Senin, 17 Juni 2013

Apakah Sah Sedekah Dari Orang Yang Berhutang

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sah sedekah dari orang yang berhutang ? Apa kewajiban syari’at yang gugur dari seorang yang mempunyai hutang ?

Jawaban
Shadaqah termasuk jenis infak yang dianjurkan secara syari’at, ia merupakan perbuatan baik kepada hamba-hamba Allah apabila tiba waktunya. Seseorang diberi ganjaran pahala karenanya, dan setiap orang akan berada di naungan sedekahnya pada hari kiamat. Dia tetap dikabulkan, sama saja apakah atas seseorang yang memiliki tanggungan hutang maupun tidak menanggung hutang, apabila telah sempurna syarat-syarat dikabulkannya amalan, yakni dilakukan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berasal dari usaha yang baik dan dilakukan pada tempat yang tepat.

Dengan dipenuhinya syarat-syarat ini, jadilah dia amal yang terkabul menurut ketetapan dalil syariat, tidak dipersyaratkan keharusan tiadanya hutang atas diri seseorang, akan tetapi apabila hutang itu meliputi seluruh harta miliknya maka perbuatan itu (bersedekah) bukanlah tindakan yang bijaksana, tidak juga masuk akal bahwa dia bersedekah –padahal sedekah hanyalah amalan sunnah bukan wjib- tapi membiarkan (tidak melunasi) hutang yang wajib dia bayar.

Hendaklah dia memulai dengan amalan wajib terlebih dahulu barulah kemudian bersedekah, para ulama telah berselisih tentang masalah orang yang bersedekah di saat menanggung hutang yang menghabiskan seluruh hartanya, sebagian dari mereka berkata, ‘Sesungguhnya hal itu tidak boleh dia lakukan ; karena berakibat buruk pada orang yang berhutang, serta membuatnya terus memikul tanggungan hutang yang wajib ini.

Sebagian dari mereka mengatakan, ‘Tindakan itu boleh, tetapi dia menentang hal yang lebih utama’.

Yang terpenting hendaknya seseorang yang mempunyai hutang yang menghabiskan seluruh harta miliknya, tidak bersedekah sampai terbayarnya hutang ; karena wajib didahulukan daripada sunnah.

Adapun kewajiban-kewajiban syari’at yang diringankan bagi orang yang menannggung hutang sampai melunasinya :

Termasuk darinya haji, haji tidak wajib atas seseorang yang masih mempunyai hutang hingga dia melunasinya.

Adapun zakat, para ulama bersilang pendapat tentang apakah kewajiban itu gugur atas orang yang behutang ataukah tidak ? Sebagian dari ulama ada yang berkata, ‘Sesungguhnya (kewjiban) zakat gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sama saja apakah berupa harta yang konkrit maupun yang tidak konkrit (abstrak)’.

Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya zakat tidak gugur kewajibannya pada saat berhadapan dengan hutang, tetapi wajib atasnya mengeluarkan zakat dari semua harta yang ada di tangannya, walaupun dia menangggung hutang yang mengurangi nishab.

Sebagian dari mereka ada orang yang menjelaskan dengan berkata : “Jika harta itu termasuk harta abstrak yang tidak terlihat dan tidak tersaksikan, seperti uang dan harta perniagaan, maka kewajiban zakatnya gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sedangkan jika harta itu termasuk golongan harta konkrit seperti binatang ternak dan hasil bumi maka kewajiban zakatnya tidak gugur”.


Yang benar menurut saya : Bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur, sama saja apakah harta itu termasuk konkrit atau abstrak, bahwa setiap orang yang di tangannya terdapat harta yang mencapai nishab wajib maka wajib atasnya membayarkan zakat itu meski dia masih menanggugn hutang, itu karena zakat merupkan kewajiban atas harta berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [At-Taubah : 103]

Serta berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mengutusnya ke Yaman, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah menetapkan kewajiban zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka”. Hadits tersebut di dalam kitab shahih Bukhari menggunakan lafadz seperti ini, dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah ini menjadikan sisi ini terurai lepas, maka hendaknya jangan dipertentangkan antara zakat dan hutang ; karena hutang merupakan kewajiban pada tanggungan sedangkan zakat merupakan kewajiban pada harta, dengan demikian masing-masing dari keduanya diwajibkan pada tempat di mana yang lain tidak diwajibkan di sana, sehingga tidak mengakibatkan adanya pertentangan dan benturan di antara keduanya, pada waktu itu hutang tetaplah berada di dalam tanggungan si penghutang dan zakat tetap berada pada harta, dikeluarkan darinya pada tiap-tiap kondisi.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Furqon Syuhada dkk, Penerbit Pustaka Arafah]

Masih punya hutang, tapi ingin bersedekah

Monday, 11 July 2011 04:36

Seseorang yang dipercaya mampu membayar hutngnya dengan cara tertentu maka ia boleh bersedekah walaupun masih memiliki hutang. Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki penghasilan atau sesuatu yang kelak dapat digunakan untuk melunasi hutnag-hutangnya, maka lebih baik dan lebih utama jika ia melunasi hutangnya terlebih dahulu daripada bersedekah. Sebab, melunasi hutang adalah wajib, sedangkan sedekah adalah sunnah, maka sebaiknya ia tidak melakukan yang sunnah dengan meninggalkan yang wajib.
Adapun bagi orang yang yang memiliki keyakinan kuat kepada Allah, bahwa Allah Maha memberikan rezeki dan akan melipatgandakan harta yang disedekahkan, ia boleh bersedekah walau masih punya hutang. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Sayyidina Umar bin Khattab RA bahwa suatu hari seorang pria datang kepada Nabi Saw dan membantu beliau untuk memberikan sesuatu kepadanya. Maka beliau Saw. berkata:
“Saat ini aku tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi, belilah barang kebutuhanmu atas namaku, nanti akan kubayar ketika akan mendapatkan harta.”
Mendengar ucapan beliau Saw. maka Sayyidina Umar berkata:
“Duhai Rasulullah, Allah memaksakanmu untuk melakukan sesuatu ketika engkau tidak mampu”.
Rasulu kurang senang mendengar ucapan Sayyidina Umar tersebut. Maka pada saaati itu juga seorang sahabat Anshar berkata kepada beliau:
“Duhai Rasulullah, berdermalah dan jangan pernah merasa khawatir, Allah yang memiliki ‘Arsy tidak akan membuatmu kekurangan.”
Rasulullah pun tersenyum dan wajahnya nampak bahagia mendengar ucapan sahabat Anshar tadi. Beliau Saw kemudian berkata, “aku memang diperintahkan untuk berbuat seperti ini.” (HR. Tirmidzi dalam kitabnya asy-Syamâ’il).

