kita menjadi orang-orang yang selalu mengucapkan Bismillahirrahmanirrahiim dalam setiap langkah kita, agar kita selalu dimudahkan, diringankan, dilancarkan, dituntun, dibimbing, diampuni dan diberikan yang terbaik yang hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang terbaik bagi kita semua. Aamiin.
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
twitter: @erickyusuf









Mari Menjahit




Memberi nasihat dapat memantapkan persaudaraan di antara umat IslamREPUBLIKA.CO.ID, Kita tidak sedang berbicara masalah FO atau Distro. Tema "Mari Menjahit" ini saya angkat karena kata nasihat, ya kata nasihat. Kata ini diambil dari akar kata nashaha, yang berarti menjahit atau menambal pakaian yang sobek. Maka orang yang mau menerima nasihat pada hakikatnya adalah orang yang siap ditambal lubang kekurangannya atau dijahit dan ditutup sobekan kesalahan pada dirinya.

Begitu pentingnya nasihat hingga Rasullullah SAW bersabda, “Agama itu adalah nasihat. ”Kami (para sahabat) bertanya, “untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, untuk pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh umat Islam.” (HR Muslim).
Memberi dan menerima nasihat memang berlaku untuk segenap manusia, siapapun orangnya, apapun pekerjaannya tanpa terkecuali. Nasihat yang berdasarkan Allah dan Rasul-Nya, berlaku untuk para pemimpin khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Setiap manusia tidak akan lepas dari kesalahan baik yang disengaja maupun tidak, oleh karena itu selain toleransi tetapi juga sistem kontrol kolektiflah yang harus dibangun dalam kontek supaya saling mengingatkan.
Dalam surat Al-‘Ashr (QS 103 : 1-3) Allah SWT berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan mereka yang saling mengingatkan tentang kebenaran dan saling mengingatkan dalam kesabaran.”
Surah ini menegaskan bahwa saling mengingatkan adalah upaya dakwah yang menjadi kewajiban setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat. Memang menerima nasihat, saran dan teguran tidaklah mudah, karena di samping rasa malu, kekurangannya terlihat orang banyak, juga disertai perasaan gengsi jaga wibawa. Padahal dengan begitu pastilah sobekan kekurangannya semakin lebar dan membesar.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang berani menerima nasihat dan sekaligus berani memberi nasihat, agar sobekan-sobekan kekurangan kita dapat tertutupi dengan jahitan nasihat setiap harinya, Insya Allah Mari Menjahit!
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.
Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)
Twitter: @erickyusuf









Jiwa dan Raga




REPUBLIKA.CO.ID,  Sahabat saya Boim sedang diet karbo. Dari bahasanya, dia paham betul apa masalah yang sedang dihadapinya. Ia mengaku terlalu banyak karbohidrat, jadi agar seimbang hindari nasi, kentang dan sebagainya.
Ada juga Chef Edwin Lau yang sangat piawai dalam meramu masakan sehat dan bergizi. Seluruh informasi dari mulai kandungan vitamin serta gramasinya disebutkan luar kepala sambil mengaduk-ngaduk bumbu.Masya Allah, dia tahu betul makanan apa yang harus masuk ke dalam perutnya.
Sedangkan, Pak Uuy yang juga kakak saya sudah hampir empat bulan mengutak-ngatik sepeda barunya. Maklum, dia perlu performa maksimal dari sepedanya untuk berolahraga menghilangkan lemak dan mencegah kolestrol naik, walaupun pada akhirnya lebih banyak urusan trendy dan gengsinya dari pada sekadar olahraga.
Tante dolly tetangga sebelah ibunya Paul pun selalu berbicara tentang pola makan dan pola hidup sehat. Banyak orang ingin sehat, beberapa ingin memiliki tubuh yang kuat, sebagian lagi ingin tubuh yang perkasa. Dan memang kebanyakan orang tahu betul cara merawat tubuh, agar tetap fit, mencegah datangnya penyakit.
Tetapi bagaimana dengan jiwa da ruh? Pernahkah kita membuat hati menjadi fit agar tidak terkena penyakit? Karena belumlah dapat disebut sebagai manusia bila tidak terdiri dari ruh dan jasad atau jiwa dan raga.

