Rabu, 02 Januari 2013

Depresi, Bagaimana Solusinya? (2-habis)

Sabtu, 08 Desember 2012, 21:47 WIB

Depresi, Bagaimana Solusinya? (2-habis)REPUBLIKA.CO.ID, Seberat apa pun masalah yang dihadapi, seorang Muslim yakin bahwa kehidupan di dunia ini fana. Tidak akan kekal.

Bagi Muslim, akhiratlah kehidupan yang sesungguhnya. “Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An-Nisaa [4]: 77).

Keimanan itu akan menekan segela rasa takut, cemas, dan galau. Dan, iman itu pula yang membantunya lebih siap menatap dunia. “Iman menjadikan problem yang berat akan terasa ringan. Bahkan, tak ada beban yang berarti. Iman akan mendatangkan sabar,” kata Prof Ahmad at-Talawy.

Seorang Muslim akan semakin rajin menyusuri makna di balik tiap ibadah. Shalat, misalnya. Ibadah apa pun, pada hakikatnya menyimpan pesan. Tak sekadar ritual biasa. Ibadah dalam Islam adalah sistem nilai dan akhlak yang integral. Sebuah sistem yang berupaya mencetak insan andal, insan kamil.

Penawar selanjutnya, lanjut Talawy ialah membaca, mentadaburi, dan mengamalkan Alquran. Hakikat keutamaan Alquran ialah sebagai obat bagi penyakit jiwa. “Dalami, resapi, dan ambil makna yang disampaikan Alquran,” imbaunya.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57).

At-Talawy mengingatkan, di samping pesan-pesan agung yang tersimpan dalam Alquran, hadis Rasulullah SAW juga menyimpan segudang mutiara hikmah. Semuanya berisikan petuah bijak yang menaklukkan dan membersihkan hati.    

Suatu saat, Rasul pernah bertanya kepada Haritsah bin Wahab, bagaimanakah sahabat itu melalui harinya. Haritsah menjawab, “Pagi ini, saya menjadi mukmin.”

Rasul mengujinya dan mengatakan bahwa segala sesuatu ada tanda-tandanya. “Apa bukti keimananmu?” tanya Nabi.

Haritsah mengaku telah menjauhi dunia, mencukupkan siang hari dan menghidupkan malam. “Aku benar-benar melihat Arsy Tuhanku,” katanya.

Rasulullah juga pernah mengajarkan kepada para sahabat tentang pentingnya berperilaku dengan iman. Ini terlihat dari hadis riwayat ad-Dailamy dari Ummu Salamah. “Jika Allah mencinta seorang hamba, Ia akan menjadikan baginya penasihat dari jiwanya dan pencegah dari kalbunya. Ada kalanya mencegah dan melarang.”

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah
 
 
 
 
 
 

Depresi, Bagaimana Solusinya? (1)

Sabtu, 08 Desember 2012, 21:21 WIB

Depresi, Bagaimana Solusinya? (1)REPUBLIKA.CO.ID, Obat penawar utama membentengi diri dan menyelesaikan masalah depresi ialah kembali kepada sabar dan iman.

Depresi atau gangguan kejiwaan merupakan momok yang menghantui manusia. Terutama bagi mereka yang hidup di kota-kota metropolitan. Berbagai persoalan yang dihadapi seseorang, rawan memicu permasalahan jiwa.

Akumulasi impitan hidup akibat tekanan ekonomi, pengangguran, masalah asmara, hingga problematika rumah tangga terkadang mengendap dan menjadi fenomena gunung es. Tapi, kerap tak ada upaya untuk mencari solusi yang tepat.

Mengutip data Kementerian Kesehatan, pada 2011 jumlah penduduk Indonesia dari kalangan dewasa mencapai 150 juta jiwa. Dari total tersebut, sebanyak 11,6 persen atau sekitar 17,4 juta jiwa terserang gangguan mental atau emosional. Serangan itu berupa masalah kecemasan dan depresi.

Di DKI Jakarta, tren depresi meningkat. Pada 2010, penderita depresi sebanyak 159.029 orang. Jumlah tersebut bertambah menjadi 306.621 jiwa pada triwulan kedua 2011.

Prof Ahmad at-Talawy dalam makalahnya yang berjudul “Kaifa 'Alajal Islam Musykilat al-Faragh ar-Ruhi” menyatakan depresi yang menimpa seseroang tak jarang berujung pada aksi bunuh diri. Ini sangat disayangkan. Fenomana itu banyak muncul di negara-negara yang minim nilai.

Di negara-negara Islam terutama, tingkat depresi yang berakhir pada tindakan penghilangan nyawa sendiri lebih sedikit di banding negara-negara Barat, misalnya. Ini karena solusi yang ditawarkan bersifat transendental, bersumber dari Allah SWT.

“Sementara, penawar yang digunakan untuk mengatasi gangguan jiwa di luar sana tak memiliki ruh dan spirit yang kuat. Bahkan, nihil hakikat,” papar Talawy.

Secara garis besar, ia menyatakan obat penawar utama membentengi diri dan menyelesaikan masalah depresi ialah kembali kepada sabar dan iman. Seorang Muslim mendapatkan siraman iman mulai dari rahim hingga ia dewasa. “Bekal ini menekankan kepadanya untuk selalu bersabar atas ujian yang diterima,” ujar Talawy.

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah
 
 
 
 

Berkah Memuliakan Ibu (2-habis)

Kamis, 27 Desember 2012, 11:17 WIB

Berkah Memuliakan Ibu (2-habis)REPUBLIKA.CO.ID, Pengabdian yang penuh (ikhlas) kepada ibu bisa mengantarkan seorang anak ke surga.

Menurut Syekh Muhammad bin Ali Asa’awy dalam artikelnya yang berjudul “al-Ihsan ila al-Umm”, pengabdian dan bakti kepada kedua orang tua, terutama ibu, wajib hukumnya.

Ini merujuk pada Surah Al-Isra’ ayat 23-24. Tingkat kewajiban berbuat baik (ihsan) kepada ibu itu bertambah kuat saat anak-anaknya dewasa.

Ia menjelaskan, bentuk ihsan kepada ibu bervariasi. Di level pertama ialah menjauhkan segala perkara buruk darinya, memberikan hal positif, berinteraksi dengan pekerti yang luhur dan etika kesopanan, peka terhadap perkara yang ia suka dan tidak, berdoa untuknya, dan segala ihsan yang dilakukan bertujuan untuk menggapai ridanya.

Berbakti dan berihsan kepada ibu adalah kunci dikabulkannya doa. Pengabdian kepada sosok ibu juga dikategorikan sebagai sebab masuk surga. Ini seperti tertuang dalam kisah Uwais. Tabi’in tersebut adalah orang yang beruntung.

Rasulullah SAW menyebut bahwa siapa pun yang melihat Uwais maka hendaknya  meminta doa ampunan kepadanya. Ini lantaran dirinya terkenal taat dan berbakti pada sang ibunda. Itulah yang mendorong Umar bin Khattab mencari keberadaan Uwais. Kisah pencarian Umar itu seperti tertuang di riwayat Muslim.

