Senin, 04 November 2013

Ziarah Kubur dalam Islam

Islam adalah agama yang paling mulia di sisi Allah , karena Islam dibangun diatas agama yang wasath (adil) diseluruh sisi ajarannya, tidak tafrith (bermudah-mudahan dalam beramal) dan tidak pula ifrath (melampaui batas dari ketentuan syari’at). Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ….” (Al Baqarah: 143)
Ziarah kubur termasuk ibadah yang mulia di sisi Allah bila dilandasi dengan prinsip wasath (tidak ifrath dan tidak pula tafrith). Tentunya prinsip ini tidak akan terwujud kecuali harus diatas bimbingan sunnah Rasulullah . Barangsiapa yang menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan satu-satunya, sungguh ia telah berjalan diatas hidayah Allah . Allah berfirman:
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kalian mentaati (nabi Muhammad ), pasti kalian akan mendapatkan hidayah (dari Allah ).” (An-Nuur: 54)
.
Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”
Al Imam An Nawawi berkata:
“Sebab (hikmah) dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, yaitu karena para sahabat di masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yang ketika berziarah diiringi dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kokoh pondasi-pondasi Islam dan hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka, barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)
Tidak ada keraguan lagi, bahwa amalan mereka di zaman jahiliyah yaitu berucap dengan sebatil-batilnya ucapan, seperti berdo’a, beristighotsah, dan bernadzar kepada berhala-berhala/patung-patung di sekitar Makkah ataupun di atas kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh mereka.
.
Tujuan Disyari’atkannya Ziarah Kubur
Para pembaca, marilah kita perhatikan hadits-hadits dibawah ini:
1. Hadits Buraidah bin Hushaib , Rasulullah bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)
Dari sahabat Buraidah juga, beliau berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana berziarah kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)
.
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).
.
3. Hadits ‘Aisyah :
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh Allah) untuk mendo’akan mereka. (HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya:
“Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْن
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)
Dari hadits-hadits di atas, kita dapat mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya dari ziarah kubur:
a. Memberikan manfaat bagi penziarah kubur yaitu untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi , seperti hadits Aisyah dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah . Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan:
“Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)
.
Catatan Penting Bagi Peziarah Kubur
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan bagi penziarah kubur, yaitu:
Pertama: Menjauhkan hujr yaitu ucapan-ucapan batil.
Sebagaimana hadits Rasulullah :
“…maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “…dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”
Berbicara realita sekarang, maka sering kita jumpai para penziarah kubur yang terjatuh dalam perbuatan ini. Mereka mengangkat kedua tangannya sambil berdo’a kepada penghuni kubur (merasa belum puas /khusyu’) mereka sertai dengan sujud, linangan air mata (menangis), mengusap-usap dan mencium kuburannya. Tidak sampai disini, tanah kuburannya dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarganya untuk mendapatkan barakah atau sebagai penolak bala’. Adakah perbuatan yang lebih besar kebatilannya di hadapan Allah dari perbuatan ini? Padahal tujuan diizinkannya ziarah kubur -sebagaimana yang telah disebutkan- adalah untuk mendo’akan penghuni kubur, dan bukan berdo’a kepada penghuni kubur.
Kedua: Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid.
Rasulullah bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)
Kalau demikian, bagaimana besarnya kemurkaan Allah kepada orang yang menjadikan kuburan selain para nabi sebagai masjid?
Makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi meramaikan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)
Ketiga: Tidak melakukan safar (perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)
Ziarah ke kubur Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini, namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah. Sehingga salah kaprah anggapan orang bahwa safar ke masjid An Nabawi atau safar ke tanah Suci (Masjidil Haram) hanya dalam rangka berziarah ke kubur Nabi dan tidak dibenarkan pula safar ke tempat-tempat napak tilas para nabi dengan niat ibadah, sebagaimana penegasan hadits di atas tidak bolehnya mengadakan safar dalam rangka ibadah kecuali ke tiga masjid saja.
Al Imam Ahmad meriwayatkan tentang kejadian Abu bashrah Al Ghifari yang bertemu Abu Hurairah . Beliau bertanya kepada Abu bashrah: “Dari mana kamu datang? Abu bashrash menjawab: “Aku datang dari Bukit Thur dan aku shalat di sana.” Berkata Abu Hurairah : “Sekiranya aku menjumpaimu niscaya engkau tidak akan pergi ke sana, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: “Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.”
Adapun hadits-hadits yang tersebar di masyarakat seperti:
مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”
Semua hadits-hadits di atas ini dha’if (lemah) bahkan maudhu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari, Muslim, tidak pula Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain keduanya, tidak pula Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. (lihat Majmu’ Fatawa 27/29-30).
Keempat: Tanah kubur Nabi tidaklah lebih utama dibanding Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Hanyalah pernyataan ini berasal dari Al Qadhi Iyadh. Segala pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)
Kelima: Tidak mengkhususkan waktu tertentu baik hari ataupun bulan.
Karena tidak ada satu nash pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan keutamaan waktu tertentu untuk ziarah.
Keenam: Tidak diperbolehkan jalan ataupun duduk diatas kubur.
Sebagaimana Rasulullah bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya)


Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=114
Judul asli: Ziarah Kubur Dalam Bingkai Sunnah Nabawiyah

Fenomena Ziarah Ke Kuburan Para Wali [ Wisata Ziarah / Wisata Religi ]

Fenomena kesyirikan yang marak dilakukan di bumi pertiwi yang kita cintai ini tidak lepas dari pengkultusan yang berlebihan terhadap para wali. Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru adalah mengkultuskan wali tersebut secara berlebihan dan mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘alamin.

Fenomena Ziarah Wali
Pengultusan individu sangat bertolak belakang dengan ajaran penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah melarang umatnya mengkultuskan beliau secara berlebihan dalam sabdanya,
َا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengkultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya” (HR. Bukhari nomor 3261).

Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,
قوله لا تطروني لا تمدحوني كمدح النصارى حتى غلا بعضهم في عيسى فجعله إلها مع الله وبعضهم ادعى أنه هو الله وبعضهم بن الله
“Maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah janganlah kalian mengkultuskanku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengkultuskan ‘Isa bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah atau anak Allah” (Fathul Baari 12/149).
Pengkultusan inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar penduduk negeri.

Oleh karena itu, kami akan membahas hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radliallahu ‘anhu. Karena hadits ini memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi.