Urusan-urusan jiwa memang tertinggal di belakang. Seakan-akan manusia hanya terdiri dari daging dan tulang.  Padahal awal-mula penciptaan manusia adalah ruhnya.
Nah, jika raga membutuhkan makanan, begitu pula dengan ruh atau jiwa. Tubuh kita membutuhkan protein, mineral, karbohidrat, vitamin dan lain sebagainya, tidak hanya menu utama tetapi juga suplemen tambahannya.
Begitu pula dengan jiwa, makanannya pun bukan hanya shalat, puasa, atau yang wajib-wajib dalam rukun Islam saja, yang dapat di ilustrasikan sebagai menu utama atau main course. Memperbanyak mendengarkan tausyiah, mengikuti taklim, membaca Alquran, memperbanyak zikir, menegakkan sholat malam, berpuasa sunah dan banyak lagi suplemen-suplemen untuk makanan hati.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyebutkan bahwa; “Iman seorang hamba tidaklah lurus sebelum lurus hatinya. Dan tidaklah lurus hatinya sebelum lurus lisannya.”
Kalau hati seseorang kotor atau berpenyakit, maka imannya menjadi menipis. Sementara kalau hati bersih, atau sehat, maka imannya akan menguat.
Oleh karena itu Mari mulai saat ini kita perhatikan makanan bukan hanya untuk raga tetapi juga bagi jiwa. Kita tambah makanan-makanan “suplemen” jiwa agar menjadi sehat secara menyeluruh dan terintegrasi antara jiwa dan raga, Insya Allah.
Tidaklah lebih baik dari yang berbicara ataupun yang mendengarkan, karena yang lebih baik disisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Ustaz Erick Yusuf: Pemrakarsa Training iHAQi (Integrated Human Quotient)   
Twitter: @erickyusuf

Meraih Kesempurnaan Shalat



REPUBLIKA.CO.ID, Shalat merupakan kewajiban yang pertama kali diperintahkan oleh Allah kepada kaum Muslimin. Kewajiban shalat telah disampaikan langsung oleh Allah SWT kepada Rasulullah SAW tanpa perantara.
Shalat merupakan media penghubung antara seorang hamba dengan Tuhannya, yakni Allah SWT. Shalat sekaligus berfungsi sebagai pencegah perbuatan keji dan munkar. Di mata Rasulullah SAW, shalat merupakan penyejuk hati.
Pada zaman sekarang, banyak orang yang mengaku Muslim, namun mereka tidak melaksanakan shalat. Mereka lalai dan menganggap remeh urusan yang satu ini, padahal shalat adalah rukun Islam dan amalan yang pertama kali akan dihisab di akhirat kelak.
Orang menunaikan shalat saja masih mendapat ancaman dari Allah SWT, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya, tidak khusyu’ dan riya. Lantas, bagaimana  dengan orang yang berani meninggalkannya? Konsekuensi (hukuman) apa yang layak bagi mereka yang meninggalkan shalat?
Setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan shalat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Jika tidak, maka shalatnya tidak akan diterima. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah SAW, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat (mengetahui) aku shalat.”
Dalam buku ini, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah—yang merupakan salah seorang ulama salaf terkemuka—menjelaskan secara panjang lebar mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat dan disertai dengan dalil-dalilnya. Di samping itu, ia juga menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah SAW, mulai  dari takbiratul ihram hingga salam.
Buku ini juga dipadukan dengan pembahasan mengenai fatwa-fatwa shalat oleh ulama kontemporer terkemuka, yakni Syaikh Abdul Aziz bin Bazz. Buku ini dimulai dengan fatwa-fatwa dalam Alquran. Salah satu hal yang penting dalam bagian pembukaan ini adalah puluhan ayat tentang shalat yang bertebaran dalam Alquran.
Pembahasan yang juga sangat penting di dalam buku ini adalah  hukum meninggalkan shalat dan sifat shalat Nabi. Di dalamnya dibahas antara lain hukum orang yang meninggalkan shalat fardhu, wudhu, mandi junub, menutup aurat, shalat Jumat, dan lain-lain. Juga, sahkah orang yang shalat sendirian, padahal dia mampu berjamaah, serta enam sifat shalat orang munafik.
Tidak kalah pentingnya adalah pasal terakhir dalam buku ini, yakni rangkaian shalat Nabi SAW mulai dari menghadapi Kiblat sampai selesai. Buku ini sangat perlu dibaca oleh kaum Muslimin. Uraian dalam buku ini merupakan tuntunan yang sangat berharga bagi kaum Muslimin untuk meraih kesempurnaan ibadah shalat.