Hutang dalam Islam

Hutang piutang (Arab, القرض او الدين)adalah suatu transaksi di mana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan. Hutang termasuk muamalah (transaksi) antara manusia yang cukup mendapat perhatian dalam Islam karena ada unsur ekonomi dan hak individu yang dalam Islam sangat dihormati. (Photo credit: Hantaran Pengantin 2012 oleh Santri Putri Al-Khoirot)

DAFTAR ISI

  1. Definisi Hutang Piutang
  2. Dalil Seputar Hutang Piutang
  3. Wajib Membayar Hutang
  4. Keutamaan (Fadhilah) Memberi Hutang
  5. Sabar Menagih Hutang
  6. Hutang untuk Keperluan Darurat

DEFINISI HUTANG PIUTANG

Pengertian hutang adalah memberikan sesuatu--yang memiliki nilai-- yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Contoh, A meminjam emas 10 gram pada B. Maka B wajib mengembalikan utang tersebut pada A sebanyak 10 gram emas atau uang senilai itu pada waktu yang telah ditentukan.


DALIL SEPUTAR HUTANG PIUTANG

1. Quran Surat Al-Baqarah 2:282

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فَسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

2. Hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi

نفس المؤمن معلقة بدينه, حتى يقضى عنه
Artinya: Nasib seorang mukmin tergantung pada hutangnya sampai ia melunasinya.

3. Hadits riwayat Muslim

القتل في سبيل الله يكفر كل شيء إلا الدين
Artinya: Mati di jalan Allah (mati syahid) menebus segala sesuatu kecuali hutang.

4. Hadits riwayat Bukhari

أنا أولى بالمؤمنين من أنفسهم ، فمن توفي وعليه دين فعلي قضاؤه ، ومن ترك مالاً فهو لورثته
Artinya: Aku adalah paling utamanya orang beriman. Barang siapa yang mati dan punya hutang maka wajib melunasi. Barangsiapa yang meninggalkan harta maka hutang itu dikenakan pada ahli warisnya.



WAJIB MEMBAYAR HUTANG

Dari dalil Quran dan hadis seputar hutang di atas, jelaslah bahwa membayar atau melunasi hutang wajib hukumnya. Bahkan setelah yang punya hutang mati tetap wajib membayar hutang dan kewajiban itu menjadi kewajiban ahli warisnya.


KEUTAMAAN (FADHILAH) MEMBERI HUTANG

1. Hadits riwayat Muslim

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya: Barangsiapa meringankan sebuah kesusahan (kesedihan) seorang mukmin di dunia, Allah akan meringankan kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan seseorang yang dalam keadaan sulit, Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup ‘aib seseorang, Allah pun akan menutupi ‘aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba tersebtu menolong saudaranya.


SABAR DALAM MENAGIH HUTANG

Orang yang menghutangi hendaknya berhati-hati dalam memberi pinjaman agar tidak kecewa di kemudian hari. Pertama, harus dilihat dulu rekam jejak (track record) orang yang hendak berhutang. Kedua, lakukan transaksi hutang piutang secara tertulis seperti perintah dalam QS Al-Baqarah 2:282.

Apabila dua hal di atas sudah dipenuhi dan ternyata yang berhutang tidak melunasi hutang sesuai janjinya, maka penghutang hendaknya bersabar dan memberi perpanjangan masa pembayaran hutang.

1. Berdasarkan QS Al-Baqarah 2:280

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.

2. Hadits Riwayat Muslim

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ
Artinya: Barangsiapa memberi tenggang waktu bagi orang yang berada dalam kesulitan untuk melunasi hutang atau bahkan membebaskan utangnya, maka dia akan mendapat naungan Allah.

3. Hadits Riwayat Bukhari

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهؐ تَجَاوَزُوا عَنْهُ ، لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا ، فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ
Artinya: Dulu ada seorang pedagang biasa memberikan pinjaman kepada orang-orang. Ketika melihat ada yang kesulitan, dia berkata pada budaknya: Maafkanlah dia (artinya bebaskan utangnya). Semoga Allah memberi ampunan pada kita. Semoga Allah pun memberi ampunan padanya.

HUTANG UNTUK KEPERLUAN MENDESAK (DARURAT)

Walaupun berhutang itu boleh (mubah), namun hendaknya dilakukan untuk kebutuhan yang penting dan mendesak karena ada bahaya apabila tidak mampu membayar hutang. Jangan hutang untuk kebutuhan konsumtif seperti memperbarui mobil atau mengganti perabot rumah yang masih cukup baik, dll.

Nabi memerintahkan agar kita hidup penuh syukur dengan cara melihat ke bawah bukan ke atas:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
Artinya: Lihatlah kepada orang yang lebih rendah darimu (taraf ekonominya). Jangan melihat orang yang lebih tinggi darimu. Hal itu lebih baik agar kamu tidak melupakan nikmat (anugerah) Allah padamu.

Kisah Nyata Syarifuddin Mengislamkan Ribuan Orang

Diposkan oleh Admin BeDa pada Selasa, 25 Desember 2012 | 07.00 WIB


Kisah nyata ini terjadi di Distrik Pumwani, Kenya, tahun 1998. Ribuan orang telah berkumpul di lapangan, untuk melihat bocah ajaib, Syarifuddin Khalifah. Usianya baru lima tahun, tetapi namanya telah menjadi buah bibir karena pada usia itu ia telah menguasai lima bahasa. Oleh umat Islam Afrika, Syarifuddin dijuluki Miracle Kid of East Africa.

Perjalanannya ke Kenya saat itu merupakan bagian dari rangkaian safari dakwah ke luar negeri. Sebelum itu, ia telah berdakwah ke hampir seluruh kota di negaranya, Tanzania. Masyarakat Kenya mengetahui keajaiban Syarifuddin dari mulut ke mulut. Tetapi tidak sedikit juga yang telah menyaksikan bocah ajaib itu lewat Youtube.

