Selasa, 18 Desember 2012

Muslim Inggris Tolak Debat Teori Evolusi

Selasa, 18 Desember 2012, 03:11 WIB

Muslim Inggris Tolak Debat Teori EvolusiREPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah debat tentang teori evolusi bakal digelar Institute Deen, London, awal tahun depan. Rencana itu segera memicu kontroversi.

Debat bertajuk Islam and Evolution itu sendiri sedianya digelar Sabtu (15/12) kemarin. Namun, karena alasan keamanan, penyelenggaraan debat itu ditunda awal tahun Depan. Menurut rencana, acara debat itu akan mengundang Harun Yahya (Teolog Turki), Sheikh Yasir Qadhi, (Ulama pendukung teori evolusi), serta Ehab Abouheif dan Fatimah Jackson (dua ilmuwan biologi).

Pendiri Institute Deen, Adam Deen mengatakan debat ini merupakan kesempatan bagi dunia Islam untuk memandang masalah itu dengan mengedepankan dua hal penting, yakni sains dan agama. "Selama ini, seperti ada gerakan mafia intelektual yang tidak mengizinkan kebebasan berpikir," kata dia seperti dikutip the independent, Senin (17/12).

Deen, yang menggambarkan dirinya sebagai muslim konservatif, menyatakan tidak seharusnya umat Islam menghindari debat seperti ini. Karena, pada dasarnya debat ini mendorong pemikiran kritis yang selanjutnya membuka tabir misteri awal terciptanya kehidupan.

Amina Crashaw, mahasiswi muslim, menilai acara debat ini merupakan kesempatan baginya untuk memahami apa yang dikatakan dalam Alquran. "Memang bukan fakta baru, tapi aku mendapatkan kedalaman baru," kata dia.

Pendiri Islamic Channel, Mohammad Ali Harrath, menilai perdebatan ini merupakan sebuah kesalahan besar karena akan membuat masalah evolusi menjadi isu Muslim ketimbang masalah antara kelompok atheis dan kreasionis. Hal senada juga diutarakan, Zeshan Sasjid.
Menurut dia, teori evolusi tidak Islami. "Nabi Adam tidak memiliki orang tua. Jadi, seharusnya umat Islam tidak perlu percaya dengan teori evolusi," kata dia.

Redaktur: Dewi Mardiani
Reporter: Agung Sasongko
 
 

Menikmati Beribadah

Menikmati BeribadahOleh: Ustaz HM Arifin Ilham
Kamis, 29 November 2012, 23:59 WIB

Hakikat ibadah yang diterima hanya Allah yang mengetahui. Namun, hal itu bisa dinilai dengan sesuatu yang nampak dari ibadahnya. Di antaranya, "hubbul ibadah", sangat senang beribadah.

Muazin baru saja melewati rumahnya, artinya azan belum sama sekali dikeraskan, hatinya terliputi bahagia. Apalagi ketika azan sudah dikumandangkan. Dirinya sudah memastikan berada di barisan shaf shalat terdepan, dan lisannya terus menjawab setiap bait-bait azan.

Inilah tanda kedua yaitu "intizharul awqat", merindukan dan menanti-nanti waktu ibadah. Wajahnya memancar aura cemas, yaitu takut ketinggalan apalagi sampai meninggalkannya.

Seperti semalam dirinya ketiduran, karena lelah yang hebat, sehingga tahajud menjadi terlalaikan. Maka pagi hari, wajah ketidaknyamanan menyebar pada aktivitas hariannya. Sering murung dan selalu komat-kamit beristighfar. Padahal, dirinya sudah merangkai shalat Dhuha dengan mengqadha tahajud.

Berikutnya, berusaha maksimal untuk mempelajari kualitas ibadah yakni tercapainya kekhusyukan dan keikhlasan. Ada kesungguhan dalam menyempurnakan kekurangan ilmu dan bersegera menerapkannya berulang-ulang. Baik dalam prosesi ibadah maupun penerjemahannya dalam amaliyah harian.

Dalam shalat, ia bermujahadah, tunduk, pasrah bersedekap, merendahkan bacaan dan diam tumakninah (QS Thaha: 108). Di luar shalat, memancar kearifan dengan menyibukkan diri dalam muhasabah (introspeksi).

Tanda lain bisa dilihat dari kegemarannya yang tidak putus dalam berdoa. Selalu dalam setiap selesai shalat, terdengar doa-doa permohonan agar dimaafkan segala kekurangan, kesalahan dan diterima semua ibadah.

Dirinya telah memutus kebiasaan selesai shalat meninggalkan tempat (kabur). Sekarang, dirinya terlihat sangat menikmati saat berzikir dan munajat seusai shalat. Di tangannya tasbih terus melingkar.