Judul buku        :  Fiqih Shalat
Penulis               : Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
Penerbit            : Pustaka As-Sunnah
Cetakan            : I, September 2011
Tebal                  : 448 hlm










Sejarah Hidup Muhammad SAW: Pemakaman Rasulullah (1)



Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, Selesai memberikan baiat kepada Abu Bakar, orang-orang segera bergegas lagi hendak menyelenggarakan pemakaman Rasulullah. Dalam hal di mana akan dimakamkan, orang masih berbeda pendapat.
Kalangan Muhajirin berpendapat akan dimakamkan di Makkah, tanah tumpah darahnya dan di tengah-tengah keluarganya. Yang lain berpendapat supaya dimakamkan di Baitul Maqdis, Yerusalem, karena para nabi sebelumnya di sana dimakamkan. 
Entah bagaimana orang-orang ini berpendapat demikian, padahal Baitul Maqdis pada waktu itu masih di tangan Romawi. Dan sejak Perang Muktah dan Tabuk, Romawi dengan pihak Islam sedang dalam permusuhan, sehingga Rasulullah menyiapkan pasukan Usamah untuk mengadakan pembalasan.

Kaum Muslimin tak dapat menyetujui pendapat ini, juga mereka tidak setuju Nabi dimakamkan di Makkah. Mereka mengusulkan supaya Nabi dimakamkan di Madinah, kota yang telah memberikan perlindungan dan pertolongan, dan kota yang mula-mula bernaung di bawah bendera Islam. 
Mereka berunding, di mana akan dimakamkan? Satu pihak mengatakan, dimakamkan di masjid, tempat dia memberi khutbah dan bimbingan serta memimpin orang shalat, dan menurut pendapat mereka supaya dimakamkan ditempat mimbar atau di sampingnya.
Tetapi pendapat demikian ini kemudian ditolak, mengingat adanya keterangan berasal dari Aisyah, bahwa ketika Nabi sedang dalam sakit keras, beliau mengenakan kain selubung  hitam, yang sedang ditutupkan di mukanya, kadang dibukakan sambil beliau bersabda, "Laknat Allah kepada suatu golongan yang mempergunakan  pekuburan nabi-nabi sebagai masjid."

Kemudian Abu Bakar tampil memberikan keputusan kepada orang ramai itu dengan berkata, "Saya dengar Rasulullah SAW berkata, 'Setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat dia meninggal."

Lalu diambil keputusan, bahwa pada letak tempat tidur ketika Nabi meninggal itu, di tempat itulah akan digali. Selanjutnya yang bertindak memandikan Nabi adalah  keluarganya yang dekat. Yang pertama sekali Ali bin Abi Thalib, lalu Abbas Bin Abdul Muthalib serta kedua putranya; Fadl dan Qutham serta Usamah bin Zaid.
Usamah dan Syuqran (pembantu Nabi) bertindak menuangkan air, sedang Ali yang memandikannya berikut baju yang dipakainya. Mereka tidak mau melepaskan baju itu dari (badan) Nabi. Saat itu mereka juga mendapatkan tubuh Nabi begitu harum, sehingga Ali berkata, "Demi ibu bapakku! Alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan di waktu mati."

Selesai dimandikan dengan mengenakan baju yang dipakainya itu, Nabi dikafani dengan tiga lapis pakaian; dua Shuhari (sejenis kain) dan satu pakaian  jenis  burd  hibara (kain Yaman) dengan sekali dilipatkan. Selesai penyelenggaraan dengan cara demikian, jenazah beliau dibiarkan di tempatnya.  
Pintu-pintu kemudian dibuka untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin, yang memasuki tempat itu dari jurusan masjid, untuk mengelilingi serta melepaskan pandangan perpisahan dan memberikan doa shalawat kepada Nabi.










Keutamaan Membersihkan Masjid


   REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makmun Nawawi


Masjid Sehitlik di kota Berlin


Pada zaman Rasulullah SAW ada seorang wanita hitam bernama Ummu Mahjan. Dia selalu menyempatkan diri membersihkan masjid Rasulullah SAW. Suatu hari ketika Rasul sedang ke pemakaman, beliau melihat sebuah kuburan baru.
Rasul bertanya, “Kuburan siapa ini, wahai para sahabat?”
Mereka yang hadir di situ menjawab, “Ini kuburan Ummu Mahjan, ya Rasulullah.”
Rasul SAW langsung menangis begitu mendengar berita tersebut, lalu beliau menyalahkan para sahabatnya, “Mengapa kalian tidak memberitahukan kematiannya kepadaku supaya aku bisa menyalatinya?”
Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, pada waktu itu matahari sedang terik sekali.” Rasulullah diam saja mendengar jawaban tersebut.