Orang-orang agaknya tak sabar menanti. Mereka melihat-lihat dan menyelidik apakah mobil yang datang membawa Syarifuddin Khalifah. Beberapa waktu kemudian, Syeikh kecil yang mereka nantikan akhirnya tiba. Ia datang dengan pengawalan ketat layaknya seorang presiden.

Ribuan orang yang menanti Syarifuddin Khalifah rupanya bukan hanya orang Muslim. Tak sedikit orang-orang Kristen yang ikut hadir karena rasa penasaran mereka. Mungkin juga karena mereka mendengar bahwa bocah ajaib itu dilahirkan dari kelarga Katolik, tetapi hafal Qur’an pada usia 1,5 tahun. Mereka ingin melihat Syarifuddin Khalifah secara langsung!

Ditemani Haji Maroulin, Syarifuddin menuju tenda yang sudah disiapkan. Luapan kegembiraan masyarakat Kenya tampak jelas dari antusiasme mereka menyambut Syarifuddin. Wajar jika anak sekecil itu memiliki wajah yang manis. Tetapi bukan hanya manis. Ada kewibawaan dan ketenangan yang membuat orang-orang Kenya takjub dengannya. Mengalahkan kedewasaan orang dewasa.

Kinilah saatnya Syeikh cilik itu memberikan taushiyah. Tangannya yang dari tadi memainkan jari-jarinya, berhenti saat namanya disebut. Ia bangkit dari kursi menuju podium.

Setelah salam, ia memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi. Bahasa Arabnya sangat fasih, diakui oleh para ulama yang hadir pada kesempatan itu. Hadirin benar-benar takjub. Bukan hanya kagum dengan kemampuannya berceramah, tetapi juga isi ceramahnya membuka mata hati orang-orang Kristen yang hadir pada saat itu. Ada seberkas cahaya hidayah yang masuk dan menelusup ke jantung nurani mereka. Selain pandai menggunakan ayat Al Qur’an, sesekali Syarifuddin juga mengutip kitab suci agama lain. Membuat pendengarnya terbawa untuk memeriksa kembali kebenaran teks ajaran dan keyakinannya selama ini.

Begitu ceramah usai, orang-orang Kristen mengajak dialog bocah ajaib itu. Syarifuddin melayani mereka dengan baik. Mereka bertanya tentang Islam, Kristen, dan kitab-kitab terdahulu. Sang Syeikh kecil mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Dan itulah momen-momen hidayah. Ratusan pemeluk Kristiani yang telah berkumpul di sekitar Syarifuddin mengucapkan syahadat. Menyalamai tangan salah seorang perwakilan mereka, Syarifuddin menuntun syahadat dan mereka menirukan: “Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.”

Syahadat agak terbata-bata. Tetapi hidayah telah membawa iman. Mata dan pipi pun menjadi saksi, air mata mulai berlinang oleh luapan kegembiraan. Menjalani hidup baru dalam Islam. Takbir dari ribuan kaum muslimin yang menyaksikan peristiwa itu terdengar membahana di bumi Kenya.

Bukan kali itu saja, orang-orang Kristen masuk Islam melalui perantaraan bocah ajaib Syarifuddin Khalifah. Di Tanzania, Libya, dan negara lainnya kisah nyata itu juga terjadi. Jika dijumlah, melalui dakwah Syarifuddin Khalifah, ribuan orang telah masuk Islam. Ajaibnya, itu terjadi ketika usia Syeikh kecil itu masih lima tahun. [Disarikan Abu Nida dari “Buku Bocah yang Mengislamkan Ribuan Orang”]

#Hutang – Mencari Pertolongan Allah SWT

Bisnis yang dulu berjaya tiba-tiba merugi, hutang menumpuk dimana-mana dan sebagainya. Padahal kita merasa sudah berupaya semaksimal mungkin mengatasinya, namun tetap saja belum membuahkan hasil. Hal utama yang perlu dan patut kita renungkan adalah dengan introspeksi yaitu dengan sebuah pertanyaan sejauh mana usaha kita tersebut?
Usaha manusia mencakup dua dimensi, yaitu lahiriah dan batiniah. Biasanya usaha batiniah yang sering kita lupakan. Ujung-ujungnya ketika kita menghadapi kendala dalam usaha, kita langsung memvonis bahwa Tuhan tidak adil. Padahal, Dia selalu menolong hamba-Nya, namun kita sendiri yang tidak mau meminta pertolongan-Nya.
Saya akan memberikan cara bagaimana hutang-hutang anda segera terlunasi dengan cara Islam, yaitu dengan doa-doa yang berasal dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya isi kandungan dari doa-doa kita tidaklah bertentangan dengan syariat Islam.
Salah satu contoh cerita yang sangat termasyur. Dari Abu Said Al-Khudri r.a. diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW memasuki masjid. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang sudah duduk lama di dalam masjid, pemuda itu bernama Abu Umamah.
Rasulullah SAW bertanya kepadanya : Wahai Abu Umamah, mengapa aku melihatmu duduk di masjid pada waktu-waktu di luar shalat? Abu Umamah menjawab, Aku sedang dilanda kesusahan dan dililit hutang-hutang wahai Rasulullah.
Rasulullah kemudian bersabda kepadanya, “Ketauhilah aku akan mengajarkan kepadamu ucapan yang apabila engkau mengucapkannya, maka Allah SWT akan menyingkirkan kesedihan dan membayarkan hutang-hutangmu. Ucapkanlah pada waktu pagi dan sore :
Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal khazani wa a’udzubika minal ‘ajni wal kasali wa a’udzubika minal jubni wal bukhli wa a’udzubika min ghalabatiddaini wa qahrirrijali.
Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan kesewenang-wenangan manusia.”
Kata Abu Umamah radhiyallahu anhu: Setelah membaca do’a tersebut, Allah berkenan menghilangkan kebingunganku dan membayarkan lunas semua hutangku. (HR Abu Dawud 4/353)
Jangan sampai kita diberi tahu sama ahli dan pakar kitanya lebih percaya tekun mencatat, tetapi hadist Rasulullah SAW yang dikasihkan kepada kita dicuekin, bagaimana etika kita disisi Allah SWT, caranya gak dipakai. Padahal semua proses itu adalah bagian dari proses kepada solusi, bagian dari ibadah, bila masuk ke dalam Islam pakailah semuanya yang membuat Allah ridho, ada sabar, ada tawakkal bila ikhtiar sudah maksimal dan melanggengkan ketaatan.