Hadits Syaddur Rihal
Dari Abu Sa’id al Khudri radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197).
Dalam hadits yang lain, Abu Sa’id mengatakan, “Aku mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى
“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827).
Hadits Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihimus salam. Masjidil Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang terbangun di atas pondasi ketakwaan (Al Fath 3/64). Oleh karena itu, kaum muslimin disyari’atkan untuk melakukan safar menuju ketiga tempat tersebut dan mereka dilarang untuk melakukan safar ke tempat lain dalam rangka melakukan peribadatan di tempat tersebut meskipun tempat itu adalah masjid.
Ziarah Kubur Wali
Larangan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id diatas juga mencakup perbuatan yang sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia, yaitu menziarahi berbagai tempat yang diyakini memiliki keutamaan apabila seorang beribadah disana seperti kubur para wali rahimahumullah.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah riwayat yang dibawa oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya yang menyebutkan pengingkaran sahabat Abu Basrah Al Ghifari radliallahu ‘anhu atas tindakan Abu Hurairah radliallahu ‘anhu yang mengunjungi bukit Thursina kemudian melaksanakan shalat disana (HR. Ahmad nomor 23901 dengan sanad yang shahih). Abu Basrah mengatakan kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana (karena aku akan melarangmu).” Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya.
Pengingkaran Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum, mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat mendatangkan berkah.
Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan janganlah engkau mendatangi bukit Thursina!” (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih).
Syaikhul Islam Ahmad bin ’Abdil Halim Al Harrani rahimahullah mengemukakan sebuah alasan yang logis mengenai hal ini. Beliau mengatakan,
فقد فهم الصحابي الذي روى الحديث أن الطور وأمثاله من مقامات الأنبياء ، مندرجة في العموم ، وأنه لا يجوز السفر إليها ، كما لا يجوز السفر إلى مسجد غير المساجد الثلاثة . وأيضًا فإذا كان السفر إلى بيت من بيوت الله -غير الثلاثة- لا يجوز ، مع أن قصده لأهل مصره يجب تارة ، ويستحب أخرى ، وقد جاء في قصد المساجد من الفضل ما لا يحصى- فالسفر إلى بيوت الموتى من عباده أولى أن لا يجوز
”Sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut sangat memahami bahwa bukit Thursina dan berbagai tempat semisalnya, yang notabene adalah tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh para nabi tercakup dalam keumuman larangan. Oleh karena itu, bersafar menuju tempat-tempat tersebut tidak diperbolehkan, sebagaimana bersafar ke masjid selain tiga masjid yang disebutkan dalam hadits juga tidak diperkenankan. Bersafar (mengadakan perjalanan jauh) ke salah satu masjid Allah tidak diperkenankan, padahal pergi menuju masjid terkadang diwajibkan atau dianjurkan bagi penduduk kampung karena terdapat banyak keutamaan yang tak terhitung akan hal itu. Apabila hal tersebut tidak diperbolehkan, maka tentu bersafar menuju kuburan para hamba-Nya lebih layak untuk tidak diperkenankan.” (Al Iqtidla 2/183).
Syaikh Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan,
”Konteks hadits ini menunjukkan pengharaman bersafar untuk mengunjungi berbagai tempat selain ketiga tempat yang disebutkan di dalam hadits seperti menziarahi orang-orang shalih, baik yang hidup maupun telah wafat dengan tujuan bertaqarrub (beribadah) disana. Selain itu, larangan tersebut mencakup tindakan bersafar ke berbagai tempat yang diyakini memiliki keutamaan dengan tujuan bertabarruk dan melaksanakan shalat disana. Pendapat ini merupakan pendapat Syaikh Abu Muhammad Al Juwaini (imam Al Haramain-pen) dan juga Al Qadli ’Iyadl (keduanya merupakan ulama Syafi’iyyah-pen).” (Subulus Salam 1/89).
Penutup
Berdasarkan penjelasan diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan sebagian kaum muslimin, yaitu berziarah ke kuburan para wali rahimahumullah telah menyelisihi ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ridlwanullah ’alaihim jami’an. Larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radliallahu ‘anhu mencakup perbuatan mereka tersebut.
Patut dicamkan hal ini bukan berarti melarang kaum muslimin untuk berziarah kubur. Akan tetapi, yang terlarang adalah melakukan perjalanan jauh dan berpeluh untuk mengunjungi tempat atau kuburan yang diyakini memiliki keutamaan dalam rangka beribadah disana. Adapun menziarahi kubur tanpa melakukan safar, maka hal ini disyari’atkan dalam agama kita apabila dilakukan dalam rangka mendo’akan mayit, mengingat kematian dan kehidupan akhirat.
Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi menetapkan,
“Tidak diperbolehkan bersafar untuk menziarahi kuburan para nabi dan orang shalih atau selain mereka. Hal ini adalah perbuatan yang tidak memiliki tuntunan dalm agama Islam. Dan dalil yang melarang hal tersebut adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi) dan masjid Al Aqsha.” Begitupula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amal tersebut tertolak.” Adapun menziarahi kubur mereka tanpa melakukan safar maka hal ini dianjurkan berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Ziarahilah kubur, sesungguhnya hal itu dapat mengingatkan seorang pada kehidupan akhirat.” Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhutsi Al ’Ilmiyah wa Al Ifta, jawaban pertanyaan ketiga dari Fatwa nomor 4230, Maktabah Asy Syamilah).
Wash shalatu was salamu ’ala nabiyyinal mursalin. Al hamdu lillahi rabbil ’alamin.
Artikel yang terkait;

HUKUM ZIARAH TAHUNAN MENURUT ISLAM & HUKUM MEMINTA KEPADA PENGHUNI KUBUR/MAKAM PARA WALI : “Saya minta kepadanya karena dia lebih dekat kepada Allah daripada saya, supaya dia menolong saya dalam urusan-urusan ini..”

Hukum Meminta kepada Orang yang Dikubur

Orang yang datang ke kuburan seorang Nabi atau orang yang shalih, atau dia berkeyakinan bahwa tempat itu adalah kuburan seorang Nabi atau orang yang shalih padahal bukan, dan meminta kepadanya atau meminta pertolongannya, maka dalam hal ini ada beberapa keadaan.
Di antaranya, meminta sesuatu kepadanya, misalnya minta untuk menghilangkan sakitnya atau sakit binatangnya, atau melunasi hutangnya, atau membalaskan dendamnya terhadap musuhnya, atau menyehatkan keluarganya, binatangnya dan sebagainya, yang sebenarnya tidak ada yang mampu melakukannya selain Allah, dan semuanya ini adalah kemusyrikan yang jelas, pelakunya wajib untuk bertaubat, dan kalau tidak mau bertaubat maka dibunuh (dalam hal ini penguasa muslim yang melakukannya).