Syekh Asa’awy menjelaskan, pengabdian yang penuh (ikhlas) kepada ibu bisa mengantarkan seorang anak ke surga. Hal ini sebagaimana terjadi kepada Haritsah bin an-Nu’man. Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Haritsah masuk surga berkat ihsan yang ia tujukan kepada ibunda. Dan, Haritsah adalah sosok paling berbakti untuk ibu.

Sebaliknya, mereka yang durhaka kepada kedua orang tua, khususnya ibu, akan mendapatkan ganjaran setimpal. Sanksi yang akan ia terima bukan hanya di akhirat. Akan tetapi, ia akan menerima akibat ulahnya itu di dunia.

Seperti ditegaskan dalam riwayat Muslim, setiap perbuatan dosa, Allah akan menunda siksaannya kapan pun Ia berkehendak hingga kiamat. Kecuali, durhaka kepada kedua orang tua. Allah akan mempercepat siksa bagi pelakunya di kehidupan dunia, sebelum mati.

Ini mengingat durhaka—sebagaimana riwayat Bukhari—termasuk pelanggaran berat, dosa besar. Imam Syafi’i pernah bertutur dalam syairnya, “Tunduk dan carilah rida ibumu karena mendurhakainya termasuk dosa besar.



Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah
 
 

Berkah Memuliakan Ibu (1)

Rabu, 26 Desember 2012, 19:17 WIB
Berkah Memuliakan Ibu (1)REPUBLIKA.CO.ID, Durhaka kepada ibu adalah dosa besar yang harus dihindari.

Di sudut Ka’bah, tampak seorang laki-laki tengah menggendong ibunya dan bertawaf bersama.

Sang anak lalu bersandung puisi, “Saya akan menggendongnya tiada henti, ketika penumpang beranjak, saya tidak akan pergi. Ibuku mengandung dan menyusuiku lebih dari itu, Allah Tuhanku yang Mulia dan Mahabesar.”

Ia melihat Abdullah bin Umar dan bertanya, apakah segala yang telah ia lakukan tersebut cukup membalas pengorbanan ibunya? “Tidak sedikit pun,” jawab Ibnu Umar.

Kasih sayang ibu tak terhingga. Kebaikan yang telah ia curahkan kepada anak-anaknya tak akan pernah terhitung. Cinta kasih ibu laksana mentari menyinari dunia. Terus berbagi cahaya untuk alam semesta, tanpa pamrih. Sekali pun ia dipenuhi dengan panas yang membara.

Seorang ibu mengandung anak dengan segala kelelahan dan risiko yang ada. Bersusah payah melahirkan, lalu membesarkannya. Karena itu, Allah SWT memerintahkan agar manusia mengingat pengorbanan tersebut. “Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS al-Ahqaaf [46]: 15).

Bagi generasi salaf, penghormatan atas jerih payah ibu mereka tekankan. Mereka menempuh bermacam cara untuk menunjukkan bakti terhadap ibundanya. Muhammad bin al-Munakkar, misalnya. Ia sengaja meletakkan kedua pipinya di tanah. Hal ini bertujuan agar dijadikan sebagai pijakan melangkah ibunya.

Selain itu, Ali bin al-Husain tak ingin makan satu meja dengan ibundanya. Alasannya? Ia takut bila merebut menu yang diinginkan ibunya. Ada lagi Usamah yang pernah memanjat pohon kurma, lalu mengupasnya dan menyuapi ibunya. Mengapa ia melakukan hal itu? Ia menjawab, “Ibuku memintanya. Apa pun yang ia minta dan saya mampu, pasti saya penuhi.”

Begitulah perhatian salaf terhadap ibu mereka. Aisyah bahkan pernah bertutur, ada dua nama yang ia nilai paling berbakti kepada sosok ibu, yaitu Usman bin Affan dan Haritsah bin an-Nu’man.

Nama yang pertama tak pernah menunda-nunda perintah ibundanya. Sedangkan yang kedua, rajin membasuh kepala sang ibu, menyuapinya, dan tidak banyak bertanya saat ibundanya memerintahkan suatu hal.      

Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Nashih Nashrullah
 
 

Kisah Muslim Jepang, Menggapai Islam Via Beasiswa

Senin, 17 Desember 2012, 17:31 WIB

Kisah Muslim Jepang, Menggapai Islam Via BeasiswaREPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Empat tahun lalu, Masashi Nagao tidak mempercayai agama. Ia beralasan, tidak ada jaminan seseorang yang beragama tidak akan berbuat jahat. "Jujur, peristiwa serangan gas beracun oleh sekte keagamaan Aum Shinrikyo yang menewaskan balasan orang membuatku semakin tidak percaya pada agama," kata dia.

Kebencian Nagano terhadap agama mereda ketika ia mengenyam pendidikan pascasarjana. Ia mulai membaca Alquran dan berbaur dengan komunitas Muslim Jepang. Itu dilakukan saat ia mendalami Antropologi. "Saya kira ini bagian dari hidayah Allah. Saya seolah terdorong untuk menerapkan apa yang dikatakan Alquran," ucap dia seperti dikutip japantimes.com, Senin (17/12).

Tak berlama-lama menyandang status mualaf, Nagano mulai belajar menyebarkan pesan Islam. Itu dimulai musim gugur tahun ini di mana ia ambil bagian dalam program pelatihan yang dikhususkan untuk menyembuhkan penyakit mental di Universitas Tohoku.

Ia juga cukup aktif menjalin komunikasi dengan umat agama lain. "Jujur saya merasa sulit untuk hidup sebagai Muslim di Jepang. Tapi itu tidak mengurangi minat saya untuk memberikan sumbangsih," kata dia.

Kisah Nagano juga dialami Mimasaka Higuchi, 76 tahun. Mantan ketua Asosiasi Muslim Jepang ini memutuskan menjadi Muslim pada 1963. Saat itu, ia mempelajari bahasa Arab guna menjadi bekal berkarir di Timur Tengah.

Beruntung baginya, pemerintah Mesir memberikannya beasiswa.Yang memberatkan Higuchi, syarat dari beasiswa itu adalah ia harus menjadi Muslim. Tak mau ambil risiko kehilangan kesempatan emas, Higuchi memutuskan menjadi Muslim. Dalam taraf itu, ke-Islaman Higuchi hanya sebatas status saja. "Saya belum jadi Muslim yang utuh," kata dia.

Setelah belajar di Universitas Al-Azhar selama tiga tahun, Higuchi mendapatkan pekerjaaan di maskapai penerbangan Jepang, dan menetap di Timur Tengah selama 10 tahun. Saat itulah, ia secara perlahan mulai mendalami Islam. "Saya melihat ada kesamaan antara Muslim dan masyarakat Jepang soal solidaritas yang kuat," kata dia.

Sekembalinya dari Timur Tengah, Higuchi merasa sulit untuk menjalani kewajibannya sebagai Muslim. Tapi ia tak patah semangat. Misalnya saja, ketika waktu shalat tiba ia sempatkan diri melaksanakannya meski posisinya saat itu berada di stasiun kereta.