Di akhir doa, dia merapatkan dahinya pada alas sejadah. Tersungkur dan menangis, bahkan hingga membengkak kedua kakinya (QS Maryam [19]: 58). Menangis karena rasa syukur bisa menikmati ibadah sekaligus rasa takut dengan azab Allah baik di dunia atau di akhirat kelak.

Rumah tangga yang dijalin terlihat “sakkanun”, sangat damai dan tidak beriak. Wajah suami-istri dan anak-anak sumringah bahagia. Santun dan penuh khidmat baik pada keluarga maupun pada lingkungan dan tetangganya. Bahkan, sangat senang untuk berkumpul dalam lingkungan yang sama yang berbalut semangat ibadah dan dakwah.

Subhanallah. Menyenangkan dan menenangkan. Begitulah seharusnya efek dari menikmati ibadah. Tentu kita tidak mau ibadah yang kita senangi ini akan menjadi shalat yang hanya tinggal gerak badan tanpa getar hati.

Ibadah haji dan umrah hanya menjadi salah satu di antara tujuan wisata. Baitullah hanya tampak sebagai seonggok batu dari zaman purba; tidak berbeda dengan Tembok Cina atau Menara Pisa. Zakat dikeluarkan sama beratnya dengan pajak. Dan puasa menjadi rangkaian upacara kesalehan yang lewat begitu saja setelah usai Ramadhan.

Sekali lagi, nikmati keadaan ibadah saudara, dengan hati dan diniati mencari kebaikan semata-mata hanya ridha Allah yang menjadi tujuannya.

Keistimewaan Sirah Nabi SAW

Sabtu, 01 Desember 2012, 14:01 WIB

Keistimewaan Sirah Nabi SAWOleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Tidak satu pun anak manusia yang biografi dan sejarahnya dikupas secara detail, komplet, menyeluruh dan transparan melebihi sosok Muhammad SAW.

Kisah tokoh yang satu ini ditulis oleh setiap generasi manusia dari masa ke masa dengan pendekatan yang berbeda-beda, sehingga tulisan mengenai dirinya terus hidup dan berkembang, tak lekang oleh zaman dan tak tergilas waktu.

Sirah Nabi SAW adalah sejarah hidup (living model) yang menggambarkan kepribadian Muhammad SAW secara utuh dan menyeluruh. Sirah bukan sekedar biografi dan sejarah karena penulisannya didasarkan pada periwayatan sumber-sumber otentik.

Sirah lebih obyektif dari penulisan biografi dan sejarah, sebab ditulis sesuai dengan realitanya tanpa penyembunyian dan pengurangan informasi sedikit pun.

Kegiatan Nabi SAW dalam bentuk shalat, zakat, puasa, haji, jihad, pergaulanya dengan keluarga dan masyarakat luas dengan mudah dapat ditemui di berbagai buku Sirah. Masa lahir, anak-anak, remaja, dewasa, menikah hingga meninggal menjadi perhatian Sirah.

Aisyah RA berkata, "Jika Muhammad itu menyembunyikan sesuatu (dari Allah), maka ia pasti akan sembunyikan ayat ini (QS. Al-Ahzab: 37, perintah menikahi Zaenab Jahsyi)."

Hal tersebut karena Nabi SAW harus mengubah tradisi pernikahan kaum Jahiliyah dan menghadapi tuduhan-tuduhan mereka karena menikahi mantan istri anak angkat yang menjadi pantangan di kalangan mereka.

Namun, Allah SWT memerintahkan Nabi SAW melakukannya untuk menegaskan berlakunya hukum bahwa menikahi mantan istri anak angkat diperbolehkan dalam Islam dan pengharaman penisbatan anak angkat kepada ayah angkatnya.

Dalam peristiwa lain, Nabi SAW juga mendapat teguran dan pembetulan dari Allah SWT ketika seorang sahabat yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum datang kepada NAbi SAW utuk menanyakan sesuatu.

Pada waktu itu Nabi SAW sedang mengadakan pertemuan penting dengan para pembesar Quraish seperti Abu Jahl bin Hisyam, Uthbah bin Rabi'ah, Ubay bin Umayyah bin Khalaf dan Abbas bin Abdul Muthalib.

Nabi SAW terkesan mengabaikan kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum, sehingga beliau langsung mendapat teguran dari Allah dengan turunnya wahyu sebagaimana termaktub dalam Surah Abasa.