Kepastian Pertolongan Allah SWT

Allah SWT Berfirman Artinya : Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesngguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (TQS. Al-Hajj : 40)
Ayat ini menjelaskan kepastian pertolongan Allah bagi orang yang menolong-Nya. Kepastian pertolongan Allah ini dapat dilihat dari penggunaan perangkat tauqid sebanyak dua kali, yaitu lam ibtida dan nun tauqid (nun bertasydid).
Penggunaan perangkat tauqid ini bertujuan agar orang yang menerima informasi benar-benar yakin akan kebenaran isi berita yang disampaikan kepadanya. Apalagi ditekankan sampai dua kali penekanan. Maka semestinya tidak boleh ada keraguan sedikitpun dibenak kita bahwa Allah benar-benar akan menolong orang yang menolong-Nya.
Imam Al-Baghowi menjelaskan, bahwa menolong Allah yang dimaksud adalah menolong agama-Nya dan nabi-Nya. Sedangkan Imam Ath-Thobari menjelaskan, bahwa yang dimaksud adalah berjihad di jalan Allah, untuk meninggikan kalimat Allah atas ejekan musuh-musuh-Nya.
Menolong agamanya Allah berarti menolong agama Islam. Dengan kata lain mengembalikan posisi agama Islam sebagaimana mestinya agar Umat Islam ini kembali kepada ajaran Agama-Nya dan mencintai Agama-Nya. Dikala saat ini banyak umat yang dipalingkan oleh kelalaian dan kemaksiatan secara merata.
Dalam surah Al-Hajj ayat 40, Allah pasti menolong orang yang menolong Allah. Pada ayat 41, Allah menyifati orang-orang yang mendapat pertolongan tersebut :
Artinya : (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang maruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allahlah kembali segala urusan.
Kalau pada ayat tersebut Allah menunjukkan karakter orang-orang yang akan mendapat pertolongan Allah, maka sebaliknya pertolongan Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki karakter sebagaimana yang telah Allah tetapkan. Karakter orang yang mendapat pertolongan Allah adalah orang-orang yang menjalankan/mengerjakan syariat Islam dan orang-orang yang melakukan amar maruf nahi mungkar. Sedangkan orang-orang yang melanggar syariat Islam, apalagi berupaya mengganti syariat Islam dengan aturan yang lain, tentu pertolongan Allah tidak akan diberikan. Demikian juga orang-orang yang tidak mau melakukan amar maruf dan nahi mungkar, tentu tidak akan mendapatkan pertolongan Allah.
Karakter yang lain yang tidak akan mendapat pertolongan Allah adalah:
Artinya : Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan (TQS. Huud : 113)
Pada ayat tersebut, Allah menjelaskan sifat orang yang tidak mendapat pertolongan Allah adalah orang yang cenderung kepada orang yang berbuat dzalim dan meridloi kedzaliman yang mereka lakukan serta tidak ada upaya untuk menghentikan kedzaliman mereka.
Artinya : Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong (TQS. Al-Baqarah : 86)

Sedekah

Bagaimana mungkin saya bisa melakukan sedekah? Untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja masih kurang, belum lagi hutang masih menumpuk? Pertanyaan inilah yang sering dikemukakan orang yang berhutang ketika disuruh bersedekah. Aya-aya wae! (ada ada saja), demikian sanggahnya.
Padahal, kalau mereka tahu, justru inilah jalan keluarnya. Saat kita dihimpit persoalan ekonomi, saat kita banyak hutang dan tidak tahu bagaimana cara membayarnya, sedekah solusinya! Jika digali lebih dalam firman Allah ini, dengan artinya pada Surah At Talaq ayat 7: Dan orang yang disempitkan rizkinya, hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, maka sedekah ternyata bisa menjadi solusi dari masalah yang sedang kita hadapi. Kalau ingin urusan kita selesai, segeralah bersedekah dan gabungkan dengan amalan-amalan lainnya, dengan ikhlas meyakini Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, banyak nyebut, banyak sholawat dan istighfar. Jangan malah orang ditawakalin, digantungin sampai jadi hilang harga diri..naikan terus intensitasnya, naikan dan naikan semua ibadah jangan berhenti, kuatkan keikhlasan semua harapan dan kejadian ditangan Allah bukan ditangan yang lain.
Dan yang lebih penting adalah amalan sehari-hari, jangan sekedar ibadah itu hanya ritual tanpa memperbaiki diri, yang masih ganjen stop ganjennya mending kirim2 hadist terutama bab akidah, bab mencegah kemusyrikan yang pahalanya gedean semisal dilarang baca perbintangan, ramalan dsb karena dosa syirik bisa mengakibatkan kekafiran tanpa sadar, atau memulai pakai jilbab, saudara kita yang ke dukun, yang doyan maksiat zina dan judi, benerin keluarga kerabat toh semuanya akan kembali kepada kita, manfaat dakwah paling utama dibanding manfaat lainnya karena mengantar kepada keselamatan dunia dan akhirat.
Para Nabi, Wali itu doanya cepet terkabul karena mereka paling banyak ngasih manfaat ilmu Allah kepada orang banyak. JADI sekali mereka berdoa, shalat, hasilnya berlipat ganda, lakukan dengan ikhlas yakin, kejar balasan akhirat, dunia bakal mengejar tanpa capek, ngurus anak orang, rumah orang, kantor orang aja dibales cepet jasanya sama manusia, apalagi ngurus agama Allah..beneran abis, makanya kasihan bagi yang gak nyadar2 dan terus hidup meragu menggapai impian kosong. Di Islam untuk ibadah Gak sekedar mikirin dirinya sendiri, tapi benerin orang lain, keluarga, adik-adik kita, teman2 kita semaksimal mungkin.
Janji Negara, Presiden, Konglomerat bisa bohong, bisa ada kendala diluar dugaan, tetapi janji Allah pasti beneran dalam bentuk yang terbaik kepada kita. Kalo kita perbanyak beramal, ikhlas, apalagi sampe terjadwal, dan larinya juga kenceng, kekuatannya juga maksimal demi kebesaran-Nya, kebaikan-Nya, dengan mengingat semua nikmat-Nya, dannnn demi mencapai redho Allah, menjalani bertahap ayat-ayat perintah-Nya dimana ada janji pertologan Allah disitu, maka ini lebih aman dan nyaman. INVESTASI MASA DEPAN YG TERJAMIN.
Perbanyak merenung, takarub, dzikir, renungi ayat-ayat Allah, binalah hati bawa dalam keyakinan, dan ingatlah semua hikmah kehidupan yang telah lewat, mana ada yang tanpa kehendak Allah?
Semoga semua kita ditolong Allah SWT dan bagi yang kena masalah Allah angkat masalahnya dengan kebaikan, bukan keburukan. Karena banyak yang nyaman hidupnya, seperti Yahudi-yahudi tetapi mereka dalam kesesatan. Cukuplah Allah sebagai tujuan terbesar kita, secara lahir dan bathin semoga Allah memberikan pertolongan-Nya kepada kita semua. Amin.
Sumber: Yusuf Mansur Network. Semoga bermanfaat.