Contoh lain, ia mulai terbiasa untuk tidak mengonsumsi minuman beralkhol dan makanan non-halal ketika menjamu kliennya. Ia juga secara bertahap melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. "Islam itu agama penuh rahmat, Alhamdulillah," ucapnya.

Redaktur: Djibril Muhammad
Reporter: Agung Sasongko
 
 
 

Alhamdulillah Hamburg Akui Islam Agama Resmi

Minggu, 18 November 2012, 08:40 WIB

Alhamdulillah Hamburg Akui Islam Agama ResmiREPUBLIKA.CO.ID, HAMBURG -- Pemerintah Hamburg baru-baru ini mengakui Islam sebagai agama resmi di negara bagian Jerman itu. Wali kota Hamburg, Olaf Scholz, dan perwakilan dari tiga organisasi Muslim terbesar --Syura, DITIB dan VIKZ-- menandatangani surat keputusan bersama pada Selasa (14/11).

Kesepakatan yang diteken di Balai Kota tersebut menjelaskan hak dan kewajiban dari 130.000 Muslim di Hamburg. Scholz menggambarkan kesepakatan itu sebagai tonggak sejarah di dalam negeri.
"Kesepakatan ini merupakan ekspresi penghormatan terhadap kaum Muslim," tutur wali kota Hamburg.

Perwakilan DITIB Hamburg, Zekeriya Altug, menggambarkan perjanjian itu sebagai momentum bersejarah bagi muslim dan Hamburg. Dengan kesepakatan itu, kota Jerman itu secara resmi mengakui hari libur Islam sehingga karyawan Muslim dan siswa dapat merayakannya di rumah.
Kaum Muslim juga akan diberikan hak untuk melaksanakan penguburan sesuai dengan keyakinan mereka. Selain itu, siswa Muslim akan mendapatkan pelajaran tentang Islam di sekolah-sekolah negeri.

Perwakilan komunitas Muslim juga sepakat untuk mengakui nilai-nilai dasar konstitusi untuk menunjukkan rasa hormat kepada sudut pandang agama dan politik lainnya serta kesetaraan gender.
Hamburg menjadi model bagi negara bagian lainnya yang akan mengakui Islam sebagai agama resmi, disamping agama-agama lainnya.

Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: www.irib.ir
 
 
 
 
 
 

Inilah Sumbangsih Islam Bagi Dunia Farmasi

Rabu, 28 November 2012, 06:10 WIB

Inilah Sumbangsih Islam Bagi Dunia Farmasi REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Ruslan
“Setiap penyakit pasti ada obatnya.” Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan.

Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan farmasi.

Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran.
Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.

Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India serta Timur Jauh.

Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ”Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,” papar Turner.

Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.

Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam praktiknya, farmakologi danfarmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor dan penjual tumbuhan dan rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.

Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau Saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.

Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad – kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah – namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan serta menjaga aneka obat-obatan.

Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.

Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib – semacam badan pengawas obat-obatan – mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.

Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.

Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.

Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan lalu dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.

Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. ”Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini,” papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?

Redaktur: Heri Ruslan
 
 

Abdul Haq: Islam, Perbaiki Hidupku

Kamis, 29 November 2012, 00:41 WIB

Abdul Haq: Islam, Perbaiki HidupkuREPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Abdul Haq yakin akan pilihan agamanya, yakni Islam. Kehidupannya pun semakin lebih baik usai memeluk Islam.

''Aku merasa lebih baik dibandingkan sebelum masuk Islam. Aku percaya Islam telah membantuku mengembangkan karakter lebih baik dan menemukan lebih banyak cara untuk mengekspresikan keyakinanku itu,'' katanya seperti dikutip dari onislam.

Abdul menceritakan sejak memeluk Islam, dia mulai sering berkunjung ke masjid. ''Aku juga mulai mendatangi komunitas-komunitas guna mengetahui seperti apa penerapan Islam,'' lanjutnya.

Tak hanya shalat dan belajar agama Islam, Abdul pun memutuskan untuk menunaikan ibadah haji pada 1990. ''Itu adalah peristiwa yang sangat besar,'' kata dia.

Dikatakannya, dia tidak bergabung dalam sekte apapun di Islam. ''Aku lebih suka menjadi seorang muslim. Aku tidak menyebut diriku Sunni atau Syiah, meskipun aku juga mengikuti Quran dan Sunnah,'' tambahnya.

Abdul menambahkan seharusnya umat Islam bersatu. ''Saat ini, aku melihat adanya perpecahan di antara umat Islam,'' ujarnya.

Redaktur: Dewi Mardiani
Reporter: Umi Lailatul
 
 
 
 

Mualaf Amanda: Semua Ajaran Alquran Masuk Akal

Senin, 03 Desember 2012, 06:24 WIB

Amanda: Semua Ajaran Alquran Masuk AkalREPUBLIKA.CO.ID, NOVA SCOTIA -- Tiga tahun lalu, Amanda Redmond terjebak di Bandara New York, Amerika Serikat, semalaman. Di bandara itulah, Amanda menemukan Islam.

Saat itu, untuk mengisi waktu, ia membaca Alquran. Sedari awal Amanda memang tertarik mempelajari Islam. "Ketika Anda merasa ada sesuatu yang benar, dan Anda tidak melakukannya, Anda akan berpikir tentang hal ini sepanjang waktu," kata dia seperti dikutip thechronicleherald.com, Ahad (2/12).

Menurut dia, pada masa itu, ada semacam rasa marah berkecamuk dalam dirinya. "Nilai-nilai yang diajarkan dan tertulis dalam Alquran semua masuk akal bagiku," cetus Amanda

"Saya," lanjut Redmond, "selalu memiliki minat sekilas, dan saya pikir perlu mempelajari lebih dalam tentang Islam. Ketika itu semakin masuk akal bagiku," tutur dia.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
Reporter: Agung Sasongko

Abdul Haq: Islam tidak Bertentangan dengan Ilmu Pengetahuan

Selasa, 04 Desember 2012, 05:00 WIB

Abdul Haq: Islam tidak Bertentangan dengan Ilmu PengetahuanREPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Meski pikirannya tentang konsep ketuhanan sudah mulai terbuka karena mempelajari Islam, Jeffrey S. Glazer alias Abdul Haq tidak serta merta menerima Islam.

Terlebih dahulu, ia pelajari dasar-dasar spiritualitas, ilmu pengetahuan dan metafisika sebagai bekal dirinya mempelajari satu agama. Setelah itu, ia bandingkan Islam dengan agama lain. Dalam proses itu, ia baca Alkitab, Perjanjian Lama, Taurat, Perjanjian Baru, Hindu dan Taoisme.

Pelajaran utama yang ia dapat dalam proses itu adalah keyakinannya terhadap eksistensi Tuhan. Setelahnya, ia pelajari kitab suci sebagai konfirmasi.