Syubhat Orang Musyrik dan Bantahannya

Kalau dia mengatakan, “Saya minta kepadanya karena dia lebih dekat kepada Allah daripada saya, supaya dia menolong saya dalam urusan-urusan ini. Saya menjadikannya perantara kepada Allah sebagaimana seseorang mendekat (dalam rangka minta bantuan) kepada raja dengan perantaraan orang-orang penting dan pembantu-pembantunya.”
Maka kita katakan, “Ini termasuk perbuatan kaum musyrikin dan orang-orang Nashrani, karena mereka juga menganggap bahwa ‘ulama mereka dan pendeta-pendeta yang mereka jadikan penolong-penolong dan perantara kepada Tuhan untuk memintakan pertolongan mengenai urusan dan permintaan mereka, itu lebih dekat kepada Tuhan. Demikianlah Allah memberitakan tentang kaum musyrikin yang mengatakan,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar:3)
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لاَ يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلاَ يَعْقِلُونَ. قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Bahkan mereka mengambil pemberi syafa`at (penolong) selain Allah. Katakanlah, ‘Dan apakah (kalian mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?’. Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafa’at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kalian dikembalikan’.” [Az-Zumar:43-44]
مَا لَكُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ شَفِيعٍ أَفَلاَ تَتَذَكَّرُونَ
“Tidak ada bagi kalian selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa`at. Maka apakah kalian tidak memperhatikan?” [As-Sajdah:4]
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” [Al-Baqarah:255]
Allah Ta’ala menjelaskan perbedaan antara Dia dan makhluk-Nya. Yaitu bahwasanya kebiasaan manusia adalah meminta pertolongan orang besar (seperti raja atau presiden) dengan perantaraan orang yang dekat atau yang dihormati oleh orang besar tersebut. Perantara itu minta kepada orang besar tersebut lalu dipenuhi keperluannya karena harapan, atau ketakutan, atau segan dan malu, atau karena kecintaan, atau karena alasan yang lain. Sedangkan Allah Yang Maha Suci, tidak ada yang dapat menolong di hadapan-Nya kecuali setelah mendapat izin-Nya, sehingga penolong yang telah diberi izin itu pun tidak melakukan selain yang dikehendaki-Nya, dan pertolongan itu pun atas izin-Nya, karena seluruh urusan ada di Tangan-Nya.
Allah tidak boleh disamakan dengan makhluk-Nya. Di mana makhluk itu (yaitu seperti raja) butuh kepada orang-orang (para pembantunya) untuk memberitahukan/mentazkiyah orang/rakyat yang datang minta bantuan kepadanya. Karena memang raja tersebut tidak mampu mengetahui keadaan semua rakyatnya. Adapun Allah, maka Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya, tidak butuh kepada seorang pun untuk memberitahukannya. Maka hendaklah seseorang langsung berdo’a kepada Allah tanpa melalui perantara.
Sungguh kesyirikan yang besar apabila seseorang menjadikan perantara antara dirinya dan Allah dalam beribadah/berdo’a kepada-Nya, apakah perantara itu malaikat, nabi, orang shalih atau yang lainnya yang telah meninggal dunia. Seperti datang ke kuburan dan mengatakan kepada orang yang dikubur tersebut, “Ya Syaikh atau Ya Fulan, tolong mintakan kepada Allah agar memberi saya rizki, kesembuhan, naik jabatan dan lain-lainya.”
Hal ini dikatakan syirik karena dia telah berdo’a (meminta) kepada selain Allah yang tidak mampu mengabulkannya kecuali Allah; dan menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Allah membantah orang-orang musyrikin yang menjadikan berhala-berhala yang mereka sembah sebagai perantara atau penolong/pemberi syafa’at untuk mereka di sisi-Nya, dengan firman-Nya,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلاَءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللَّهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ فِي السَّمَوَاتِ وَلاَ فِي الأَرْضِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa`at kepada kami di sisi Allah’. Katakanlah, ‘Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?’. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).” [Yuunus:18]
Dan firman-Nya,
أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” [Az-Zumar:3]
Wallaahu A’lam. Diringkas dari Ziyaaratul Qubuur, karya Ibnu Taimiyyah dengan beberapa tambahan.