Berbagai peristiwa yang dalam perspektif kaum Muslimin menjadi pelajaran berharga dan dalam tahap tertentu menjadi bahan kritikan dan ejekan kaum orientalis tersebut tetap menjadi bagian dari Sirah Nabi SAW, karena Nabi SAW dihadirkan agar menjadi suri teladan yang baik di semua bidang dan contoh ideal hidup manusia, sehingga kepribadian dan perilakunya dipelihara (dari kesalahan dan dosa) oleh Allah SWT.

Lebih dari itu agar semua teladan hidupnya menginspirasikan umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Yang pasti pula, realitas kepribadiannya lebih indah dari semua pensifatan yang diberikan kepadanya.
Beliau adalah profil manusia terbaik dari sisi akhlak maupun fisiknya. Beliau paling tampan di antara orang yang tampan, tidak terlalu tinggi dan pendek, wajahnya memancar bagaikan matahari dan bulan, serta paling mirip dengan Al-Khalil Ibrahim AS.

Perhatikanlah pengakuan Amr bin Ash yang pada saat sakaratul maut berkata, "Tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah SAW, dan tidaklah mataku dipenuhi olehnya, semata-mata karena aku memuliakannya. Jika aku diminta untuk menyifatinya maka aku tidak mampu karena aku tidak memenuhi mataku kecuali dirinya." Wallahu a'lam.

Redaktur: Chairul Akhmad






Allah Pun Rindu

Allah Pun RinduOleh: Ustaz Yusuf Mansur
Tak ada yang sulit atau susah bagi Allah SWT. Semuanya sangat mudah. Hanya kita saja malas, enggan meminta kepada Allah.

Begitu pelitnya, sampai-sampai masalah yang kita hadapi pun, tak mau kita bagi dengan Allah. Kita selalu berusaha menyelesaikan semua masalah sendirian, dan tidak mau berbagi dengan-Nya.

Ketika kita punya banyak kesempatan dan peluang, kita pun berusaha sendirian mengejar ‘mimpi’. Karena kita merasa mampu dan kuasa. Seakan kita tidak membutuhkan pertolongan Allah. Kalaupun butuh, hanya seperlunya saja.

Pada kondisi inilah, akhirnya Allah “menyapa” kita. Allah rindu sama kita. Allah kemudian menghidangkan ujian dan beragam kebutuhan untuk kita. Ujian dan kebutuhan itu dihidangkan, agar kita ingat dan semakin dekat serta meminta pertolongan kepada-Nya. Tapi, begitulah manusia. Entah di tengah-tengah musibah atau keperluan, kita lalai dan lupa.

Saya beri beberapa contoh. Seorang pengusaha, membutuhkan proyek agar usahanya tetap berjalan dan bisa menggaji karyawannya. Dengan itu, seharusnya dia ingat kepada Allah, karena Allah-lah yang telah menghadirkan semua kebutuhan itu.

Namun, pengetahuan kita terhadap Allah begitu lemah dan tipis. Apalagi keyakinan kita. Karena itu, kita tidak segera berlari menuju Allah. Sebaliknya, kita malah mendatangi manusia, relasi, pelanggan, dan lain sebagainya untuk memaksimalkan semua pemasarannya. Sementara yang inti, yakni Allah, malah tak diingat kecuali sedikit.

Sampai-sampai, ketika seseorang lapar, juga tak menyadari bahwa yang memberi rasa lapar itu adalah Allah. Mestinya dengan lapar, yang pertama kali kita ingat adalah Allah. Kita menyebut nama-Nya. Tapi apa daya, kita lebih ingat nasi goreng, nasi padang, nasi warteg, sehingga demikian itu yang kita sebut dan kita cari.

Dengan sangat cerdas, kita tahu di mana orang yang menjual makanan yang kita inginkan itu. Setelah itu kita bergegas ke sana. Tapi Allah? Kita kayak nggak tahu, nggak kenal. Sebab kita nggak mendatangi dan menyebut nama-Nya. Bahkan ketika Allah memanggil kita dengan panggilan “wakil-wakil-Nya” di dunia ini, yakni muazin, kita tak bersegera mendatangi-Nya.

Saudaraku, segala masalah dan kebutuhan pasti akan selalu ada. Sebab itu Allah juga ada. Bila kita mengingat Allah dalam setiap masalah dan keperluan, bersegeralah mendekat pada-Nya. Kenali Allah lebih dekat lagi.

Saya suka berkata kepada diri sendiri. Ketika Allah menguji kita, menghadiahkan berbagai persoalan hidup, sebenarnya Allah rindu dengan kita. Kita diminta menyebut nama-Nya dengan sepenuh hati, bahwa hanya Dia yang bisa memberi pertolongan dan menyelesaikan semua masalah dan keperluan.