Abdul memulainya dengan membaca Taurat dan Alquran. Ketika membaca keduanya, Abdul menerima Alquran dengan alasan banyak jawab logis di dalamnya. (baca: Abdul Haq: Mencari Kebenaran Sejati, Islam Solusi).

"Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Saya juga menyukai prinsip dasar politik Islam yakni berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan," ucapnya seperti disitat dari onislam.net.

Pada satu titik, ia bersiap untuk menerima Islam. Ia mulai mempelajari bagaimana cara seorang muslim berdoa.

Ia beli literatur Islam di toko. Suatu hari, ia bertemu dengan Imam Siraj Wahhaj dari Masjid Takwa di Boorklyn. Setelah obrolan, Imam Siraj mengundangnya untuk berdiskusi. Tak lama, Imam Sirajlah yang membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
Reporter: Agung Sasongko
 
 
 

Farida Masuk Islam Setelah Minum Air Zamzam

Rabu, 12 Desember 2012, 05:36 WIB

Farida Masuk Islam Setelah Minum Air ZamzamREPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Mukjizat Allah SWT terbukti kepada Raju, seorang pembantu asal Sri Lanka yang bekerja di Arab Saudi. Penyakit epilepsi yang dideritanya selama 15 tahun sempuh setelah meminum air zamzam.

Setelah penyakitnya sembuh, Raju kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengganti namanya menjadi Farida.

Kejadian bermula saat majikannya membawa air zamzam dari Kota Makkah. Sang majikan lalu meminta Raju meminum air yang dipercaya berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit itu sebanyak-banyaknya. Maha suci Allah, setelah dua pekan rutin meminum air zamzam, penyakit Raju hilang.

"Pembantu ini terus meminum air zamzam selama hampir dua pekan. Lalu, dokter menyatakan penyakit epilepsinya sembuh," tulis surat kabar Saudi, Sharq, seperti dinukil dari emirates247.com, Ahad (9/12) kemarin.

Sumur mata air zamzam terletak di kawasan Masjid Al-Haram, tenggara kiblat umat Islam seluruh dunia, Kabah. Kedalaman sumur itu sekitar 42 meter, dan hingga kini sumur itu tidak pernah kering.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
 

Kara Allouzi: Islam Pilihan Terbaik

Rabu, 26 Desember 2012, 09:54 WIB

Kara Allouzi: Islam Pilihan TerbaikREPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Namanya Kara Allouzi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Amerika Serikat. Sayangnya, ia ragu akan agama yang diwarisi dari kedua orang tuanya.

"Orang tua saya mewarisi saya agama Kristen. Tetapi pada saat yang sama, mereka juga mengajarkan saya agama Islam. Mereka dulu bilang: 'jangan melakukan hal ini, jangan lakukan itu bukan karena kita mengatakan begitu, tapi karena Allah meminta kamu untuk tidak melakukannya'," katanya seperti dinukil dari Onislam.net.

Meski hati Kara dipenuhi keyakinan akan Islam, tapi ia merasa pengetahuannya kurang lengkap. Karena itu, ia pegi dan mencari bimbingan yang bisa mengisi kekosongan hatinya.

Ia sempat belajar agama lain, tapi hatinya menolak semua agama yang pernah dipelajarinya. Akhirnya ia melihat Islam sebagai pilihan terbaik.

"Jadi saya pikir seluruh hidup saya, saya adalah seorang Muslim. Tapi saya tidak tahu bagaimana menemukan Islam. Ayah saya adalah Katolik, ibu saya Protestan. Ketika ayah menikah dengan ibu, ayah saya 'dibuang' dari Gereja Katolik, jadi dia sangat kecewa dengan gereja," imbuh Kara.

Kekecewaan itu membuat orang tuanya membebaskan Kara menemukan agama yang nyaman dengan dirinya.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
 

Keindahan Akhlak Suami Bawa Kara Allouzi Memeluk Islam

Rabu, 26 Desember 2012, 11:00 WIB
Keindahan Akhlak Suami Bawa Kara Allouzi Memeluk IslamREPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Akhirnya Kara Allouzi menemukan Islam setelah bertemu dengan seorang pria muslim yang mempersuntinggnya. Wanita 45 tahun itupun mengucapkan dua kalimat syahadat pada 1993.

Kara menyadari setelah memeluk Islam hidupnya berada dalam lingkaran keberkahan luar biasa. Diakuinya, ia menjadi seorang muslim bukan karena menikah dengan suaminya.
Kara mengaku terpesona dengan perilaku dan akhlak suaminya yang selalu memberikan contoh baik dan tulus serta sabar dalam membimbingnya ke jalan yang lurus dalam mencari kebenaran. (baca: Kara Allouzi: Islam Pilihan Terbaik).

Apalagi, suaminya juga mengajarkan anak-anak mereka dengan kasih sayang dan ajaran Islam. "Setelah kami menikah, saya mulai belajar tentang Islam. Sedikit demi sedikit, suami saya memberikan contoh yang sangat baik dari Islam, ia mencerminkan seorang muslim yang baik. Ia tidak pernah memaksa saya atau mendorong saya atau sesuatu seperti itu," papar Kara. (baca: Allouzi Bimbang tak Bisa Berkomunikasi Langsung dengan Tuhan).

Suatu ketika suaminya harus dirawat di rumah sakit, dan disaat yang sama ada sebuah sekolah Islam yang membuka penerimaan murid baru. Suaminya lalu ingin memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam tersebut. Kara menyanggupi permintaan suaminya.

"Setelah saya memasukkan mereka ke sekolah Islam, saya datang dan melihat betapa indahnya Islam itu. Dan sekolah itu benar-benar menunjukkan keindahan agama, bukan hanya sisi agama tapi juga cara hidup," katanya.

Redaktur: Karta Raharja Ucu
 
 
 

Wasiat Rasulullah

Wasiat RasulullahOleh: Imam Nur Suharno
Suatu hari, Nabi SAW menyampaikan tiga wasiat kepada Abu Darda' RA. Wasiat itu, tak hanya untuk diri Abu Darda seorang, tapi juga seluruh umat Islam. Tentu saja, wasiat itu memiliki makna yang dalam dan juga banyak keutamaan.
Ketiga wasiat itu, sebagaimana disampaikan Abu Darda adalah sebagai berikut. “Kekasihku (Muhammad SAW) mewasiatkan kepadaku tiga hal yang tidak akan aku tinggalkan selama hidupku, yaitu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, Shalat Dhuha, dan Shalat Witir sebelum tidur.” (HR Bukhari).
Sebagai umat Islam, kita semua hendaknya dapat mengamalkan dan melestarikan ketiga wasiat itu. Sebab, ketiga wasiat itu memiliki keutamaan yang besar.

Pertama, berpuasa tiga hari dalam setiap bulan Hijriyah. Puasa tiga hari itu sering disebut dengan puasa sunah Ayyamul Bidh, yaitu berpuasa pada 13, 14, dan 15 bulan Hijriyah. (HR Tirmidzi dan Nasa’i). Meskipun hanya tiga hari dalam setiap bulan, puasa sunah ini memiliki keistimewaan besar di sisi Allah SWT.