Keutamaan Dan Bahaya Hutang Piutang Menurut Pandangan Islam


Ustadz Muhammad Wasitho, Lc
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.(1)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.(2)
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
B. HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
:IDalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu  pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki.rRafi’, bahwa Nabi  Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)
juga bersabda:rNabi
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. . Hadits ini di-hasan-kantIbnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud  oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah  pernah berhutang.(4)rsesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi  Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan dirRasulullah  siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda  (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, makarRasulullah  dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yangrRasulullah  diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk  bersabda:rmembayarnya. Rasulullah
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” ).t(HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash
, bahwa Beliau bersabda:rDiriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
bersabda:r, bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
bersabda:r bahwa Rasulullah tDari Ibnu Umar
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri ditDari Abu Qatadah  tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku  kepadanya “Ya, jikarakan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah  engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).
D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH?
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.
E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
:IDalilnya firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena .Iancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.(7)
[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepadatDari Abu Hurairah  seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya r membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Idengan lebih. Semoga Allah  bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
di masjid,r ia berkata: “Aku mendatangi Nabi tDari Jabir bin Abdullah  sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
bersabda: “Barangsiapa yangr, ia berkata bahwa Nabi tDari Abu Hurairah  mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya  akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapaI(mengembalikannya), maka Allah  mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka  akan membinasakannya”.IAllah  (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka  melelahkanI membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah IAllah  badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang :rmenghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”.r, Nabi tDari Samurah  (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dantDari Jabir bin Abdullah  dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka  meminta syafaat (bantuan) kepadarenggan. Akupun mendatangi Nabi   berkata, “Pisahkan kormamurmereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau  sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka)  pun datang lalu duduk dan menimbang setiaprakupun melakukannya. Beliau  mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)
[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
bersabda: “Memperlambatr, bahwa Rasulullah tDari Abu Hurairah  pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. .)t(HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah
[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
berfirman:IAllah
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
bersabda:rDiriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)
قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin. (MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 12 Volume 1 / 15 November 2010)
Catatan Kaki:
(1) Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili.
(2) Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
(3) HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
(4) HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
(5) Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316.
(6) Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147.
(7) Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51.
Sumber: ABU FAWAZ ASY-SYIRBOONY

Berhutang Untuk Sedekah?

Sebelumnya sempat bingung juga tentang masalah ini. Ingin bersedekah, tetapi masih banyak menanggung hutang. Bolehkah kita bersedekah dengan menggunakan harta dari hutang. Bolehkah kita bersedekah dari hutang?

Setelah melakukan pencarian dengan berselancar di beberapa site, ada beberapa petunjuk yang bisa menjadi pedoman. Dari situs almanhaj dalam rubrik Tanya-jawab, memberikan keterangan tentang hal ini.
Disebutkan bahwa membayar hutang itu hukumnya lebih tinggi dari pada sedekah. Membayar hutang itu wajib, sedangkan sedekah itu sunnah. Sehingga lebih utama membayar hutang yang wajib dari pada bersedekah yang hukumnya sunnah.
Namun demikian para ulama berselisih pendapat akan hal ini. Sebagian mengatakan bahwa sedekah yang dilakukan disaat menanggung hutang itu dilarang. Karena tentunya hal itu akan memberatkannya, dan akan berakibat buruk terhadapnya. Tetapi sebagian yang lain menyatakan bahwa itu boleh dilakukan, namun dia termasuk menentang hal yang lebih utama.
Lantas, apakah kita tidak boleh bersedekah di saat menanggung hutang? Tentu saja masih boleh. Bersedekahlah, selama kita masih mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk membayar hutang.
Yang jelas, mengabaikan atau dengan sengaja tidak membayar hutang adalah dosa. Karena seperti disebutkan di atas, bahwa membayar hutang adalah wajib. Tetapi ketika kita berkeyakinan bahwa Allah akan memlipatgandakan harta yang disedekahkan, maka kita tetap diperbolehkan bersedekah. Dengan catatan bahwa kita tidak mengabaikan hutang kita. Kemudian kita tetap mengupayakan untuk dpat melunasi hutang-hutang kita.
Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pada suatu hari seorang pria mendatangi Rasulullah yang sedang bersama-sama dengan para sahabatnya. Seorang pria itu meminta bantuan kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Saat ini aku tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi, belilah barang kebutuhanmu atas namaku, nanti akan kubayar ketika akan mendapatkan harta.”
Mendengar ucapan beliau Saw. maka Sayyidina Umar berkata: “Duhai Rasulullah, Allah memaksakanmu untuk melakukan sesuatu ketika engkau tidak mampu”.
Rasulullah kurang senang mendengar ucapan Sayyidina Umar tersebut. Maka pada saat itu juga seorang sahabat Anshar berkata kepada beliau: “Duhai Rasulullah, berdermalah dan jangan pernah merasa khawatir, Allah yang memiliki ‘Arsy tidak akan membuatmu kekurangan.
Rasulullah pun tersenyum dan wajahnya nampak bahagia mendengar ucapan sahabat Anshar tadi. Beliau SAW kemudian berkata, “Aku memang diperintahkan untuk berbuat seperti ini.” (HR. Tirmidzi dalam kitabnya asy-Syamâ’il).
Nah, sekarang jelaslah sudah. Tak ada keraguan lagi untuk terus bersedekah dalam keadaan bagaimanapun. Niatkanlah untuk membantu sesama dan mencari keridhaan Allah semata. Wallahua’lam.