Bayangkan, bila Allah menutup semua pintu penyelesaian? Kita tidak punya solusinya. Ke mana kita akan mencari jawabannya? Walau punya uang hingga miliaran dan triliunan, tapi semua itu tak mampu menyelesaikan semua masalah. Kekayaan itu pun tak berarti apa-apa.

Karena itu, mari bersegera mengingat Allah, mari lebih mendekat lagi kepada-Nya. Adukan semua permasalahan dan kebutuhan, baik di kala suka maupun duka. Karena, hanya Dia yang bisa, Sang Mahapenyelesai Masalah dan kebutuhan kita. Sungguh, Allah sangat rindu kepada kita semua.

 Redaktur: Chairul Akhmad






Menghargai Kehidupan

Jumat, 07 Desember 2012, 21:57 WIB 


Menghargai KehidupanOleh: Ustaz Toto Tasmara

Ibadah ritual (hablum minallah) belumlah cukup, sehingga harus dibuktikan lagi di tengah-tengah pergaulan dengan manusia (hablum minannas).

Kecintaan kepada Ilahi dinyatakannya dalam bentuk penuh manfaat yang bersulam kasih kemaafan. Hatinya akan terus-menerus diketuk sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”

Sehingga tampaklah akhlak keteladanan di manapun dia berada. Di jalanan, di perkantoran, di lorong-lorong sempit, bahkan di dalam rumah tangganya telah tegak disiplin untuk menghargai orang lain.

Di jalanan, dia tidak akan melanggar rambu-rambu lalu lintas. Sebab, pelanggaran berarti pengkhianatan terhadap Ilahi dan nilai kemanusiaan yang telah bersepakat menaati peraturan.

Begitu juga para pegawai Muslim akan menunjukkan akhlaknya yang mulia. Jangankan niat korupsi, untuk datang terlambat saja jiwanya bergetar karena takut dikategorikan sebagai orang munafik yang melanggar janji. Ini semua sebagai bentuk nyata dari aplikasi ritual dalam bentuk akhlak pergaulan di dalam masyarakat.

Saya menyaksikan, betapa di negara yang penduduknya mayoritas non-Muslim, bisa menjadi surga bagi penyandang cacat. Bila di bandara ada orang yang memakai kursi roda (wheelchair), mereka diberikan prioritas dalam segala hal.

Mereka diberi jalan dan lift khusus. Di tempat parkir, mereka diberi ruangan khusus untuk para penyandang cacat. Mereka sangat dihargai dan dimanusiakan.

“Orang yang berbelas kasih pasti dikasihi yang Mahapengasih. Berbelas kasihlah kepada penghuni di bumi, niscaya para penghuni langit akan berbelas kasih kepadamu sekalian.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Diriwayatkan, ada seseorang yang masuk neraka karena membiarkan kucingnya dikurung sehingga mati kelaparan. Ini tentu sama dengan nyawa manusia. Karena itu, setiap Muslim mengemban tugas menggiatkan kehidupan dan bukan merusak.

“Barang siapa membunuh satu nyawa yang tak berdosa sama dengan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya, bila kita menghidupkan satu nyawa manusia sama dengan menghidupkan nyawa manusia seluruhnya.” (QS. Al-Maidah [5]: 32).

Itulah salah satu tugas seorang Muslim. Terdapat riwayat, Allah memerintahkan malaikat untuk memasukkan seseorang ke surga, karena ia memberi minum seekor anjing yang kehausan. Jika membantu hewan mendapat balasan surga, apalagi menolong sesama.

Perusahaan yang terus menghidupkan usahanya untuk memberi lapangan kerja. Mereka itu sama dengan menghidupkan manusia seluruhnya. Kehadiran dan keberadaannya, laksana pelita yang menerangi jalan untuk mereka yang tersesat.

"Tidaklah seseorang itu disebut beriman sehingga ia mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Dalam kesempatan lain, Rasulullah bersabda, "Yang disebut Muslim itu adalah mereka yang menyebabkan orang selamat dari lidah dan tangannya.” Wallahu a'lam.

Redaktur: Chairul Akhmad
 

Joha dan Keledai

 Sabtu, 08 Desember 2012, 23:59 WIB

Joha dan Keledai Oleh: Muhammad Saifudin Kodiran
Alkisah, dalam kitab “Azhraf al-Zharfa'”, Joha bersama putranya pergi ke pasar mengendarai keledai, sementara putranya berjalan di sampingnya.

Ketika melewati kerumunan, terdengar celoteh, "Dasar orang tua semena-mena, masak anaknya disuruh berjalan kaki."

Merasa tidak nyaman dengan celotehan, Joha turun dari punggung keledai dan berganti posisi dengan anak.