Lalu, beliau berdiri dan shalat untuk mayit yang sudah ditanam beberapa hari itu dari atas kuburnya. “Bila ada di antara kalian yang meninggal dunia, beri tahukan kepadaku, sebab orang yang kushalati di dunia, shalatku itu akan menjadi syafa‘at di akhirat.”
Sesudah berkata demikian, Rasulullah kemudian memanggil Ummu Mahjan dari atas kuburnya. “Assalamualaikum ya Ummu Mahjan! Pekerjaan apa yang paling bernilai dalam daftar amalmu?”
Rasulullah SAW diam sejenak. Tak lama kemudian beliau berkata, “Dia menjawab bahwa pekerjaannya membersihkan masjid Rasulullah adalah pekerjaan yang paling bernilai di sisi Allah. Allah Taala berkenan mendirikan rumah untuknya di surga dan dia kini sedang duduk-duduk di dalamnya.”
Secara fisik, masjid adalah bangunan biasa yang terdiri atas lantai, tiang, dan atap. Namun, secara spiritual, masjid adalah poros nadi umat yang sangat fundamental. Selain menjadi perekat umat di mana mereka bisa menebarkan kebajikan, masjid juga merupakan media bagi sang Muslim agar sukses dalam menjalin hubungan vertikal dengan Allah; melalui masjid, sang Muslim bisa melakukan mi'raj menuju Ilahi.
Dari masjid, kaum Muslimin bisa belajar-mengajar, keimanan seseorang tergambar, tingkat keberagamaan masyarakat terpancar, ketenangan dan kedamaian berbinar-binar, dan kebangkitan umat mengakar.
Seorang Muslim akan prihatin dan sedih manakala menjumpai seseorang yang dengan seenaknya mengotori masjid dan membiarkan kotoran (sampah) berserakan. Juga tidak etis jika kita membiarkan bau tak sedap bercokol di tempat wudhu, toilet, atau kamar mandi masjid, sehingga aromanya menyebar dan dihirup orang-orang yang shalat, membaca Alquran, iktikaf, atau ibadah lainnya.
Dengan demikian, kebersihan dan keasrian masjid jelas mendukung kekhusyukan kaum Muslimin dalam beribadah. Maka, sangat pantas kalau Allah dan Rasul-Nya memberikan pahala yang besar bagi mereka yang membersihkan masjid— sebagaimana tersimbul dalam riwayat di atas. Nabi juga bersabda, “Barang siapa yang mengeluarkan kotoran dari masjid maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga,” (HR Ibnu Majah).
Zaman memang sudah berubah dan modern, sehingga masjid-masjid membutuhkan pengurusnya. Namun, membersihkan masjid tentu saja bukan monopoli mereka. Selama mempunyai niat yang mantap, siapa pun punya peluang yang sama untuk mempersiapkan bangunan di surga, yakni dengan membersihkan masjid.








Dana Talangan Haji, Bolehkah?