BAHAYA HUTANG


BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIEM.
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Tiada rasa permusuhan kecuali atas orang-orang yang zhalim. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat untuk seluruh alam. Wa ba’du:
Ketika kebanyakan manusia mulai lupa atau melupakan kadar bahaya yang timbul karena hutang, bahkan mereka mempermudah perkaranya hingga terkadang menghantarkannya ke sel penjara atau menjual seluruh hak miliknya untuk melunasi hutang-hutangnya.

Bertolak dari hal tersebut, saya tergerak untuk menulis artikel ini guna mengulas masalah hutang, efek-efek bahayanya dunia akhirat. Karena hal itu bukan berhenti hingga di ruang bui atau habisnya harta benda untuk menutupinya tetapi lebih dari itu akan menimbulkan rasa penyesalan mendalam pada hari kiamat. Alangkah besar penyesalan seorang hamba yang mengambil harta orang lain dan tidak mengembalikannya. Sungguh hal itu melebihi kehinaan di dunia yang selalu menunggu untuk dibayar dan dilunaskan pada hari tersebut. Yaitu suatu hari orang yang pailit datang dengan kefakiran, kelemahan dan kehinaannya. Ia tidak mampu melunasi hutangnya dan tidak pula mengemukakan uzurnya. Maka pada saat itu, diambillah (pahala) amal-amalnya yang dengan susah payah ia kumpulkan dengan menghabiskan usianya lalu berpindah ke tangan orang-orang yang menuntutnya sebagai ganti harta yang belum dikembalikan. Belumkah kalian mendengar hadits Nabi r tentang orang yang muflis (pailit)? Demikian pula dalam hadits lain beliau r bersabda: “Sungguh janganlah kamu mati dengan meninggalkan hutang. Karena hal itu –taruhannya- adalah kebaikan dan keburukan. Pada saat nanti tiada lagi dinar dan dirham dan Allah tidak akan men-zhalimi seorangpun”. (HR. Ibnu Majah dengan sanad shahih)
Oleh karena itu, hendaknya seseorang itu selalu berpikir agar catatannya bersih dari bentuk kezhaliman terhadap temannya, terutama masalah hutang yang dia anggap remeh tapi amat besar di sisi Allah. Jika telah jelas kadar bahaya dan efek yang ditimbulkan hutang, maka ikutilah wasiat-wasiat berikut ini:
Setiap orang harus merasa besar efek yang diwariskan hutang dan adanya hadits yang amat keras dalam perkara ini, karena hutang disamakan dengan kekafiran dalam balasannya. Dari Abi Sa’id Al-Khudriy ia berkata, saya mendengar Rasul r bersabda: “Aku berlindung diri kepada Allah dari kekufuran dan lilitan hutang”. Maka ada salah seorang sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apakah sama antara kekafiran dengan lilitan hutang?” Beliau menjawab: “Ya”. (HR. Nasa-i tapi dilemahkan oleh Al-Albani)
Hutang merupakan bendera kelemahan dan kehinaan. Allah menghinakan seseorang dengannya. Olah karenanya, jika Allah menginginkan kehinaan seorang hambaNya, maka Allah lilitkan hutang kepadanya. Dari Ibnu Umar, Nabi r bersabda: “Hutang adalah bendera milik Allah di atas bumi, jika Dia menghendaki kehinaan seorang hambaNya maka ditaruhlah –hutang tersebut- di lehernya”. (HR. Hakim)
Bebas dari hutang mendatangkan kebahagiaan, kebebasan dan ketenangan. Dari Ibnu Umar ia berkata, saya mendengar Rasulullah memberi wasiat kepada seseorang dengan ucapan beliau: “Minimalkan (kurangilah) dosamu niscaya akan memudahkan kematianmu dan minimalkanlah hutang niscaya kamu hidup bebas tanpa ikatan”. (HR. Baihaqi)
Bertolak dari seringnya Nabi r memohon perlindungan diri dari hutang mendorong seorang sahabat menanyakannya. Maka beliau menjawab: “Sesungguhnya jika seseorang berhutang maka dia akan berdusta saat berbicara dan tidak menepati janjinya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Sebab biasanya hutang menjadi penyebab yang menghantarkan seseorang berbohong dan tidak menepati janjinya. Maka dari itu, sebaiknya orang yang tertimpa hutang atau yang amat menghawatirkan dirinya terlilit hutang memperbanyak doa berikut ini: ((Allaahumma Anta taksyiful maghrami wal ma’tsami faksyifhu ‘annii. Allaahumma innii a’uudzubika minal ma’tsami wal maghram = Ya Allah Engkau Maha menyingkapkan (mengenyahkan) hutang dan dosa, maka singkapkanlah dari diri hamba. Ya Allah, hamba memohon perlindungan diri dari terpaan dosa dan lilitan hutang)).
Ketidak tahuan manusia akan dampak buruk sebab hutang menjadikan mereka amat mengandalkannya bahkan dalam masalah yang paling sepele sekalipun. Jika mereka tahu hadits-hadits Nabi yang amat keras dalam hal hutang niscaya mereka tidak berani melakukannya. Sungguh telah termaktub dalam berbagai riwayat bahwa Nabi r menolak untuk men-shalatkan orang mati yang meninggalkan hutang. Di antaranya suatu ketika didatangkan seorang mayit agar beliau berkenan men-shalatkannya, tapi beliau berkata: “Shalatkanlah teman kalian karena sesungguhnya dia memiliki tanggungan hutang”. (HR, Tirmidzi, beliau berkata, hadits ini adalah hasan shahih). Hal ini terjadi di permulaan Islam, setelah Allah memenangkan RasulNya maka beliau bersabda: “Saya lebih berhak terhadap setiap mukmin dari dirinya sendiri, siapa saja yang meninggalkan hutang maka saya yang menanggungnya sedangkan yang meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya”. Oleh karena itu, setiap orang yang meninggal dunia dan belum melunasi hutangnya maka pelunasannya akan diambilkan dari pahala-pahala amal kebajikannya.
Demikian pula keterangan akan kerasnya peringatan mengenai hutang adalah seseorang yang mati syahid tidak boleh memasuki surga jika belum melunasi hutangnya. Dari Muhammad bin Abdullah bin Jahsy ia berkata: “suatu saat Nabi r duduk sedangkan jenazah ditaruh (di liang lahat). Maka beliau memandang ke langit lalu menurunkannya dan terus meletakkan tangan ke kening beliau sambil berkata: “Subhaanalllaah, subhaanallaah. Attasydid telah diturunkan”. Muhammad berkata: Kami tahu lalu diam hingga datang hari besoknya saya tanyakan kepada beliau: “Apa tasydid yang telah diturunkan, ya Rasul?” Beliau menjawab: “Mengenai hutang. Demi Dzat yang menguasai diriku jika seseorang terbunuh fi sabilillah (mati syahid) lalu hidup kemudian terbunuh lalu hidup kemudian terbunuh lagi sedangkan dia memiliki tanggungan hutang maka tidak bisa masuk surga hingga terselesaikan hutangnya”. Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Allah mengampuni segala dosa orang yang mati syahid kecuali hutang”. Sedangkan dalam Musnad Imam Ahmad termaktub: “Sesungguhnya teman kalian tertahan di pintu surga sebab hutangnya (yang belum terlunaskan)”, dari hadits Samurah.