Di kerumunan lain, terdengar cemoohan, "Dasar anak durhaka, tega sekali membiarkan bapaknya berjalan kaki sementara ia duduk enak." Ia menyuruh putranya turun dan berjalan kaki bersamanya sementara keledainya dituntun.

Beberapa langkah kemudian, orang-orang berkomentar, "Orang aneh, mengapa keledai itu tidak dinaiki." Ia bersama sang anak menaiki punggung keledai.

Di lokasi selanjutnya, orang-orang berseloroh, "Bapak dan anak sama dungunya, masak seekor keledai lemah ditunggangi berdua." Tak mau dianggap orang bersalah, Joha dan anaknya turun, lalu keledai itu dipanggul berdua.

Anak-anak kecil yang melihatnya girang dan tertawa-tawa. Keduanya berjalan hingga sampai di jembatan kecil. Joha bingung dan serbasalah. Akhirnya, keledai itu dilemparnya ke sungai.

Cerita di atas adalah gambaran orang yang tidak teguh dalam prinsip. Nashruddin Joha atau dikenal dengan Nashruddin Hoja, tokoh unik pada masa keemasan Islam. Ia bermaksud pergi ke pasar untuk berdagang bersama putranya.

Dalam perjalanan, ia terjebak dalam tindakan yang membuat dirinya kebingungan. Bingung bukan lantaran tawar-menawar harga atau menghitung keuntungan, melainkan bingung karena melakukan tindakan yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri.

Joha lupa bahwa tujuan perjalanannya adalah berdagang ke pasar. Maksud hati menyenangkan setiap orang, apa daya bingung yang didapat.

Karakter Joha dalam kisah di atas menurut teori kepribadian dikenal dengan //conformist personality, pembawaan kepribadian yang cenderung membiarkan sikap dan pendapat orang lain untuk menguasai dirinya.

Tindakan ini muncul karena ada perasaan khawatir tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Dampak dari kepribadian ini adalah rentan untuk dikuasai oleh pengaruh-pengaruh liar dan tak mampu mempertahankan tujuan atau prinsip.

Menurut hierarki Maslow, aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi (meta-needs) dalam hidup. Aktualisasi diri muncul karena adanya konsistensi terhadap tujuan. Aktualisasi diri penting sebab jika tak terpenuhi (bagi sebagian orang yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya) bisa berakibat metapatologi (penyakit kejiwaan), seperti sinisme, kebencian, kegelisahan, depresi dan metapatologi lainnya. 

Namun, dalam kisah Joha, ia terlampau khawatir sehingga melakukan kekeliruan cara meraihnya, bahkan mengorbankan tujuannya. Akibatnya, Joha menderita kerugian waktu, energi, dan keledai.

Alquran memberi solusi untuk mengantisipasi kekeliruan di atas, yaitu dengan istiqamah (konsistensi). "Tetap teguhlah kamu pada jalan yang benar sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu." (QS Hud: 112).

Selanjutnya, bertawakal dengan keputusan yang telah diambil. "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159). Wallahu a'lam.

 
Redaktur: Chairul Akhmad
 

Shalawat Amalan Allah

Senin, 10 Desember 2012, 06:02 WIB 


Shalawat Amalan AllahOleh: Ustaz Yusuf Mansur

Di antara kiat sukses adalah mengikuti dan meniru cara yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah sukses. Dengan begitu, insya Allah kesuksesan juga akan bisa kita raih.

Dalam hal shalawat, tidak tanggung-tanggung, yang kita contoh adalah Allah SWT dan para malaikat-Nya. (QS al-Ahzab [33]: 56).

Subhanallah. Jika kita mau bershalawat untuk Nabi SAW, maka kita telah meniru apa yang dilakukan Allah dan malaikat-Nya. Inilah pesona shalawat. Kesuksesan apa yang akan kita raih?

Allah yang Mahakuasa, yang di tangan-Nya segala kesuksesan, keselamatan, kemuliaan, kehormatan, telah memerintahkan kita selaku hamba-Nya untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, yakni manusia yang paling dicintai-Nya. Dan, masya Allah, Allah melakukan hal itu; bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Tabarakallah. Mahasuci Allah Yang telah meninggikan nama Nabi Muhammad, sehingga tidak disebut La ilaha illallah, tanpa Muhammad Rasulullah. Allah “menyejajarkan”, “menyandingkan” nama-Nya yang Mahaagung dan Mahamulia, dengan nama Nabi Muhammad di dalam kalimat tauhid, kalimat syahadat.

Masya Allah, ingin menangis rasanya.Ya Rasulallah, izinkan kami—umatmu ini—bershalawat untukmu. “Allahumma shalli wa sallim wa barik ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa-dzurriyyatihi, wa ashhabihi wa ummatihi.”