Nabi SAW bersabda, “Berpuasalah tiga hari pada setiap bulan. Sesungguhnya, setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Artinya, itu sama dengan berpuasa sepanjang tahun.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kedua, mendirikan Shalat Dhuha. Shalat Dhuha merupakan ibadah sunah yang sangat dianjurkan. Ia merupakan ibadah pada pagi hari yang rutin dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu menganjurkan umat Islam untuk membiasakan diri mendirikan Shalat Dhuha setiap hari pada waktu pagi.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Shalat Dhuha itu memiliki beragam keutamaan. Di antaranya, Allah akan membangunkan baginya sebuah istana di surga nanti yang terbuat dari emas. Selain itu, Allah akan menghapuskan dosa-dosanya hingga bersih, seperti anak yang baru dilahirkan oleh ibunya. (HR Abu Ya'la).

Dalam riwayat Tirmidzi disebutkan, orang yang rutin mendirikan Shalat Dhuha akan dicukupkan rezeki dan segala kebutuhan hidupnya oleh Allah. Ia juga akan mendapatkan pahala yang nilainya setara dengan ibadah haji dan umrah.

Imam Thabrani meriwayatkan, orang yang rutin mendirikan shalat wajib dan juga Dhuha, akan masuk surga melalui pintu yang diberi nama adh-Dhuha.

Wasiat ketiga adalah mendirikan Shalat Witir sebelum tidur. Nabi SAW tidak pernah meninggalkan Shalat Witir, baik ketika berada di rumah maupun sedang dalam perjalanan (musafir). Shalat Witir juga memiliki banyak keutamaan.

Dari Kharijah bin Khudzaifah al-Adawi, ia bercerita, “Nabi SAW pernah keluar menemui kami dan beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah yang Mahamulia lagi Mahaperkasa telah membekali kalian dengan satu shalat di mana ia lebih baik bagi kalian daripada binatang yang paling bagus, yaitu Shalat Witir. Dan, Dia menjadikannya untuk kalian antara Shalat Isya sampai terbit fajar.” (HR Abu Dawud).

Sebagai umat Islam, kita berkewajiban untuk melestarikan wasiat Rasulullah SAW itu. Semoga Allah memberikan keringanan dan kemudahan bagi kita semua untuk menjalankan dan mengamalkannya. Amin.



Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 
 
 

Sang Pencerah

Rabu, 19 Desember 2012, 23:59 WIB

Sang PencerahOleh: A Ilyas Ismail

Pada suatu hari, Umar bin Khathab menemukan sahabat Muadz Ibnu Jabal sedang menangis di dekat makam Rasul.

"Ma Yubkika, ya Muadz?" (Apa yang membuatmu menangis, hai Muadz),” tanya Umar.

Jawabnya, "Aku teringat apa yang dikatakan oleh Rasulullah, sedikit riya adalah syirik. Siapa memusuhi kekasih Allah, Allah SWT murka dan menyatakan perang kepadanya.”

“Allah mencintai orang-orang takwa (al-atqiya') yang menyembunyikan kebaikan (al-akhfiya'), yaitu orang-orang yang jauh dari popularitas tetapi hati mereka menjadi penerang alias pencerah alam jagat raya." (HR Ibnu Majah).

Hadis ini membicarakan orang-orang dengan tingkat kemuliaan yang sangat tinggi. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar tulus dalam agama, jauh dari sikap gembar-gembor dan popularitas.

Mereka sama sekali tak dikenal sebagai tokoh, publik figur, apalagi ulama besar. Tapi, jiwa mereka adalah mashabih al-huda, atau obor pencerahan, bak bintang-bintang yang menyibak kegelapan malam.

Mereka menjadi obor pencerahan lantaran memiliki kekuatan moral dan spiritual yang amat tinggi. Seperti hadis di atas, mereka setidak-tidaknya memiliki tiga kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang lain atau manusia pada umumnya.

Pertama, iman dan akidah mereka benar dan kuat, terlepas dari unsur kemusyrikan, baik yang nyata (jaliy) maupun yang laten (khafiy). Jiwa mereka bersih dan terang lantaran tak ada kekuatan lain yang mendominasi jiwa mereka selain Allah SWT. Mereka lebih mencintai Allah ketimbang apa pun dan siapa pun juga (wa ahabba ila Allah min ma siwah).

Kedua, mereka adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah sehingga mereka dikasihi dan dicintai oleh Allah (wali Allah). Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa (QS Yunus [10]: 62-63).

Dalam hadis sahih, wali Allah menunjuk kepada orang-orang yang mampu melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, tak hanya yang berstatus wajib (al-mafrudhat), tetapi juga yang sunah (al-nawafil) sebagai tambahan keutamaan (fadhail). (HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Ketiga, mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas dalam agama. Sembah sujud dan kebaikan yang mereka lakukan benar-benar karena Allah, tanpa pamrih dan tanpa ada motivasi lain yang bersifat duniawi.

Dengan tingkat ketulusan seperti ini, bagi mereka sama saja antara pujian dan cercaan manusia, tak ada yang bernilai selain perkenan dan rida Allah. Bukan watak dari orang-orang ini, mengingat-ingat kebaikan, apalagi menyebut-nyebutnya disertai caci-maki (al-mannu wa al-adza).

Dengan tingkat moralitas dan spiritualitas itu, tak heran bila mereka diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Di antaranya, doanya selalu didengar dan diterima. (HR Bukhari dari Anas Ibnu Nadhar).

Secara kuantitas, jumlah sang pencerah ini memang tidak banyak. Tapi, kekuatan iman, ibadah, dan amal mereka membuat mereka menjadi pakubuwono, yaitu tiang penguat jagat raya.

Tanpa mereka, alam ini sudah lama ditenggelamkan oleh Allah SWT. Tentu, kita semua berutang budi kepada para pencerah ini. Wallahu a`lam.

Redaktur: Chairul Akhmad






Satu Hari Satu Ayat

Senin, 24 Desember 2012, 01:01 WIB


Satu Hari Satu AyatOleh: Ustaz Yusuf Mansur
Andai saja lembaran Alquran itu uang Rp 100 ribu atau Rp 50 ribu yang tergeletak, maka pasti banyak orang yang berebut mengambilnya. Padahal, Alquran itu bukan uang, tapi ia lebih daripada uang, dan takkan ternilai dengan uang.

Karena itu, dekatilah Alquran, baca, dan pahami isinya. Apalagi kalau ditambah dengan menghafalnya, niscaya rezekinya akan berbeda. Dan pasti akan tambah berbeda bila mau mengamalkan isi Alquran yang mulia itu. Baik mengamalkannya melalui keseharian maupun dengan cara membaca dan mempelajarinya setiap hari, dan juga dipergunakan dalam setiap shalat. Subhanallah.