Jamaah haji ibarat semut mengelilingi Kabah, Senin (7/10)
REPUBLIKA.CO.ID, Sejak 2004, Kementerian Agama memberlakukan sistem pembayaran setoran awal untuk biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Para calon jamaah (calhaj) menyetorkan dana mereka ke 27 bank penerima setoran (BPS) awal. Hingga akhir Februari, ditaksir jumlah dana setoran itu terkumpul Rp 38 triliun.
Sebagian BPS menggulirkan program dana talangan BPIH. Calhaj diberi kemudahan oleh sejumlah lembaga keuangan resmi berupa dana talangan. BPIH calhaj dipenuhi oleh lembaga yang bersangkutan agar mendapat nomor antrean. Di kemudian harinya, nasabah tersebut membayarnya dengan mengangsur. Bolehkah praktik dana talangan itu dijalankan oleh bank? Bagaimana prinsipnya?
Mengutip buku Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), lembaga keuangan syariah (LKS) bila diperlukan dapat membantu menangani pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip qardh. Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Konsekuensinya, nasabah tersebut berkewajiban mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama. Hukum transaksi qardh sendiri diperbolehkan.
Ada banyak teks yang menguatkan diperbolehkannya talangan haji dengan prinsip qardh. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah [2]: 282).
Hadis riwayat Tirmidzi dari Amr bin ‘Auf juga menjadi landasan. Rasulullah SAW bersabda, “Perdamaian dapat dilakuukan di antara kaum Muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan halal atau menghalalkan haram, dan kaum Muslimin terikat dengan syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan halal atau menghalalkan haram.”
Dari manakah lembaga penalang BPIH itu memperoleh dana? Masih di buku yang sama disebutkan, dana qardh yang dijadikan talangan diperoleh dari bagian modal atau keuntungan lembaga yang disisihkan. Bisa juga dana berasal dari lembaga lain atau individu yang memercayakan penyaluran infaknya ke bank yang bersangkutan.
Imbalan jasa
Lantas, bolehkah bank pemberi talangan mengambil imbalan jasa selama proses pengurusan? Menurut DSN-MUI, bank yang bersangkutan boleh mengambil fee. Praktik mengambil jasa atas pengurusan haji oleh bank merujuk pada prinsip al-ijarah. Besar imbalan jasa tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan qardh dari LKS. Jasa tersebut juga tak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
Terdapat banyak dalil yang dipergunakan sebagai landasan diperbolehkannya mengambil fee itu dengan merujuk prinsip ijarah. Allah SWT berfirman, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya, bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita) karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya." (QS al-Qashash [28]: 26).
Hadis riwayat Abd ar-Razaq dari Abu Hurairah dan Said al-Khudri juga menyatakan demikian. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

Inilah Virus Perusak Amal


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imron Baehaqi

Inilah Virus Perusak Amal
Sungguh beruntung dan mulia seseorang yang diberikan kelebihan harta, lalu mengeluarkan sebagian hartanya tersebut di jalan Allah (fi sabilillah) dengan penuh ketaatan. Dan, sungguh akan rugi dan hina orang yang memiliki kelebihan harta ketika hartanya tersebut hanya digunakan untuk bermegah-megah sehingga ia menjadi lalai dari ketaatan kepada Allah SWT.
Banyak di antara kita yang sadar terhadap pentingnya berinfak dan bersedekah, tetapi terkadang tidak sadar kalau kualitas ibadah infak tersebut menjadi rusak akibat perbuatan kita sendiri. Dalam Alquran banyak ayat yang menjelaskan tentang virus-virus yang merusak amal ibdah, termasuk infak atau sedekah seseorang.
Pertama, karena mengungkit-ungkit sedekah yang telah diberikan (manna) serta  merendahkan dan menyakiti hati orang yang menerima pemberian tersebut (adza). Perbuatan seperti ini adalah virus yang mengakibatkan ibadah infak menjadi sia-sia, yakni tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang diinfakkannya.
Amal yang demikian diibaratkan Alquran seperti debu di atas batu besar yang licin, kemudian ditimpa hujan lebat sehingga debu-debu itu menjadi sirna dan tinggallah batu itu menjadi bersih. (QS al-Baqarah [2]:264).
Kedua, berinfak karena riya, yaitu pamer dan ingin dipuji oleh orang lain. Termasuk gejala virus ini adalah seseorang yang berinfak atau bersedekah dengan tujuan mendapatkan suara untuk kepentingan politiknya, bukan karena mencari keridaan Allah SWT. Perumpamaan infak seperti ini sama dengan perumpamaan di atas. Pahala dan ganjarannya luput.
Ketiga, menginfakkan atau memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan, tapi harta atau barang yang diberikan yang paling jelek. Sedangkan, harta yang bagus justru disimpan untuk keperluan sendiri. Islam memerintahkan kepada umatnya supaya berinfak dengan harta yang paling bagus dan melarang memberikan sesuatu sebagai sedekah dengan harta yang paling buruk dan jelek.
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya dan Maha Terpuji.” (QS al-Baqarah [2]:267).
Berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat tersebut, Sahal bin Hanif mengatakan, “Orang-orang terbiasa memisahkan hasil perkebunannya yang tidak berkualitas, lalu mereka mengeluarkannya sebagai ibadah sedekah. Karena itulah, Allah menurunkan ayat di atas.” (HR Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim).
Dari penjelasan di atas, mudah-mudahan kita semua terhindar dari jenis-jenis virus tersebut. Dengan demikian, infak dan sedekah yang dikerjakan selama di dunia ini diterima di sisi Allah SWT serta mendatangkan banyak manfaat dan keutamaan bagi diri kita dan orang lain. Wallahu al-musta’an. 