Silahkan, mau pakai Sayyidina, boleh. Nggak pakai, juga boleh. Tapi, sebaiknya pakai Sayyidina, sebagai bentuk penghormatan kita untuk membedakan menyebut namanya dengan nama manusia lain.

Saya mengajar tentang shalawat, alhamdulillah atas izin Allah, saya merasa sangat bahagia. Saya mengajarkan kepada diri saya, keluarga saya, dan siapa saja yang mau percaya dan mengikuti untuk membaca shalawat.

Sungguh, jika mau segala kemudahan dan kesuksesan, perbanyaklah bershalawat kepada Rasulullah SAW. Semakin rutin dan banyak jumlahnya, maka akan semakin baik. Dengan begitu, shalawat akan menjadi salah satu pakaian amal kita sehari-hari.

Banyak itu kira-kira minimal 100 kali dalam sehari. Kalau masalah yang dihadapi lagi berat, dan kebutuhan banyak, maka perbanyaklah lagi bershalawat. Kalau perlu hingga1.000 kali dalam sehari atau lebih.

Jika yang demikian itu rutin kita lakukan, sering kita baca, misalnya 40 hari atau 100 hari tanpa putus, insya Allah, segala kemudahan akan menyertai kita. Cobalah, Anda tidak akan rugi.

Jika sudah merasa ada kemajuan, maka teruskanlah bershalawat dalam setiap kesempatan. Dan jika belum, teruslah mencoba dengan sepenuh keyakinan dalam menjalankan amalan yang juga dilakukan Allah dan malaikat-Nya ini.
Insya Allah, Anda akan merasakan manfaatnya. Apalagi, jika kita juga melakukan amal-amal saleh dari amalan-amalan sunnah yang diajarkan Rasulullah, niscaya shalawat itu akan lebih bermakna dan bertenaga.

Shalawat paling pendek, Shallallahu ‘ala Muhammad. Dan di antara shalawat yang paling keren adalah shalawat yang dipakai dalam tahiyyat akhir saat shalat, yakni Shalawat Ibrahimiyyah.

Di situ, kita juga menyebut nama Nabi Ibrahim AS, sang kekasih Allah. Semoga kita yang hina ini, selalu diizinkan Allah untuk beramal dengan amalan Allah, yakni bershalawat. Amin.



Redaktur: Chairul Akhmad

Memahami Ayat Komunikasi

Senin, 10 Desember 2012, 21:00 WIB 

Memahami Ayat KomunikasiOleh: Ina Salma Febriani

Praktik komunikasi sebagai kebutuhan manusia sehari-hari dalam menyampaikan ide dan pesannya membutuhkan dasar-dasar ilmu filsafat sebagai induk keilmuan dan juga psikologi karena terkait dengan kepribadian seseorang (komunikan) yang kita hadapi.

Komunikasi yang berkembang di Eropa karena proses akulturasi budaya ini secara riil telah dipraktikkan pada zaman Rasulullah baik melalui proses turunnya kalamullah antara Allah (komunikator utama), Jibril (perantara) dan terakhir Rasulullah (sebagai penerima pesan pertama) yang akhirnya sebagai komunikator untuk seluruh sahabat sezamannya.

Kemudian, pesan-pesan Rasulullah yang berupa qauli (perkataan), fi’li (perbuatan) dan taqriri (ketetapan), disampaikan secara orisinil dengan persyaratan ketat dimana seorang perawi sendiri harus memiliki daya ingat yang kuat serta tidak pernah berdusta untuk dapat dikategorikan penyampai hadits yang terpercaya.

Pembukuan Alquran dan hadis inilah capaian tertinggi umat Islam yang tetap terjaga keasliannya, serta babak baru bentuk komunikasi Islam dalam bentuk dakwah baik seruan langsung, bil haal maupun bil qalam zaman Rasulullah.

Dalam ilmu komunikasi, ada beberapa jenis komunikasi; komunikasi intrapersonal, interpersonal, komunikasi kelompok yang seluruhnya terdapat dalam Al-Quran juga yang lebih penting adalah komunikasi transendental.

Mari kita simak ayat komunikasi intrapersonal dalam QS Al-Ghasiyah 17-20 ini, “Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”

Ayat di atas apabila ditinjau dari perspektif psikologi komunikasi termasuk kepada komunikasi intrapersonal dengan proses berpikir. Berpikir melibatkan semua proses sensasi, persepsi dan memori. Berpikir dilakukan untuk memahami realitas. Pada surat inilah Allah memerintahkan manusia untuk memerhatikan dan memikirkan semua ciptaan-Nya.