Sekarang, coba ambil kertas dan pulpen. Tuliskanlah keadaan sahabat-sahabat semuanya sekarang ini dengan apa adanya, tanpa menambah atau menguranginya. Intinya semua yang dialami sekarang ini dan di masa lalu dituliskan semuanya. Misalnya utang, tuliskanlah berapa banyak utang itu? Anda punya tabungan, tuliskanlah sekarang ini jumlah tabungan Anda.

Kemudian, rumah yang anda tempati saat ini, apakah milik sendiri, kontrak/sewa, atau hasil pemberian orang tua? Berapa luas rumah itu? Kalau perlu, foto rumah itu. Dan seandainya ia milik anda, berapa nilainya saat ini.

Lalu tentang usaha Anda, apakah sudah berjalan dengan baik atau ada masalah, maju atau sedang sekarat? Kalau maju, seberapa majunya, dan jika rugi sebrapa kerugiannya.

Juga jangan lupa untuk menuliskan tentang jodoh Anda. Apakah saat ini sudah punya jodoh atau belum? Sudah punya anak atau belum? Tulislah semua keadaan Anda, termasuk keadaan yang sedang anda rasakan sekarang, apakah lagi kecewa, senang, sedih, atau susah?

Buat apa semua itu dicatat? Tujuannya adalah untuk merasakan secuil hakikat apakah benar kalau dekat dengan Alquran itu hidup akan berubah? Apakah dekat dengan Alquran itu anda akan untung, lebih beruntung, tambah kaya, hidup berkah atau sebaliknya?

Mumpung sebentar lagi tanggal baru dan tahun baru masehi, coba buktikan satu hari satu ayat anda hafalkan Alquran berikut dengan maknanya. Setelah itu, Anda baca juga Alquran satu hari satu halaman berikut terjemahnya. Rasakan perubahan apa yang terjadi?

Lakukan dan jalani kegiatan itu selama 1-2 minggu, 1-2 bulan, atau 1-2 tahun. Kemudian, buka lagi catatan yang telah anda tulis tentang rumah, harta, jodoh, usaha, serta lainnya. Kemudian bandingkan keadaan Anda setelah dekat dengan Alquran? Saya yakin, akan ada yang berbeda.

Jangan lupa, minta ampun sama Allah SWT, supaya amal saleh yang telah dikerjakan tidak ditujukan untuk menghapuskan dosa yang kita perbuat, melainkan langsung diangklat derajat hidup.
Cobalah buktikan. Sebab, Allah sudah menjamin hal itu. "Bacalah Alquran, sesungguhnya ia akan menjadi penolong di hari kiamat, bagi semua sahabatnya."

Pertanyaannya, siapakah sahabat Alquran itu? Jawabannya, adalah semua yang dekat dengan Alquran. Dan sahabat sejati akan selalu ada dan setia. Apalagi kalau mau mendakwahkan Alquran juga. Masya Allah.

Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 

Memuliakan Orang Tua

Rabu, 26 Desember 2012, 13:11 WIB

Memuliakan Orang TuaOleh: Ina Salma Febriani
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” (Qs Al-Isra: 23).

Surah Al-Isra mengisyaratkan keharmonisan dua hubungan yakni hubungan baik dengan Allah, juga dengan manusia yang dalam hal ini ialah sosok yang semestinya kita muliakan, orang tua.

Para mufassir sepakat bahwa perkataan yang mulia menurut firman Allah di atas ialah mengucapkan kata “ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Penghormatan terhadap orang tua sangat diatur oleh Islam agar terciptanya hubungan baik antara orang tua dan anak.
Lebih spesifik lagi, penghormatan kepada salah satunya sungguh telah Rasulullah yang menyatakan seorang laki-laki datang menghampiri Rasulullah dan bertanya siapakah yang layak untuk dipatuhi? Rasul pun menjawab, “Ibumu,” hingga tiga kali berturut-turut, kemudian, “ayahmu”. (HR Bukhari-Muslim).

Penyebutan lebih dari satu kali dalam hadis Rasul bukan tanpa makna. Pemaknaan yang luas terhadap apa yang pernah beliau sampaikan lebih khusus kepada urusan kepatuhan anak kepada ibu, menjadi kewajiban tersendiri mengingat ibu adalah sosok yang sangat berperan dalam kehidupan si anak dari masa kehamilan, kanak-kanak, hingga dewasa.

Adalah Umar bin Khattab seorang anak yang sangat hormat kepada ibunya, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya. Dalam hal makan, misalnya, ia tidak pernah makan mendahului ibunya.

Ia bahkan tak berani makan bersama-sama dengan ibunya, sebab ia khawatir akan mengambil dan memakan hidangan yang tersedia di meja, sementara ibunya menginginkan makanan tersebut. Baginya, seorang ibu telah mendahulukan anaknya selama bertahun-tahun ketika sang anak masih kecil dan lemah.

Kasih ibu tak pernah terbalas oleh apa pun juga. Yang bisa dilakukan anak hanyalah memberi penghormatan dan pelayanan, terutama ketika mereka sudah tua dan dalam keadaan lemah. Dalam hal ini Rasulullah mengingatkan kaum Muslimin, "Hidungnya harus direndahkan ke tanah, hidungnya harus direndahkan ke tanah, hidungnya harus direndahkan ke tanah."

Beliau ditanya, "Ya Rasulullah, siapa?" Jawabnya, "Orang yang mendapatkan kesempatan baik untuk membantu kedua orang tuanya di masa tuanya, baik salah satunya maupun kedua-duanya, tetapi ia gagal mendapatkan dirinya masuk surga."

Gagalnya seseorang untuk masuk surga lantaran pengabaian terhadap hak-hak orang tua, dapat kita simak dalam kisah Juraij. Juraij adalah remaja yang taat beribadah. Saat ia ingin melakukan shalat sunah, ibunya memanggilnya.

Kala itu, Juraij bimbang—dahulukan shalat, atau memenuhi panggilan ibunya? Maka, Juraij pun memilih shalat dan mengabaikan panggilan Ibunya yang sudah berkali-kali menggema di telinganya.

Sang ibu pun kecewa, dalam hati, ia berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan anakku sebelum ia mendapat fitnah dari wanita pelacur.” Singkat cerita, Juraij mendapatkan fitnah dari seorang pelacur karena ia mengabaikan seruan ibunya.

Menghormati dan memuliakan orang tua bukan saja saat mereka masih hidup. Ketika beliau wafat, maka sebagai seorang anak, kita berkewajiban untuk melaksanakan lima hal, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, kewajiban itu di antaranya ialah menyalatkan keduanya, membacakan istighfar, melaksanakan wasiatnya, bersilaturahim kepada kerabatnya, juga menghormati sahabat-sahabatnya.


Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 
 
 
 

Damai, Produk Peradaban Islam

Jumat, 28 Desember 2012, 18:01 WIB


Damai, Produk Peradaban IslamOleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Syekh Al-Azhar Al-Syarief, Dr Ahmad Al-Tayyib, mengatakan damai dan perdamaian merupakan produk peradaban Islam sejak masa permulaan (kerasulan).