PNS Langgar Sumpah Jabatan, Inilah Hukumnya Menurut Islam

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ustaz Bachtiar Nasir
Sumpah Jabatan/Ilustrasi
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu memba talkan sumpah-sumpah-(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)-mu sebagai alat penipu di antaramu .…” (QS al-Nahl [16]: 91-92).
Allah mewajibkan hamba-Nya untuk memenuhi sumpah dan janji yang diucapkan atas nama-Nya. Orang yang melanggar sumpah dan janjinya setelah diteguhkan diumpamakan seperti seorang wanita yang mengurai benang yang telah dipintalnya dengan kuat.
Badan Kepegawaian Negara telah menetapkan aturan kepada para PNS untuk memiliki akhlak dan budi pekerti tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Serta, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sumpah jabatan menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Angkatan Perang adalah sebagai berikut. “Demi Allah! Saya bersumpah, bahwa saya, untuk diangkat dalam jabatan ini, baik langsung maupun tidak langsung, dengan rupa atau dalih apa pun, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi empat sesuatu kepada siapapun. Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia. Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan. Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapa pun, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya, dan seterusnya.”
Pejabat yang telah melanggar sumpah jabatan, Allah kutuk termasuk sebagai golongan orang merugi. Boleh jadi, uang atau penghasilan dari tunjangan jabatannya akan menjadi sumber malapetaka dan kerugian bagi diri dan keluarga serta lembaganya. Allah berfirman, “(Yaitu) orangorang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.’’ (QS al-Baqarah [2]: 27).
Rasulullah SAW menggolongkan orang yang selalu menyalahi dan mengingkari janjinya kepada golongan munafik. Dari Abdullah bin ‘Amru mengatakan bahwa Nabi SAW bersabda, “Empat hal yang barang siapa terdapat pada dirinya keempat itu, maka dia adalah seorang munafik tulen, dan barang siapa yang pada dirinya terdapat salah satu dari sifat sifat itu, maka pada dirinya terdapat sifat munafik sampai dia meninggalkannya. Yaitu, apabila dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia menipu, dan apabila bertengkar dia fajir (curang).” (HR Bukhari dan Muslim. Ini lafazh Bukhari). Wallahu a’lam bish shawab.

Klinik Masjid di Bolton Bantu Pengobatan Stroke


REPUBLIKA.CO.ID, BOSTON - Lebih dari 100 orang warga Inggris diberikan pemeriksaan secara gratis oleh Dewan Masjid di Kota Bolton. Pemeriksaan gratis ini bagian dari kampanye yang diselenggarakan oleh lembaga kesehatan, NHS Greater Manchester.

Masjid Leytonstone, Inggris. Tak lagi mampu menampung jumlah jamaah.Kampanye ini ditujukan untuk memberikan layanan kesehatan bagi warga berusia lanjut, diatas 50 tahun dan penderita stroke. Sebagian besar pasien yang melakukan pemeriksaan adalah warga Inggris keturunan Asia Selatan.
Seorang konsultan stroke dari Oldham, Dr Anis Ahmed memberikan layanan informasi dan pemeriksaan tentang penyakit stroke dan mengurangi dampaknya. Direktur jaringan jantung dan stroke, Janet Ratcliffe yangikut dalam layanan informasi mengatakan, mengurangi cacat dan kematian akibat stroke merupakan prioritas warga Inggris.
"Kami sangat ingin mengatasi masalah di antara masyarakat muslim dan Asia Selatan. Semakin banyak orang yang tahu tentang stroke dan tanda-tanda dan gejala orang lagi yang bisa kita simpan," ujar Ratcliffe yang dilansir dari theboltonnews.co.uk, Selasa (24/4).
Penelitian menunjukkan warga keturunan Asia Selatan lebih signifikan timbul gejala stroke ketimbang warga  kulit putih. Stroke menyebabkan kematian 12 ribu orang setiap tahun di daerah Barat Laut. Stroke juga menghabiskan biaya pengobatan 2,3 miliar pound untuk pengobatan jangka panjang setiap tahun.