Kedua, dalam komunikasi interpersonal dapat dicontohkan dari dialog Nabi Ibrahim dan Namrud dalam Surah Al-Baqarah ayat 258. Ibrahim berkata, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan." Ia (Namrud) berkata, "Aku dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata, "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat." Lalu terdiamlah orang kafir itu.”

Dalam komunikasi interpersonal ada yang disebut dengan konsep diri yaitu pandangan tentang diri. Konsep diri memiliki dua komponen, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif.

Komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Konsep diri Namrud yang angkuh inilah membawa dirinya kepada kebuntuan pikiran dan argumentasi karena merasa mampu menyaingi kuasa Allah.

Ketiga, komunikasi kelompok yang salah satunya terdapat dalam QS Al-Mulk, “... apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?”

Terakhir, komunikasi transendental sebagai bentuk kekayaan Alquran, menghadirkan khazanah baru dalam dunia komunikasi. Komunikasi transendental sendiri banyak dideskripsikan dalam Alquran berupa doa-doa para Nabi. “Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, (QS. Nuh: 21).

Alquran sebagai 'hadiah' berharga dari Allah bagi manusia yang disampaikan secara berangsur-angsur kurang lebih 23 tahun ini telah jelas menyampaikan dasar-dasar komunikasi dalam beberapa ribuan ayatnya. Penyampaian ini bertujuan agar kita meyakini bahwa kitab suci ini adalah Mahakarya Ilahi yang setiap kedahsyatan ciptaan-Nya harus senantiasa direnungi. Wallahu a'lam.

Redaktur: Chairul Akhmad









Belajar Menerima Takdir

Jumat, 14 Desember 2012, 14:17 WIB
 
Belajar Menerima Takdir
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA


Dalam kondisi normal, manusia sepenuhnya sadar bahwa kehidupannya diwarnai dengan suka dan duka, sedih dan gembira, menangis dan tertawa, sengsara dan bahagia.

Namun kesadaran tersebut hilang, manakala manusia tiba-tiba dirundung duka, kesedihan dan kesengsaraan. Sebaliknya, banyak manusia bersikap up-normal pada saat suka-cita, gembira dan bahagia.

Tepatlah kemudian jika Alquran menyitir sifat manusia yang umumnya suka mengeluh, sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya, "Sungguh, manusia diciptakan bersikap suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila dia mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir." (QS. Al-Ma'arij: 19-21).

Namun Alquran mengajarkan kepada kaum muslimin untuk mempertahankan posisi normal dalam keadaan apa pun baik suka maupun duka, baik tertimpa musibah ataupun dianugerahi kebahagiaan.

Hal tersebut karena posisi normal mengisyaratkan ketenangan dan kerelaan seseorang atas takdir yang ditentukan Allah, yang  menunjukkan pula kuatnya iman. Lebih dari itu, posisi normal menjadikan seseorang dapat tetap berpikir logis dan pengendalian diri dengan baik.

Adalah merupakan kewajiban kaum muslimin untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah dan bersyukur saat mendapat anugerah. Hal tersebut karena seorang Muslim yakin bahwa kejadian apapun di bumi dan langit tidak akan terlepas dari takdir Allah SWT serta apa pun bentuk kejadiannya bagi Allah SWT merupakan suatu hal yang amat mudah.

Sehingga seorang Muslim harus senantiasa berbaik sangka terhadap Allah, sedangkan yang dilakukannya tidak lebih sekedar berikhtiar atas apa yang dapat dilakukan. (QS. Al-Hadid: 22). Sikap seorang Muslim tersebut merupakan respons positif dalam mengatasi sifat alamiah manusia yang umumnya mengeluh pada saat susah dan kikir saat mendapat anugerah.

Sikap tersebut merupakan modifikasi dari sifat alamiah-negatif menjadi progresif-positif dengan tujuan agar kaum muslimin tidak sampai bersedih hati dalam menghadapi masalah hingga berujung pada sikap putus asa.

Sebaliknya, jika anugerah yang diberikan oleh Allah, maka seorang mukmin tidak boleh pula terlalu gembira yang berujung pada sikap sombong dan lupa diri. (QS. Al-Hadid: 23). Sikap moderat inilah yang ditekankan Alquran dalam banyak kesempatan sehingga dengan kemoderatannya seorang muslim tetap dalam kondisi normal.

Sikap moderat tersebut sekaligus sebagai bentuk antitesa terhadap sikap orang-orang munafik yang sering berada pada satu titik ekstrem, yaitu berjanji beriman kepada Allah sebelum mendapat anugerah dan bersikap kikir saat mendapatkannya. (QS. At-taubah: 75-77).