Oleh karenanya, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim tecermin dalam satu kata kunci, yaitu mengenal pihak lain (saling mengenal). Hal tersebut karena pemikiran filsafat Islam dalam kaitannya dengan hubungan antara Muslim dan non-Muslim didasari pada dua kenyataan (hakikat).

Pertama, kenyataan bahwa perbedaan (al-ikhtilaf) merupakan hukum alam (sunnatullah) yang ditetapkan Allah SWT. Dia menciptakan manusia dengan perbedaan warna kulit, bahasa, agama, tradisi dan tabiat.

Memang, seandainya Allah berkehendak, maka tidak sulit bagi-Nya menjadikan manusia sebagai satu umat yang sama dalam segala hal. Namun, hal tersebut tidak dikehendaki-Nya, malahan “perbedaanlah” yang dikehendaki-Nya dan atas sebab perbedaan itulah manusia diciptakan.

Allah SWT berfirman, "Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka." (QS. Hud: 118-119).

Penggunaan isim isyarah "dzalika" pada kalimat tersebut menurut para ahli tafsir merujuk pada kata "wa la yazalu mukhtalifiin", sehingga maknanya atas sunnatullah berupa perbedaan keyakinan, pemikiran, rasa, tabiat dan kecenderungan yang terdapat pada manusia itulah maka manusia itu diciptakan.

Kedua, kenyataan bahwa manusia diciptakan dengan hukum alam untuk saling mengenal antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, manusia diciptakan untuk saling menjalin "ukhuwah insaniyah" (QS. Al-Hujurat: 13).

Dua kenyataan tersebut, mau tidak mau harus dicarikan solusi dan tata kelolanya oleh manusia. Dan Rasulullah SAW telah menunjukkan melalui perjalanan hidupnya bahwa damai dan perdamaian merupakan jalan terbaik untuk mengkompromikan perbedaan dan upaya untuk saling mengenal antarmanusia.

Perhatikanlah berbagai pendekatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam menjalankan dakwahnya di Makkah dan Madinah. Perhatikan pula berbagai perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah SAW dengan kaum Anshar, kaum Yahudi di Madinah, dan kaum kafir Quraisy yang kesemuanya menunjukkan upaya-upaya serius menciptakan perdamaian dalam rangka mencari tata kelola yang baik demi keberlangsungan kehidupan.

Perhatikan lebih detail lagi syariat peperangan dalam Islam yang tidak lain merupakan situasi pengecualian dalam rangka menghapus kezaliman, menegakkan kebenaran, menafikan kebatilan, menegakkan kedamaian, keamanan dan ketenangan, mempertahankan agama, negara, jiwa, harta, benda, kebebasan beragama dan kemanusiaan.

Allah SWT berfirman, "Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’.”

“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh Allah Mahakuat, Mahaperkasa." (QS. Al-Hajj: 39-40).

Maka, jika pada saat ini terdapat sekelompok orang yang mengatasnamakan diri sebagai kelompok Islam dengan kebiasaan melakukan kekerasan, kejahatan, teror dan mengganggu ketentraman masyarakat, dapat dipastikan bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan syariat Islam. Dan mereka perlu belajar Islam langsung melalui teks aslinya, bukan dari para ideolog-ideolog yang salah dalam memahami ajaran Islam yang damai. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 
 
 

Berdakwah dengan Empati

Sabtu, 29 Desember 2012, 18:40 WIB

Berdakwah dengan EmpatiOleh: Moch Hisyam

Suatu hari datang serombongan budak ke rumah Hasan al-Bashri, salah seorang ulama terkenal.

Rombongan itu mengeluhkan atas sedikitnya orang-orang yang mau memerdekakan budak. Bahkan, terlihat banyak di antara umat Islam yang tak menghiraukan keutamaan ini.

Karena itu, kedatangan para budak ini, untuk meminta Hasan al-Bashri untuk berkhotbah dan mengajak umat Islam agar mau memerdekakan para budak.

Namun, permintaan para budak itu tak serta-merta dilaksanakan Hasan al-Bashri. Jumat demi Jumat berlalu, namun tak jua ada khotbah soal itu. Akibatnya, para budak itu mengira, ulama besar ini telah menelantarkan dan melalaikan urusan mereka.

Beberapa pekan kemudian, Hasan al-Bashri naik ke mimbar dan berkhotbah mengenai pentingnya memerdekakan budak. Seusai berkhotbah, orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Dari kediaman mereka terdengar suara kegembiraan. Rupanya, tuan rumah atau majikan para budak memerdekakan mereka secara besar-besaran.

Setelah itu, rombongan budak yang dahulu datang kepada Hasan al-Bashri, datang kembali kepadanya. Selain menyampaikan terima kasih, mereka menanyakan mengapa harus menunggu lama untuk mendengarkan khotbahnya yang berkaitan dengan kemerdekaan budak tersebut.

Mendengar hal itu, Hasan al-Bashri pun berkata, “Saya tidak memiliki seorang budak. Karenanya, saya menunggu sampai saya memiliki seorang budak. Kemudian, setelah memerdekakannya, saya berkhotbah di depan orang-orang mengenai kemerdekaan budak.”

Kisah di atas, memberikan pelajaran yang sangat besar, terutama bagi para pendakwah bahwa seorang dai harus menghayati dan merasakan situasi dan kondisi audiensinya (jamaahnya) sebelum memberikan nasihat kepada mereka.

Dengan kata lain, seorang dai harus berdakwah dengan empati. Metode dakwah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam mengajak manusia menuju jalan Allah SWT. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin,” (QS at-Taubah [9]: 128).

Hal ini harus dilakukan karena obyek dakwah adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk bergerak dan merespons.

Ketika seorang dai mampu merasakan dan menghayati situasi serta kondisi jamaahnya, niscaya dakwahnya akan berbobot. Bukan hanya karena ia telah memberikan keteladanan, tapi juga karena apa yang disampaikannya merupakan bahasa hati.

Ia mengetahui perasaan hati jamaah ketika ia menyampaikan dakwahnya. Nasihat yang menyentuh hati itulah yang mampu dan diikuti oleh jamaah dari seorang dai.

Untuk itu, mari kita jadikan hal ini sebagai bekal dalam berdakwah. Sehingga, dakwah para dai mampu menjadi sarana tergeraknya umat dalam menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar. Wallahu a’lam.


Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 
 
 

Optimistis dengan Iman

Sabtu, 29 Desember 2012, 23:59 WIB

Optimistis dengan ImanOleh: A Ilyas Ismail
Pada suatu hari, Ibrahim bin Adham, anak raja, yang beralih menjadi sufi ini, bertemu seorang yang sedang gelisah (galau).

Untuk menghibur dan dengan maksud membantu orang itu keluar dari keputusasaan dan kegalauan, Ibrahim menyampaikan tiga pertanyaan kepadanya.

Pertama, “Apakah sesuatu yang tidak dikehendaki Allah bisa terjadi di alam ini?” Jawabnya, “Tidak.”

Kedua, “Apakah rezeki yang ditetapkan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak.”