Ziarah Kubur antara Syar’i dan Bid’ah

Hukum Berziarah Tahunan yang Terbatas (Waktu dan Tempatnya) ke Sebagian Kuburan
Bukan hanya musik, nyanyian ataupun minuman keras yang digandrungi oleh sebagian kaum muslimin. Akan tetapi mereka pun gandrung kepada yang namanya bid’ah bahkan kesyirikan -dan tentunya semuanya ini adalah kemunkaran yang harus diingkari dan dihilangkan-. Di antara kebid’ahan ataupun kesyirikan yang mereka gandrungi adalah berziarah ke kuburan-kuburan tanpa mengindahkan syarat-syaratnya.
Di antara mereka ada yang bersungguh-sungguh menyengaja mengadakan tour (perjalanan) ke kuburan tertentu bahkan dengan bangga dipasang pengumuman di masjid-masjid “Ikuti Ziarah Kubur ke Syaikh Fulan, dengan biaya perjalanan sekian”. Yang datang ke sana pun macam-macam tujuannya, ada yang ingin cari berkah dari kuburan tersebut (ngalap berkah), cari rizki, cari jodoh, cari ketenaran atau ada juga yang hanya sekedar bermaksiat dengan lawan jenisnya. Suatu perbuatan yang melanggar syari’at, membuang-buang waktu dan harta belaka. Innaa lillaah wa innaa ilaihi raaji’uun.
Sesungguhnya ziarah-ziarah seperti ini apakah tahunan, bulanan ataupun yang sifatnya tertentu dan terbatas (waktu dan tempatnya) ke sebagian kuburan, di mana terjadi padanya berbagai kemunkaran seperti ikhtilath, tarian, ratap tangis dan yang lainnya dari berbagai jenis kemunkaran, tidaklah dibenarkan oleh syari’at sedikit pun, bahkan hal ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (baca: bid’ah), dan peribadatan yang jelek yang Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan akan hal ini.
Adalah wajib bagi orang-orang yang bertanggung jawab (dari kalangan penguasa) semoga Allah memantapkan kita dan mereka di atas Al-Haq- dan ‘ulama semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dan mereka- agar merubah kemunkaran yang jelek seperti ini yang mengajak kepada penghancuran ‘aqidah islamiyyah dari hati-hati kaum muslimin yang laki-laki maupun perempuannya dengan adanya do’a mereka, penyembelihan, nadzar mereka untuk selain Allah dan praktek-praktek kesyirikan yang lainnya, dan juga akan mengajak kepada penghancuran akhlaq islamiyyah yang kuat.
Perbuatan ini dikatakan bid’ah karena mereka mengkhususkan waktu, tempat dan kuburan (tertentu) tanpa dalil syar’i. Dan sungguh terkumpul padanya sebagian kemunkaran-kemunkaran dan kesyirikan-kesyirikan, wal ‘iyaadzu billaah. Macam-macam Ziarah Kubur
Kemudian ketahuilah semoga Allah memberikan taufiq kepadaku dan kepada kalian- bahwasanya ziarah kubur terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Ziarah Syar’i
Yaitu ziarah yang telah disyari’atkan oleh Islam dan harus terpenuhi padanya tiga syarat:
1). Tidak sungguh-sungguh (menyengaja) mengadakan perjalanan kepadanya
Dalilnya adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah kalian bersungguh-sungguh (menyengaja) mengadakan perjalanan kecuali kepada tiga masjid (yaitu): masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” (HR. Al-Bukhariy no.1139 dan Muslim dalam kitab Al-Hajj 2/976 nomor khusus 415 dan ini lafazhnya, dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhariy no.1132 dan Muslim no.1397 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh penafian)
Kita disyari’atkan bersungguh-sungguh dan menyengaja untuk mengadakan perjalanan ke tiga masjid ini karena adanya keutamaan di sana yaitu dilipatkan pahala shalat di tiga masjid tersebut. Seperti shalat di Masjidil Haram maka pahalanya sama dengan 100.000 kali shalat di masjid yang lain selain Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.
Adapun bersungguh-sungguh (menyengaja) mengadakan perjalanan ke selain tiga masjid ini dalam rangka mencari berkah dan keutamaan seperti ke kuburan, maka ini adalah perbuatan bid’ah.
2). Tidak boleh mengatakan perkataan yang keji
Dalilnya adalah hadits dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“(Dulu) Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian.” (HR. Muslim no.977)
Diriwayatkan juga oleh An-Nasa`iy dengan sanad shahih dalam kitab Al-Janaa`iz bab (100) 4/89 dengan lafazh,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا
“… (Dulu) Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) barangsiapa yang ingin berziarah maka berziarahlah dan jangan mengatakan perkataan yang keji.”
Maka perhatikanlah semoga Allah merahmatimu, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari perkataan yang keji dan bathil ketika ziarah kubur, dan ucapan yang mana yang lebih keji dan lebih bathil daripada ucapan seseorang yang berdo’a (meminta) kepada selain Allah dari orang-orang yang telah mati, beristighatsah (meminta pertolongan ketika dalam kesulitan) kepada mereka ataupun ucapan-ucapan syirik lainnya?
Maka tentunya ini, demi Allah, benar-benar kekejian dan kebathilan yang paling puncaknya, akan tetapi perkaranya adalah sebagaimana yang Allah firmankan,
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ayat ini terdapat dalam 11 tempat di dalam Al-Qur`an yaitu, Al-A’raaf:187, Yuusuf:21, 40, 68, An-Nahl:38, Ar-Ruum:6, 30, Saba`:28, 36, Al-Mu`min:57, dan Al-Jaatsiyah:26.
Dan sungguh benar Allah ketika berfirman,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [Yuusuf:106]
3). Tidak boleh mengkhususkan dengan waktu tertentu karena tidak ada dalil yang mengkhususkan
Seperti mengkhususkan hari jum’at, hari raya ataupun hari-hari lainnya, karena tidak ada dalil yang menerangkan hal ini. Bahkan kita dianjurkan ziarah kubur kapan saja tanpa pengkhususan pada hari-hari tertentu. 2. Ziarah Bid’ah
Yaitu ziarah yang tidak terpenuhi padanya satu syarat dari syarat-syarat yang telah disebutkan, apalagi lebih dari satu syarat. Misalnya datang dari jauh-jauh untuk ziarah ke kuburan, atau beribadah kepada Allah di sekitar kuburan dengan anggapan dan perasaan mereka bahwa hal ini lebih mengkhusyu’kan dalam beribadah. Atau mengkhususkan hari-hari tertentu. Semuanya ini adalah perbuatan bid’ah.
3. Ziarah Syirik
Yaitu ziarah di mana pelakunya terjerumus pada salah satu jenis dari jenis-jenis kesyirikan seperti berdo’a (meminta) kepada selain Allah, atau menyembelih untuk mereka, atau bernadzar untuk mereka, atau beristighatsah kepada mereka, atau meminta perlindungan kepada mereka, atau meminta anak, meminta pertolongan, hujan, kesembuhan atau untuk mengalahkan musuh dan menghilangkan kemudharatan/bahaya serta mendatangkan kemanfaatan dan yang lainnya dari jenis-jenis kesyirikan. (Lihat Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah 1/165-166)
Disadur dari Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid hal.192-194.
Sumber :  Bulletin Al-Wala’ Wal Bara’  Edisi ke-31 Tahun ke-3 / 01 Juli 2005 M / 23 Jumadil Ula 1426 H

Hukum Shalat dan Berdoa di Kuburan

Posted: 8 Oktober 2011 in Seputar Kubur, Tawasul, Syirik, Perkara Jahiliyah

[Diangkat dari tesis kami yang berjudul Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-’Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islam minhâ (hal. 974-990)]
“RIWAS (Ritual Ziarah Wali Songo)” sebuah istilah yang amat familiar di telinga sebagian kalangan. Mereka seakan mengharuskan diri untuk melakukannya, minimal sekali setahun. Apapun dilakukan demi mengumpulkan biaya perjalanan tersebut. Manakala ditanya, apa yang dilakukan di sana? Amat beragam jawaban mereka. Ada yang ingin shalat, berdoa untuk kenaikan pangkat, kelancaran rezeki atau agar dikaruniai keturunan dan lain-lain.
Kepada siapa meminta? Ada yang terang-terangan meminta kepada mbah wali. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa ia tetap meminta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, tapi supaya cepat dikabulkan mereka sengaja memilih makam orang-orang ‘linuwih’ tersebut.
Yang akan dibahas dalam tulisan sederhana berikut bukan hukum ziarah kubur. Karena itu telah maklum disunnahkan dalam ajaran Islam, jika sesuai dengan adab-adab yang digariskan. Namun, yang akan dicermati di sini adalah: hukum shalat di kuburan dan berdoa di sana. Semoga paparan berikut bermanfaat!
PERTAMA: SHALAT DI KUBURAN
Shalat di kuburan hukumnya haram, bahkan sebagian ulama mengategorikannya dosa besar.[1] Praktik ini bisa mengantarkan kepada perbuatan syirik dan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena itulah, agama kita melarang praktik tersebut. Amat banyak nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan hal tersebut. Di antaranya:
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا

Janganlah duduk di atas kuburan dan jangan shalat menghadapnya. (H.R. Muslim (II/668 no. 972) dari Abu Martsad radhiallahu ‘anhu)
Imam Nawawi rahimahullah (w. 676 H) menyimpulkan, “Hadits ini menegaskan terlarangnya shalat menghadap ke arah kuburan. Imam Syâfi’i rahimahullah mengatakan, ‘Aku membenci tindakan pengagungan makhluk hingga kuburannya dijadikan masjid. Khawatir mengakibatkan fitnah atas dia dan orang-orang sesudahnya.”[2]
Al-‘Allâmah al-Munawy rahimahullah (w. 1031 H) menambahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan; dalam rangka mengingatkan umatnya agar tidak mengagungkan kuburannya, atau kuburan para wali selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, bisa jadi mereka akan berlebihan hingga menyembahnya.”[3]
Berdasarkan hukum asal, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang hukumnya adalah haram. Demikian keterangan dari Imam ash-Shan’any rahimahullah (w. 1182 H).[4]
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan. (H.R. Bukhâri (I/528-529 no. 432) dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma)
Hadits ini menerangkan agar rumah jangan dikosongkan dari shalat, sebab rumah yang tidak dipakai untuk shalat, terutama shalat sunnah, bagaikan kuburan yang memang bukan tempat untuk shalat.
Imam al-Baghawy rahimahullah (w. 510 H), setelah membawakan hadits di atas, menyimpulkan, “Hadits ini menunjukkan, bahwa kuburan bukanlah tempat untuk shalat.”[5]
Kesimpulan serupa juga disampaikan oleh Ibn Batthal rahimahullah (w. 449 H)[6] dan Ibn Rajab rahimahullah (w. 795 H).[7]
Ibnu Hajar al-‘Asqalany rahimahullah (w. 852 H) menyimpulkan lebih luas lagi. Kata beliau rahimahullah, “Kuburan bukanlah tempat untuk beribadah.”[8]
Sabda Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ

Bumi seluruhnya adalah masjid (tempat untuk shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi. (H.R. Ahmad (XVIII/312 no. 11788) dari Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu. Sanadnya dinilai kuat oleh al-Hâkim[9], Ibnu Taimiyyah rahimahullah [10] dan al-Albâni.[11]
Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (w. 620 H) menjelaskan, bahwa bumi secara keseluruhan bisa menjadi tempat shalat kecuali tempat-tempat yang terlarang untuk shalat di dalamnya, seperti kuburan. [12]
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah[13] dan al-Hâfizh al-‘Iraqi rahimahullah (w. 806 H) [14].
4. Doa Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah. Allâh sangat murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka masjid. [15]
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah (w. 463 H) menerangkan, “Dahulu orang Arab shalat menghadap berhala dan menyembahnya. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa khawatir umatnya akan melakukan apa yang dilakukan umat sebelum mereka. Biasanya, jika nabi mereka wafat, mereka akan berdiam di sekeliling kuburannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap berhala. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allâh, janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang disembah”, dengan bershalat menghadap kepadanya, sujud ke arahnya dan menyembah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala sangat murka atas orang yang melakukan hal itu.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan para sahabat dan umatnya agar tidak terjerumus kepada perilaku buruk kaum terdahulu. Mereka shalat menghadap kuburan para nabi dan menjadikannya sebagai kiblat dan masjid. Sebagaimana praktik para pemuja berhala terhadap berhala mereka. Ini merupakan syirik akbar![16]
5.  Hadits-hadits yang berisikan larangan untuk menjadikan kuburan sebagai masjid. Di antaranya yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

Semoga Allâh membinasakan kaum Yahudi. Mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. (H.R. Bukhari (I/531 no. 437) dan Muslim (I/376 no. 530) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah menuturkan, bahwa hadits di atas mengandung “larangan untuk sujud di atas kuburan para nabi. Semakna dengan itu juga haramnya sujud kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Hadits ini juga bisa diartikan larangan untuk menjadikan kuburan para nabi sebagai kiblat shalat. Setiap makna dalam bahasa Arab yang terkandung dalam hadits ini; maka itu termasuk perbuatan yang terlarang.”[17]
Setelah membawakan salah satu hadits yang berisikan larangan membangun masjid di atas kuburan, Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah (w. 804 H) berkata, “Hadits ini dalil dibencinya shalat di kuburan … Baik shalat di atasnya, di sampingnya atau menghadap ke arahnya. Tidak ada bedanya, semuanya dibenci (agama).”[18]
Hikmah di balik terlarangnya shalat di kuburan.
Para ulama Islam sepakat, bahwa menyengaja shalat di kuburan adalah terlarang.[19] Tidak ada yang membolehkannya, apalagi menganjurkannya. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam menentukan ‘illah (sebab) terlarangnya perbuatan tersebut;[20]
Sebagian ulama memandang, bahwa sebabnya adalah karena kuburan identik dengan najis. Sebab tanahnya bercampur dengan nanah bangkai manusia.
Adapun ulama lainnya berpendapat, bahwa sebabnya adalah karena kekhawatiran akan terjerumusnya umat ini ke dalam kesyirikan.
Di antara yang memilih pendapat kedua ini: Abu Bakr al-Atsram (w. 273)[21], al-Mawardy (w. 450 H)[22], Ibn Qudamah[23], Ibn Taimiyyah (w. 728 H)[24], as-Suyuthy (w. 911 H)[25] dan yang lainnya.
Setelah menjelaskan bahwa maksud utama dilarangnya shalat di kuburan adalah karena dikhawatirkan akan mengakibatkan tindak menjadikan kuburan sebagai berhala, Imam as-Suyuthy memperjelas, “Inilah sebab mengapa syariat melarang perbuatan tersebut. Dan ini pula yang menjerumuskan banyak orang terdahulu ke dalam syirik akbar atau di bawahnya.
Tidak jarang engkau dapatkan banyak kalangan sesat yang amat merendahkan diri di kuburan orang salih, khusyu’, tunduk dan menyembah mereka dengan hati. Bentuk peribadahan yang tidak pernah mereka lakukan, sekalipun di rumah-rumah Allâh; masjid! …
Inilah mafsadah yang sumbernya dicegah oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Hingga beliau melarang secara mutlak shalat di kuburan, sekalipun tujuannya bukan untuk mencari berkah tempat tersebut. Demi menutup pintu yang menghantarkan kepada kerusakan pemicu disembahnya berhala.”[26]
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan adalah karena kuburan tempat yang najis, maka ini kurang pas dan tidak didukung oleh nash. Imam Ibn al-Qayyim (w. 751 H) telah berpanjang lebar dalam menjelaskan hal itu. Di antara argumen yang beliau paparkan:
Seluruh hadits yang berisikan larangan shalat di kuburan tidak membedakan antara kuburan yang baru maupun kuburan lama yang digali kembali.
Tempat masjid Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dahulunya adalah kuburan kaum musyrikin. Sebelum dibangun masjid di atasnya, beliau memerintahkan agar kuburan tersebut digali lalu tanahnya diratakan kembali. Dan beliau tidak menyuruh supaya tanahnya dipindahkan. Bahkan setelah diratakan, langsung dipakai untuk shalat.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melaknat kaum Yahudi dan Nasrani lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid. Telah maklum dengan jelas bahwa larangan itu bukan karena najis, karena jika demikian niscaya larangan tersebut tidak khusus untuk kuburan para nabi. Apalagi kuburan mereka adalah tempat yang suci, dan tidak mungkin dianggap najis, karena Allâh melarang bumi untuk memakan jasad mereka.[27]
Berbagai jenis orang yang shalat di kuburan dan hukum masing-masing:
Pertama: Orang yang shalat di kuburan dengan tujuan mempersembahkan shalatnya untuk sahibul kubur.
Ini jelas masuk dalam kategori syirik akbar; karena ia telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala menegaskan,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Artinya: “Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allâh. Maka janganlah kalian menyembah apa pun selain Allâh.” Q.S. Al-Jinn: 18.
Kedua: Shalat di kuburan dengan tujuan ber-tabaruk dengan tempat tertentu darinya.
Ini termasuk bid’ah yang mungkar dan penyimpangan dari ajaran Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Baik kuburan tersebut berada di arah kiblatnya maupun tidak, karena itu termasuk mengada-ada dalam praktik beribadah.
As-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak dizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[28]
Ibn Hajar al-Haitamy (w. 974 H)[29] , al-Munawy[30] dan ar-Rumy (w. 1043 H)[31] juga menyampaikan keterangan senada.
Ketiga: Shalat di kuburan tanpa di sengaja, hanya karena kebetulan bertepatan dengan masuknya waktu shalat. Tanpa ada tujuan ngalap berkah darinya atau mempersembahkan ibadah untuk selain Allâh.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.[32] Namun, yang lebih kuat adalah pendapat yang melarang, karena larangan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersifat umum serta demi menutup rapat pintu yang menghantar kepada kesyirikan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana dijelaskan Imam Ibn al-Mundzir (w. 319 H).[33]
Keempat: Shalat di kuburan dengan tujuan shalat jenazah.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu berikut menunjukkan bolehnya hal itu,

أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَوْ شَابًّا، فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ، فَقَالُوا: “مَاتَ”. قَالَ: “أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي؟”. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ. فَقَالَ: “دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ!”. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَ: “إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ”.

“Dikisahkan seorang wanita hitam atau pemuda biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
‘Dia sudah meninggal’ jawab para sahabat.
‘Mengapa kalian tidak memberitahuku?’
Mereka seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut.
Beliau berkata, ‘Tunjukkan padaku di mana kuburannya?’
Setelah ditunjukkan beliau shalat atasnya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku shalat atas mereka.’” H.R. Bukhari (I/551 no. 438) dan Muslim (II/659 no. 956) dengan redaksi Muslim.
POIN KEDUA: BERDOA DI KUBURAN
Sebagaimana telah maklum bahwa doa merupakan salah satu ibadah yang amat agung dalam agama Islam. Allâh telah memotivasi umat manusia untuk memohon pada-Nya dan berjanji untuk mengabulkan permohonan mereka. Namun di lain sisi, Dia telah mensyariatkan berbagai adab dalam berdoa. Di antaranya: menentukan tempat dan waktu pilihan, yang lebih mustajab.
Namun, setan berusaha menyesatkan para hamba dengan mengiming-imingi mereka tempat dan waktu yang diklaim mustajab, padahal tak ada petunjuk agama tentangnya. Tidak sedikit manusia yang terjerat ranjau tersebut. Sehingga mereka lebih memilih berdoa di kuburan dan tempat-tempat keramat, dibanding berdoa di masjid. Lebih parah lagi, ada yang begitu khusyu’ menghiba dan memohon kepada sahibul kubur! Alih-alih mendoakan si mayit, malah berdoa kepadanya!
Dalil yang menunjukkan bid’ahnya menyengaja berdoa di kuburan untuk diri peziarah:
Pertama: Doa merupakan salah satu ibadah mulia, dan sebagaimana telah maklum bahwa ibadah apapun tidak akan diterima Allâh kecuali jika memenuhi dua syarat; ikhlas dan mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.
Andaikan berdoa di kuburan merupakan ibadah, mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengajarkannya kepada umat? Kenapa pula para salafus salih tidak mempraktikkannya? Tidak ada dalil dari Alquran, maupun hadits sahih yang menunjukkan bahwa kuburan merupakan tempat favorit untuk berdoa. Ditambah dengan begitu banyaknya kitab yang ditulis para ulama guna menjelaskan adab berdoa, tidak ada satupun di antara salafus salih dan ulama yang mu’tabar yang mengatakan disyariatkannya berdoa di kuburan.
Ini menunjukkan bahwa praktik tersebut adalah bid’ah. Andaikan itu baik, niscaya mereka ada di garda terdepan dalam mempraktikkannya.
Kedua: Usaha para sahabat untuk melarang praktik doa di kuburan dan segala sesuatu yang bisa mengantarkan ke sana. Berikut fakta nyatanya:
a. Para sahabat “ketika menaklukkan negeri Syam, Irak dan yang lainnya, jika menemukan kuburan yang dituju orang-orang untuk berdoa di situ, mereka akan menutupnya.”[34]
b. Para sahabat ketika menaklukkan Baitul Maqdis, mereka tidak bergegas untuk menuju makam Nabi Ibrahim ‘alaihiwssalam atau nabi lainnya, guna berdoa atau shalat di situ. Begitu pula para ulama salaf sesudah mereka berbuat. Imam Ibn Waddhah (w. 286 H) menerangkan, Sufyan ats-Tsaury (w. 161 H) jika masuk masjid Baitul Maqdis, beliau shalat di dalamnya. Dan beliau tidak menuju situs-situs itu ataupun shalat di sana. Begitu pula praktik para imam panutan selain beliau. Waki’ (w. 197 H) juga pernah mendatangi Masjid Baitul Maqdis, dan yang dilakukannya tidak lebih dari apa yang dilakukan Sufyan. Hendaklah kalian mengikuti para imam yang telah makruf. Orang terdahulu bertutur, “Betapa banyak praktik yang hari ini dianggap biasa, padahal dahulu dinilai mungkar. Disukai, padahal dulu dibenci. Dianggap taqarrub, padahal justru sejatinya menjauhkan (pelakunya dari Allâh). Setiap bid’ah selalu ada yang menghiasinya.”[35]
c. Para sahabat ketika menaklukkan kota Tustur dan mendapatkan jasad Nabi Danial ‘alaihissalam, mereka menggali tiga belas liang kubur di berbagai tempat, lalu memakamkan Danial di salah satunya di malam hari. Setelah itu seluruh kuburan tersebut disamakan, agar orang-orang tidak tahu manakah makam beliau.[36]
Ketiga: Para ulama salaf membenci tindak menyengaja berdoa di kuburan dan menilainya sebagai bentuk bid’ah. Berikut buktinya:
a. Diriwayatkan bahwa suatu hari Zainal Abidin (w. 93 H) melihat seseorang masuk ke salah satu pojok di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam lalu berdoa di situ. Zainal Abidin pun memanggilnya seraya berkata, “Maukah kuberitahukan padamu suatu hadits yang aku dengar dari bapakku,  dari kakekku, dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam? Beliau bersabda, “Janganlah kalian jadikan kuburanku ‘ied (tempat yang dikunjungi rutin secara berkala) dan rumah kalian kuburan. Bershalawatlah untukku, sesungguhnya shalawat dan salam kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada”.[37]
b. Suhail bercerita bahwa di suatu kesempatan ia datang ke makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam pada beliau. Saat itu al-Hasan bin al-Hasan (w. 97 H) sedang makan di salah satu rumah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau memanggilku dan menawariku makan. Namun aku tidak makan. Beliau bertanya, “Mengapa aku tadi melihatmu berdiri?”. “Aku berdiri untuk mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam” jawabku. Beliau menimpali, “Jika engkau masuk masjid, ucapkanlah salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Sesungguhnya beliau telah bersabda, “Shalatlah di rumah dan jangan kalian jadikan rumah seperti kuburan. Allâh melaknat kaum Yahudi, lantaran mereka menjadikan kuburan para nabi mereka menjadi masjid. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai padaku di manapun kalian berada.”[38]
Dua atsar di atas menunjukkan bahwa menyengaja memilih makam Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sebagai tempat berdoa, termasuk tindak menjadikannya sebagai ‘ied. Dan ini terlarang. Cermatilah bagaimana tabi’in paling afdhal dari kalangan Ahlul Bait; Zainal Abidin, melarang orang yang menyengaja berdoa di makam Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam, dan berdalil dengan hadits yang ia dengar dari bapaknya dari kakeknya. Beliau tentu lebih paham akan makna hadits tersebut, dibanding orang lain. Begitu pula keponakannya; al-Hasan bin al-Hasan; salah satu pemuka Ahlul Bait memahami hal serupa.
Keterangan di atas bersumber dari Ahlul Bait dan penduduk kota Madinah. Nasab dan tempat tinggal mereka lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Mereka jelas lebih cermat dalam memahami permasalahan ini, karena mereka lebih membutuhkan ilmu tentang itu dibanding yang lainnya.[39]
c. Di antara fakta yang menunjukkan bahwa ulama salaf menilai tindak menyengaja berdoa di kuburan termasuk bid’ah, mereka telah menyatakan bahwa jika seseorang telah mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam di makamnya lalu ingin untuk berdoa untuk dirinya sendiri, hendaklah ia berpaling dan menghadap kiblat serta tidak menghadap makam beliau. Dan ini merupakan pendapat empat imam mazhab dan ulama Islam lainnya.[40]
Padahal Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mulia. Bagaimana halnya dengan makam selain beliau yang kemuliaannya jauh di bawah beliau??!
Abul Hasan az-Za’farany (w. 517 H) menerangkan, “Barangsiapa bermaksud mengucapkan salam kepada mayit, hendaklah ia mengucapkannya sambil menghadap ke kuburan. Jika ia ingin berdoa hedaklah berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat.”[41]
Keempat: Sebagaimana telah dijelaskan di depan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melarang shalat di kuburan atau menghadap ke arahnya. Hikmahnya agar orang tidak terfitnah dengan kuburan. Doa di kuburan lebih pantas untuk dilarang, sebab peluang untuk menimbulkan fitnahnya lebih besar.
Orang yang berdoa di kuburan dalam keadaan terpepet karena dililit masalah besar dan begitu berharap untuk dikabulkan, lebih besar peluangnya untuk terfitnah kuburan, dibanding orang yang shalat di situ dalam keadaan sehat wal afiat. Karena itu harus lebih dilarang agar orang tidak terjerumus ke dalam penyimpangan.[42]
Kelima: Di antara kaidah syariat yang telah disepakati para ulama; kaidah saddu adz-dzarâ’i’ (mencegah timbulnya kerusakan dengan menutup pintu yang menghantarkan kepadanya). Dan berdoa di kuburan sebagaimana telah maklum bisa mengantarkan kepada tindak memohon kepada sahibul kubur, dan ini merupakan kesyirikan. Jadi pintu yang menghantarkan ke sana harus ditutup rapat-rapat.[43]
Berbagai jenis orang yang berdoa di kuburan dan hukum masing-masing:
Doa di kuburan ada beberapa jenis:
Pertama: Doa untuk meminta hajat kepada sahibul kubur, entah itu nabi, wali atau yang lainnya. Ini jelas syirik akbar. Allâh Ta’ala memerintahkan,

وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ

Artinya: “Mohonlah pada Allâh sebagian dari karunia-Nya.” Q.S. An-Nisa’: 32.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mewanti-wanti,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه

Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allâh. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allâh.” H.R. Tirmidzi (hal. 566 no. 2514 dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”.
Imam Ibn Abdil Hadi (w. 744 H) menerangkan bahwa berdoa memohon kepada selain Allâh hukumnya adalah haram dan dikategorikan syirik, berdasarkan ijma’ para ulama.[44]
Kedua: Menyengaja datang ke kuburan hanya untuk berdoa di situ, atau untuk ziarah kubur plus berdoa, dengan keyakinan bahwa doa di situ lebih mustajab, karena keistimewaan yang dimiliki tempat tersebut. Berdoa di situ lebih afdal dibanding berdoa di masjid atau rumah.
Potret ini mengandung unsur kesengajaan memilih kuburan sebagai tempat untuk berdoa. Dan ini tidak akan dilakukan melainkan karena dorongan keyakinan akan keistimewaan tempat tersebut dan keyakinan bahwa tempat itu memiliki peran dalam menjadikan doa lebih mustajab. Karena itulah jenis kedua ini menjadi terlarang dan dikategorikan bid’ah.
Tatkala berbicara tentang hukum shalat di kuburan, Imam as-Suyuthy menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan Allâh, Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan sunnah beliau.”[45]
Ketiga: Berdoa di kuburan karena kebetulan, tanpa menyengaja. Seperti orang yang berdoa kepada Allâh di perjalanannya dan kebetulan melewati kuburan. Atau orang yang berziarah kubur terus mengucapkan salam kepada sahibul kubur, meminta keselamatan untuk dirinya dan para penghuni kubur, sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Jenis doa seperti ini diperbolehkan. Hadits yang memotivasi untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur menunjukkan bolehnya hal itu.
Dalam hadits Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu ’anhu disebutkan,

أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ

Aku memohon pada Allâh keselamatan untuk kami dan kalian.” H.R. Muslim (II/671 no. 975).
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu ’anha disebutkan,

وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ

Semoga Allâh merahmati orang-orang terdahulu kami dan yang akan datang.” H.R. Muslim (II/671 no. 974).
Doa yang tidak ada unsur kesengajaan biasanya pendek, sebagaimana disebutkan dalam dua hadits di atas.
Jika ada yang ingin mempraktikkan doa jenis ketiga ini, sebaiknya ia mencukupkan diri dengan doa dan salam yang diajarkan dalam sunnah dan tidak menambah-nambahinya. Karena para ulama salaf membenci berdiam lama di kuburan.
Imam Malik (w. 179 H) berkata, “Aku memandang tidak boleh berdiri untuk berdoa di kuburan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun cukup mengucapkan salam lalu berlalu.”[46]
Wallahu ta’ala a’lam.
Pesantren “Tunas Ilmu” Purbalingga, Rabu, 25 Mei 2011.
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.tunasilmu.com