Sungguh tidak berhutang dan lebih mengutamakan selamat itu jauh lebih baik daripada mengambil hutang yang menyibukkannya. Sehingga ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membayarnya di waktu mendatang. Padahal karena hal itu, seseorang dapat terpelanting masuk neraka. Sebab pahala-pahalanya diambil dan diberikan kepada orang-orang yang mengutanginya. Jika tidak cukup, maka dosa-dosa mereka ditimpakan kepadanya. Sebagian orang sampai kepada kondisi bahwa ia berhutang untuk liburan ke luar negeri hingga akhirnya keberatan dalam melunasinya. Hal itu, terjadi karena ketidak tahuannya akan bahaya hutang dan mengikuti orang-orang kaya. Maka dia terjerembab kepada hal yang amat dibenci Allah yaitu orang miskin yang sombong serta berlari dari celaan keluarga. Imam Khathabi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud sebuah hadits marfu’: “Akan datang suatu masa bahwa seseorang binasa ditangan isterinya, orang tua dan anaknya. Maka mereka mencelanya dengan kefakiran dan membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuannya lalu dia memasuki pintu-pintu yang melenyapkan diennya hingga akhirnya dia hancur dan binasa”.
Sesungguhnya banyak hutang dapat mendatangkan kefakiran dan hilangnya keberkahan dari harta yang ada serta mengingatkan kepada kehancuran dan kerugian. Sebagian orang ada yang bergaji jutaan rupiah, tapi dia tetap mengeluhkan lilitan hutang. Hal ini merupakan hasil dari jeleknya menejemen keuangannya dan menjatuhkan dirinya ke lembah perkreditan dalam membeli barang-barang mewahnya. Maka tambal sulamnya semakin lebar, hingga akhirnya menyulitkan hidupnya dalam jangka yang lama dengan income yang tidak seimbang dengan tuntutan-tuntutan dari pihak pengutang. Ini tiada lain kecuali sebab ifrath (tindakan berlebih-lebihan) nya. Padahal Allah telah berfirman: “ Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (amat pelit) dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya (amat royal tanpa perhitungan). Karena itu akan menjadikanmu tercela dan menyesal“ (QS. Al-Isra’: 29) dan “ Dan orang-orang yang jika membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir “ (QS: Al-Furqan: 67). Sedangkan dalam hadits disebutkan: “Tidak akan jatuh miskin orang yang bertindak sederhana (tindakan tengah-tengah antara kikir dan berlebih-lebihan)” .
Sesungguhnya meminjam dengan niat tidak mengembalikannya adalah termasuk tindakan khianat dan pencurian. Nabi r bersabda: “Siapa saja yang menikahi seorang wanita dengan suatu mahar padahal ia berniat tidak ingin memberikannya maka ia adalah pe-zina. Dan siapa saja yang berhutang sedangkan ia berniat untuk tidak mengembalikannya maka ia termasuk pencuri”. Dalam riwayat Thabrani: “Ia akan bertemu Allah sebagai pencuri”. Dalam riwayat lain: “Ia mati saat kematiannya sebagai penghianat sedangkan penghianat (tempat kembalinya) di neraka”. (HR. Thabrani). Dalam kesempatan yang lain Nabi bersabda:”Siapa saja yang mengambil harta kawannya dengan niat membayarnya maka Allah akan menunaikan untuknya (memudahkannya) dan siapa saja yang mengambilnya dengan niat merusakkannya maka Allah akan menghancurkannya”. (HR. Bukhari)
Pemberi hutang yang menolong kawannya akan dilindungi Allah. Seperti keterangan sebuah hadits dari Anas, Nabi r bersabda: “Saat diriku di-isra’kan saya melihat catatan di pintu surga, sedekah itu dengan sepuluh kalinya sedangkan pinjaman dengan delapan belas. Maka saya tanyakan kepada Jibril, bagaimana mungkin pinjaman itu lebih baik daripada sedekah. Maka dia menjawab: Karena orang yang meminta itu –biasanya- saat meminta dia masih punya sesuatu sedangkan orang yang meminjam –biasanya- tidak meminjam kecuali terdesak kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah). Dalam riwayat lain: “Siapa saja yang meringankan peminjamnya atau membebaskannya –dari pelunasan hutang- maka akan berada di bawah naungan ‘Arsy Allah pada hari kiamat”. Allah berfirman: “ Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka tangguhkanlah sampai dia berkelapangan (mampu membayarnya), dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui“. (QS: Al-Baqarah: 280)
Siapa saja yang mengambil harta kawannya (meminjamnya) lalu mati dan tidak meninggalkan sesuatu untuk menggantinya maka sungguh ia telah membuka pintu dosa besar. Nabi r bersabda: “Sesungguhnya dosa terbesar di sisi Allah setelah dosa-dosa besar yang terlarang adalah seseorang yang mati dengan tanggungan hutang tanpa meninggalkan sesuatu untuk melunasinya”. (HR. Abu Daud dari Abi Musa Al-Asy’ari)
Sesungguhnya hutang itu adalah kesusahan pada malam hari dan kehinaan pada siang hari. Barang siapa yang merasa bahwa hutang itu adalah suatu bentuk kehinaan bagi seseorang niscaya ia tidak berani melakukannya. Dalam hadits: “Kemuliaan seorang mukmin adalah (tergantung pada) shalatnya di malam hari sedangkan kehormatannya adalah merasa cukup dari (pertolongan) manusia”. Sedangkan Imam Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Abi Kabsyah Al-Anmari: “Seorang hamba tidak membuka pintu permintaan kecuali Allah membukakan pintu kefakiran untuknya”. (Hasan Shahih)
Janganlah suka meniru. Dengan melihat si fulan membuka suatu usaha dan berhasil, lalu yang lain ramai-ramai mengikutinya dengan meminjam uang yang amat banyak. Kemudian terjun ke bidang tersebut dan ingin dalam sehari semalam menjadi seorang tajir yang berhasil. Kenapa saudara terjun ke bidang yang terkadang mendatangkan kebangkrutan yang pada akhirnya hanya memperbesar jumlah hutang yang tidak terlunasi. Jangan bertindak membabi buta dalam hal yang di luar kemampuan saudara, karena keselamatan diri saudara di atas segala-segalanya. Maka dari itu, janganlah mengambil hutang sehingga saudara menimbangnya masak-masak. Pikirkan terlebih dahulu jalan keluar darinya jika ternyata saudara bangkrut, bagaimana cara melunasinya (ada jaminan yang bisa diandalkan atau tidak). Hindarilah hutang semampu saudara, karena sang maut datang tanpa permisi. Sederhanakan kebutuhan belanja saudara dan jangan berlebih-lebihan hingga tidak menyesal nantinya.