Ketiga, apakah umur yang ditentukan Allah kepadamu bisa berkurang?” Jawabnya, “Tidak”! Lantas, mengapa engkau larut dalam kesedihan dan kegalauan,” sanggah Ibrahim.

Dialog ini menarik dan menyampaikan pesan berharga. Pertama, soal perlunya perhatian dan kepedulian kita kepada orang lain. Perhatian, juga tegur sapa, sangat penting, karena manusia pada abad ini makin tidak sosial. Perhatian dan kepedulian menjadi barang langka.

Kini, dengan kemajuan teknologi, alat-alat komunikasi memang membeludak alias bertebaran. Tapi, karena sibuk internetan, BBM-an, SMS-an, dan lain-lain permainan, kita tak jarang menjadi lupa dan abai pada orang-orang di sekitar kita.

Terjadi ironi di sini. Alat-alat canggih itu mampu mendekatkan yang jauh, tetapi dalam waktu bersamaan, bisa menajuhkan yang dekat.

Kedua, soal perlunya peningkatan peran dai dalam memecahkan persoalan umat. Dakwah tidak boleh dipersempit maknanya hanya sebagai ceramah atau retorika, tetapi merupakan usaha orang beriman mengindentifikasi dan mencari solusi terhadap problem-problem keumatan.

Dai, seperti ditunjukkan Ibrahim bin Adham, tak ubahnya seorang dokter. Ia pandai melakukan diagnosis dan memberikan resep dan terapi penyembuhan dengan cermat dan tepat.

Al-Bahi al-Huli, memang menyebut dai sebagai “Thabib al-Mujtama” (dokter sosial) yang harus menanggulangi berbagai penyakit masyarakat, baik penyakit moral, sosial, maupun spiritual.

Berbagai penyakit masyarakat itu, kata al-Huli, tak bakal bisa disembuhkan hanya dengan retorika, dengan cara memainkan kata-kata atau menggerak-gerakkan telunjuk.

Ketiga, soal perlunya penghayatan dan pengamalan iman. Iman, dalam pengertian generiknya, mengandung makna percaya atau lebih tepat lagi, menaruh kepercayaan, kepada Allah SWT. 

Kepercayaan kepada Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam jagat raya ini, menjadi sumber pengharapan (optimisme) bagi orang beriman. Maka logikanya, iman yang benar (al-iman) mesti menimbulkan rasa aman (al-amn) dan rasa damai (al-salam) yang tinggi. (QS al-Hasyr [59]: 23).

Iman adalah fitrah dalam arti panggilan dan kecenderungan primordial manusia (QS al-Rum [30]: 30). Dengan iman, manusia menjadi eksis dan survive, lantaran ia berada di jalan (orbit) Tuhan dan senantiasa menuju kesempurnaan dengan menghayati kehadiran-Nya melalui proses transendensi secara terus-menerus.

Dalam pengertian ini, iman menjadi sumber optimisme dan pangkal kebahagiaan. Inilah yang dipesankan Nabi dalam hadis Muslim, “Janganlah kamu mati, kecuali engkau penuh harap (optimistis) kepada Allah.” Wallahu a`lam.
Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 
 
 
 
 
 

Zikir Akhir Tahun

Senin, 31 Desember 2012, 06:01 WIB

Zikir Akhir TahunOleh: Ustaz M Arifin Ilham
Istilah zikir berasal dari bahasa Arab, dzakara-yadzkuru-dzikr. Artinya menyucikan dan memuji (Allah); ingat, mengingat, peringatan; menutur; menyebut; dan melafalkan.
Di dalam Alquran--yang juga disebut Adz-Dzikra--kita dapat menjumpai kata itu dalam berbagai bentuknya lebih dari 280 kali dengan beragam makna.
Zikir secara istilah berarti mengingat dan menyebut Allah. Seseorang yang mengingat Allah maka lisannya terus menyebut Allah. Dan, hatinya juga terus mengingat Allah.
Mengingat gerak hati sedangkan menyebut gerak lisan. Karena itu, zikir bisa dilakukan dengan hati (mengingat), bisa pula dengan lisan (mengucap). Perpaduan keduanya akan mengantarkan pada makna khusyuk.
Zikir sebenarnya merupakan inti dari doa yang kita panjatkan sehari-hari. Bahkan, amaliah yang selalu kita tautkan kepada Zat yang Menggerakkan, juga bagian dari zikir. Karena itulah, lazim kita temukan pembagian zikir pada empat bentuk: zikir qalbiyah, zikir aqliyah, zikir lisaniyah, dan zikir amaliyah.

Pertama, zikir qalbiyah (hati), yakni zikir dengan merasakan kehadiran Allah. Jika ingin menghabiskan akhir tahun pada tahun ini, silakan saja, tapi hendaklah amalan tersebut mengajak hati untuk meyakini bahwa Allah bersamanya.

Sadar dan ingat bahwa Allah selalu melihat, menatap, mendengar, dan mengetahui gerak-gerik hati, lintasan pikiran, dan ejawantah amaliahnya. (QS Saba: 3). Dalam terminologi agama, zikir qalbiyah ini lazimnya disebut ihsan.

Kedua, zikir aqliyah, yaitu kemampuan menangkap bahasa Allah di balik setiap gerak-gerik alam. Allah yang menjadi sumber gerak dan yang menggerakkan. Sejatinya kehidupan kita masuk dalam sebuah sistem universal dari Zat yang Menciptakan.

Kita berada dalam madrasah Allah, universitas jagad raya yang mencakup langit dan bumi dan terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir (tafakur, zikir). (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Ketiga, zikir lisan, yaitu buah dari zikir hati dan akal. Setelah melakukan zikir hati dan akal, barulah lisan berfungsi untuk senantiasa berzikir, menyebut dan mengagungkan Allah SWT. Apa yang di hati itulah yang dipikirkan, dan apa yang dipikirkan itulah yang diucapkan. Karena itu, orang yang berzikir, pasti mempunyai kepribadian jujur.

Abdullah bin Busr RA berkata, "Ya Rasulullah ajaran-ajaran Islam telah banyak padaku, maka beritahukanlah sesuatu yang dapat aku jadikan pegangan.” Rasulullah SAW pun menjawab, “Biarkanlah lisanmu terus basah dengan menyebut Allah." (HR Tirmidzi).

Keempat, zikir amaliyah yaitu menyatukan zikir hati, akal, dan lisan dengan keselarasan perbuatan sebagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Orang yang berzikir itu adalah al-muthi', orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karena itu, orientasi berzikir adalah melahirkan pribadi-pribadi yang bertakwa kepada Allah SWT. Dan mereka yang bertakwa akan senantiasa mendapat limpahan rahmat-Nya. (QS al-Araf: 96).

Momentum akhir tahun ini, sangat baik bagi kita untuk bermuhasabah dengan menghadiri majelis-majelis zikir untuk menuai keberkahan Allah. Republika sudah tepat dan istiqamah dengan menggelar zikir dalam menutup dan mengawali setiap pergantian tahun. Dengan berzikir, semoga kita senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang diberkahi.
 



Redaktur: Chairul Akhmad