Dengan demikian seorang Muslim hendaknya senantiasa memiliki keyakinan kuat bahwa nasib dari perjalanan hidupnya adalah takdir Allah dan kewajiban dirinya adalah berikhtiar dengan sekuat tenaga dan sebaik-baiknya usaha (QS. Al Mulk: 2). Kedua, memiliki prasangka baik terhadap Allah SWT atas takdir apapun pada dirinya.

Ketiga, berusaha untuk bersikap moderat dalam keadaan apa pun dan terus berusaha menjadi lebih baik, sehingga tetap mampu berpikir normal dan kritis serta tidak terbawa oleh penderitaan atau terlena oleh kenikmatan.

Keempat,  memiliki visi untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan bersabar kala menerima cobaan serta yakin bahwa nikmat yang diberikan Allah jauh lebih banyak dari cobaan yang diterima.
Wallahu a'lam.

Redaktur: Chairul Akhmad
 
 
 
 

Menyayangi Pembenci

Sabtu, 15 Desember 2012, 18:01 WIB


Menyayangi PembenciOleh: Rory Asrio S
Abu Bakar RA adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah SAW. Ia adalah pengikut setia Rasulullah dalam situasi dan kondisi apa pun.

Beliau juga menjadi sahabat yang pertama masuk Islam dan membenarkan ajaran yang dibawa Rasul SAW sehingga mendapat gelar ash-Shiddiq (yang membenarkan).

Bagi Abu Bakar, Rasulullah SAW adalah sosok teladan. Karena itu, segala perilaku Rasul SAW selalu menjadi perhatiannya. Bahkan setelah diangkat menjadi khalifah, ia ingin meniru dan meneladani segala perbuatan Nabi SAW.

Untuk mengetahui lebih detail tentang Rasulullah, Abu Bakar mencari informasi dari orang yang paling dekat dengan Rasulullah. Dialah Aisyah binti Abu Bakar.

Aisyah menceritakan, setiap pagi dan sore, Rasulullah SAW selalu pergi ke sudut pasar. Di sana, ada seorang nenek yang sudah tua renta beragama Yahudi. Nenek itu sudah buta dan tak punya gigi lagi. Kepada nenek itu, Nabi SAW selalu memberikan makan dan menyuapinya.

Si nenek ini tak mengetahui bahwa yang setiap hari memberinya makan dan menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW, orang yang paling dibencinya. Kepada orang yang lewat pasar, si nenek ini senantiasa mengajak orang-orang agar mereka menjauhi manusia yang bernama Muhammad.

Nenek ini menganggap, Muhammad adalah orang yang paling jahat di dunia. Selain itu, nenek ini juga menganggap Muhammad telah menyebabkan terjadinya peperangan antarsuku dan mengganti keyakinan (agama) nenek moyangnya dengan Islam. Karena itu, ia ingin orang-orang menjauhi Muhammad.

Walaupun dibenci dan dicaci-maki oleh si nenek, Rasul SAW tak pernah marah. Dengan telaten, setiap hari Rasul selalu SAW menghaluskan makanan sebelum diberikan kepada si nenek. Dengan begitu, nenek itu bisa langsung memakan makanan yang sudah lunak tanpa perlu dikunyah. Selesai makan, si nenek selalu berpesan kepadanya agar berhati-hati bila bertemu dengan Muhammad.

Abu Bakar ingin meniru perilaku Nabi SAW ini. Ia lantas mendatangi sudut pasar untuk bertemu dan memberi makan si nenek. Namun, baru satu suapan makanan itu diberikan, si nenek lantas mengeluarkan makanan itu dan marah-marah kepada si penyuapnya, yakni Abu Bakar.

Si nenek berkata, “Siapa kamu? Makanan ini sangat kasar. Engkau pasti orang lain dan bukan orang yang biasa memberiku makan?” Abu Bakar kemudian menyebutkan jati dirinya. Si nenek kemudian bercerita, si penyuapnya terdahulu itu selalu menghaluskan makanan sebelum diberikan kepadanya.

Si nenek pun lantas bertanya kepada Abu Bakar. “Kemana gerangan orang itu, sudah sepekan lebih ia tak datang kemari?” Mendengar hal itu, Abu Bakar pun menangis karena tak bisa meniru Rasulullah SAW.

Abu Bakar lalu bercerita bahwa orang yang biasa menyuapi nenek itu adalah Muhammad dan kini telah wafat. Mendengar nama itu, maka si nenek itu pun kemudian tersadar. Ternyata, orang yang selama ini dibencinya begitu menyayanginya, memberinya makan, dan dengan telaten menyuapinya.

Muhammad adalah seorang manusia yang santun dan sopan. Si nenek ini pun lantas bertobat dan memohon ampun. Wallahu a'lam.


Redaktur: Chairul Akhmad