Saudara –semoga Allah merahmatimu- ketahuilah, bahwa jika saudara terlilit hutang maka jadikanlah pikiran utamamu adalah melunasinya. Seperti ungkapan, setiap orang yang selalu memikirkan hutangnya maka dia melunasinya dan berusaha untuk menguranginya. Karena ada sebagian orang yang berhutang tanpa pikiran untuk melunasinya, maka akan kita dapati dia selalu berhutang setiap bulan tanpa menghiraukan berapa besarnya. Saat ditagih, dia mulai menutup-nutupinya dan jika sudah tiba waktu pelunasannya maka dia meminta tambahan tenggang waktu bahkan terkadang dia marah jika ditagih. Sebagian yang lain ada yang memecahkan masalah hutangnya dengan hutang yang lain (gali lobang tutup lobang). Maka dia seperti orang yang bangkit dari sebuah liang lalu jatuh terjerembab di sebuah lobang yang lebih besar. Dia membeli mobil dengan kredit lalu dia jual dengan kontan. Padahal masalah ini mengandung unsur riba seperti fatwa sebagian ulama, utamanya bagi orang yang bertujuan untuk mendapatkan harta dengan cash.
Janganlah saudara berhutang kecuali dalam keadaan terjepit dan darurat. Tahukah saudara arti darurat? Yaitu sesuatu yang –jika tidak dilakukan- menyebabkan kerusakan dunia dan akhirat. Contohnya mengakhirkan nikah, padahal dia hawatir jatuh ke lembah perzinaan. Dalam hadits diterangkan: “Ada tiga kelompok yang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah, diantaranya adalah: orang yang ingin menikah”.
Termasuk wasiat yang berharga adalah: menepati janni, tidak mengulur-ulur waktu yang telah disepakati, tidak memakan harta orang lain, tidak mengingkari hutang. Karena sebagian orang yang meminjam sejumlah uang mendatangi saudara dalam keadaan amat sopan, tahu diri dan berpura-pura takwa dan dapat dipercaya. Lalu meminta pinjaman dari saudara sejumlah uang, padahal saudara amat membutuhkannya entah pada hari itu atau besoknya. Kemudian dia menyanjung saudara atau dengan mengatas namakan orang yang sulit untuk ditolak. Setelah itu saudara kabulkan permintaannya tanpa saksi dan atau catatan resmi karena rasa malu. Padahal Allah menyuruh kita untuk selalu mencatat hutang yang berjangka. Perintah itu adalah sunnah. Setelah itu, dia mengambil pinjaman lalu pergi seusai berterima kasih. Kemudian saudara tidak pernah melihatnya lagi. Setelah itu saudara mencarinya untuk menagihnya karena telah habis tenggang waktunya. Padahal kebutuhan saudara amat memerlukan uang tersebut. Sedangkan dia selalu menghindar jika ketemu saudara. Hingga saudara terdesak untuk mendatangi rumahnya dan mengetuk pintunya, tapi jawaban yang saudara dapati ialah, ia tidak ada atau sedang tidur atau sedang keluar kota. Pada akhirnya saudara mencari solusi dan perantara melalui teman-teman yang lain. Saat ketemu saudara, dia malah berkata: Saudara, tagihan macam apa ini, hingga saya sangat terganggu dan amat malu, apakah saudara takut saya tidak akan membayarnya? Jika dia orang baik-baik, maka dia akan membayar hutangnya kepada saudara tapi dengan sedikit demi sedkit. Hal ini akan menjadikan saudara tidak senang, harta saudara berbalik menjadi fitnah untuk diri saudara dan hilang waktu saudara yang amat berguna hanya untuk menagih hutang tersebut. Saudara tidak dapat memanfaatkan harta saudara sedikitpun karena dia mengembalikannya sedikit demi sedikit. Jika dia bukan orang baik-baik, maka dia akan memakan seluruh harta saudara dan setiap bertemu saudara dia akan berkata: Saya tidak memiliki tanggungan apa pun dari saudara, silakan saudara melapor ke pengadilan. Karena dia tahu bahwa saudara tidak memiliki tanda bukti hitam di atas putih ataupun saksi. Kalaupun saudara memiliki tanda bukti, apakah saudara sabar menghadapi orang yang mengambil hutang seperti ini? Sesungguhnya lenyapnya harta itu lebih mudah daripada mendatangkan tanda bukti dan atau saksi. Wahai orang-orang yang suka memberi pinjaman, waspadalah..karena kebaikan itu hanya dibalas dengan kebaikan pula.
Akhirnya, saya berdoa kepada Allah agar berkenan memberikan taufiq kepada kita dalam menghindari jeratan hutang yang akhirnya kita tak mampu menyelesaikannya di dunia.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada Nabi kita Muhammad, segenap keluarga dan para sahabatnya. Amien
(ABU NABIEL AM. AFANDI)

ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG / آداب القرض في الفقه الإسلامي

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
DOA AGAR TERBEBAS DARI HUTANG
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.
Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. 
PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
Nabi r juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma‘ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
Adapun hokum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).
Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah r pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:
BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
[3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
Dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)
[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah t, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah I akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?
[5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli. (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.
[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
[7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu, dan selainnya).
[8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
[9]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
 [10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah I berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi, Tanggal 15 November 2010]