[1] Lihat: Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir karya Ibn Hajar al-Haitamy (I/148).
[2] Syarh Shahîh Muslim (VII/42).
[3] Faidh al-Qadîr (VI/318).
[4] Lihat: Subul as-Salâm (I/403).
[5] Syarh as-Sunnah (II/411).
[6] Lihat: Syarh Shahih al-Bukhary (II/86).
[7] Lihat: Fath al-Bary karya Ibn Rajab (III/232).
[8] Fathul Bâri karya beliau (I/528).
[9] Al-Mustadrak (I/251).
[10] Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/189).
[11] Irwâ’ al-Ghalîl (I/320).
[12] Lihat: Al-Mughny (II/472).
[13] Cermati: Syarah Shahîh Muslim (V/5).
[14] Sebagaimana dinukil oleh al-Munawy dalam Faidh al-Qadîr (III/349).
[15] H.R. Malik dalam al-Muwattha’ (II/72 no. 452) dari ‘Atha’ bin Yasar rahimahullah. Hadits ini mursal sahih. Dalam Musnadnya (I/220 no. 440 –Kasyf al-Astâr) al-Bazzar menyambung sanad hadits ini hingga menjadi marfû’. Begitu pula Ibn ‘Abd al-Barr dalam at-Tamhîd (V/42-43) menyambungnya dari jalan al-Bazzar. Syaikh al-Albany menyatakan hadits ini sahih dalam Tahdzîr as-Sâjid (hal. 25 no. 11) dan Ahkâm al-Janâ’iz (hal. 217).
[16] At-Tamhîd (V/45).
[17] At-Tamhîd (VI/383).
[18] Al-I’lâm bi Fawâ’id ‘Umdah al-Ahkâm (IV/502).
[19] Cermati: Majmû’ Fatâwâ Ibn Taimiyyah (XXVII/488).
[20] Lihat: Al-Hâwiy al-Kabîr karya al-Mawardy (III/60), Radd al-Muhtâr karya Ibn ‘Abidin (II/42-43) dan Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190).
[21] Sebagaimana dinukil Ibn al-Qayyim dalam Ighâtsah al-Lahfân (I/357).
[22] Periksa: Al-Hâwiy al-Kabîr (III/60).
[23] Cermati: Al-Mughny (II/473-474 dan III/441).
[24] Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/190-191).
[25] Baca: Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 136-139).
[26] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 136-139).
[27] Lihat: Ighâtsah al-Lahfân (II/353-356). Masih ada argumen lain, bisa dibaca di Mujânabah Ahl ats-Tsubûr al-Mushallîn fî al-Masyâhid wa ‘inda al-Qubûr karya Abdul Aziz ar-Rajihy (hal. 28-30).
[28] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[29] Cermati: Az-Zawâjir (I/148).
[30] Periksa: Faidh al-Qadîr (VI/407).
[31] Lihat: Majâlis al-Abrâr (hal. 126, 358-359, 364-365) sebagaimana dalam Juhûd ‘Ulamâ’ al-Hanafiyyah fî Ibthâl ‘Aqâ’id al-Quburiyyah karya Syamsuddin al-Afghany (III/1593-1594).
[32] Untuk mengetahui pendapat mereka, baca; untuk referensi Madzhab Hanafi: Al-Ikhtiyâr li Ta’lîl al-Mukhtâr karya al-Mushily (I/97), Hasyiyah Ibn ‘Âbidîn (I/380), Badâ’i’ ash-Shanâ’i’ karya al-Kasany (I/335-336) dan al-Mabsûth karya as-Sarkhasy (I/206-207). Madzhab Maliki: Al-Mudawwanah karya Abu al-Walid Ibn Rusyd (I/182) dan Mawâhib al-Jalîl karya al-Hathab (II/63-64). Madzhab Syafi’i: Al-Umm karya Imam Syafi’i (II/632), al-Muhadzab karya asy-Syirazy (I/215-216) dan al-Majmû’ karya an-Nawawy (III/163-165). Madzhab Hambali: Al-Mughny karya Ibn Qudamah (II/473-474), al-Inshâf karya al-Mardawy (I/489) dan ar-Raudh al-Murbi’ karya Ibn al-Qasim (I/537). Madzhab Dzahiri: Al-Muhallâ karya Ibn Hazm (IV/27-33).
[33] Cermati: Al-Ausath (V/185).
[34] Minhâj as-Sunnah karya Ibn Taimiyyah (II/438). Lihat: Ibid (I/480-481).
[35] Al-Bida’ wa an-Nahy ‘anhâ (hal. 50).
[36] Kisah tersebut disebutkan oleh Ishaq dalam Sirahnya riwayat Yunus bin Bukair (hal. 49). Juga disebutkan Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah dan beliau menyatakan bahwa sanadnya hingga Abu al-‘Aliyah sahih. Lalu beliau menyebutkan jalur-jalur periwayatan lain yang mengindikasikan bahwa kejadian tersebut benar adanya. Periksa: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/376-379), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/199-200) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/377).
[37] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (V/177-178 no. 7624) dan ini adalah redaksi beliau. Juga diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 35 no. 20) dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (I/361 no. 469). Ibn Abdil Hadi dalam ash-Shârim al-Munky (hal. 468) berkata, “Kisah tersebut diriwayatkan Abu Ya’la dan al-Hafizh Abu Abdillah al-Maqdisy dalam al-Ahadîts al-Mukhtârah. Ini merupakan hadits yang mahfûzh dari Ali bin al-Husain Zainal Abidin dan memilik banyak syawâhid (riwayat penguat)”. Syaikh al-Albany menilainya sahih. Lihat: Fadhl ash-Shalat (hal. 36).
[38] Diriwayatkan oleh Isma’il al-Qadhy dalam Fadhl ash-Shalat (hal. 40 no. 30) dan ini adalah redaksi beliau. Diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (III/577 no. 6726) dan Ibn Abi Syaibah al-Mushannaf (V/178 no. 7625). Dua atsar di atas memiliki syâhid dari hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Abu Dawud (II/366 no. 2042) dan Ahmad (XIV/403 no. 8804). Dalam al-Adzkâr (hal. 173) Imam Nawawy menilai sanad hadits Abu Hurairah sahih dan diamini as-Sakhawy dalam al-Qaul al-Badî’ (hal. 312). Ibn Taimiyyah dalam ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy (hal. 92) dan Ibn Hajar sebagaimana dalam al-Futûhât ar-Rabbâniyyah (III/313) menyatakannya hasan. Adapun Ibn Abdil Hadi dan al-Albany menilainya sahih. Lihat: Ash-Shârim al-Munky (hal. 490) dan Shahîh al-Jâmi’ (II/706 no. 3785).
[39] Periksa: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/245) dan Ighâtsah al-Lahfân (I/362).
[40] Cermati: Al-Majmû’ (V/286), Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/239), Ighâtsah al-Lahfân (I/374) dan ad-Du’â’ wa Manzilatuh min al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah karya Jailan al-‘Arusy (II/614-616).
[41] Sebagaimana dinukil an-Nawawy dalam al-Majmû’ (V/286).
[42] Lihat: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/196-197).
[43] Baca: Minhâj as-Sunnah (II/439-440), Ighâtsah al-Lahfân (I/396, 398) dan ad-Du’â’ wa Manzilatuh (II/483-484).
[44] Cermati: Ash-Shârim al-Munky (hal. 543) dan Shiyânah al-Insân karya as-Sahsawany (hal. 234).
[45] Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).
[46] Asy-Syifâ’ karya al-Qadhi ‘Iyadh (II/85).