Rabu, 21 Mei 2014

Pahala Orang Teraniaya

Selasa, 22 April 2014, 05:51 WIB

Pemuda mabuk (ilustrasi)REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri

Dalam kitab Ushfuriyah karya Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfuri, dikisahkan, Ibrahim bin Azham, sebelum masuk Islam, memiliki 72 orang budak (hamba sahaya). Namun setelah masuk Islam, ia memerdekakan seluruh budaknya, kecuali satu orang.

Hal itu disebabkan si hamba sahaya ini suka minum minuman keras dan mabuk-mabukan. Pada suatu hari, sang budak kembali mabuk-mabukan. Tanpa disadarinya, ia bertemu dengan tuannya, yakni Ibrahim bin Azham. Si budak pun meminta diantarkan pulang.

"Wahai fulan, tolong antarkan aku ke rumahku," ujarnya. Ibrahim pun mengantarkannya. Namun bukan diantar ke rumah, melainkan ke kuburan. Mengetahui tempat yang dituju adalah kuburan, marahlah si budak tersebut.

Ia pun memukul Ibrahim dengan keras hingga jatuh tersungkur. "Bukankah aku minta diantar ke rumah. Kenapa kau antar aku ke kuburan?" kata dia. Ibrahim pun lantas segera bangkit dan berkata kepada si budak.

"Wahai orang yang pecah kepalanya, wahai orang yang sedikit otaknya, ini (kuburan) adalah rumah yang sebenarnya. Yang lain hanyalah majazi," ujar Ibrahim. Mendengar jawaban itu, bukannya tambah sadar, si budak malah makin marah. Ia pun kembali memukuli Ibrahim.

Ibrahim pun berkata: "Semoga Allah mengampunimu dan aku membebaskanmu." Tapi, lagi-lagi si budak justru memukulinya berkali-kali dengan penuh amarah. Ibrahim terus mendoakan si budak agar perbuatannya diampuni Allah SWT dan diberi petunjuk ke jalan Islam.

Akhirnya datanglah seseorang menghentikan perbuatan buruk si budak itu. "Wahai fulan, apa yang kamu lakukan? Mengapa engkau memukuli tuanmu?" kata laki-laki yang menghentikan perbuatan buruknya tadi. Kesadaran mulai menghinggapi pikirannya. "Siapa ini?" kata dia.

Laki-laki itu pun menceritakan, orang yang dipukulinya itu adalah tuannya, Ibrahim bin Azham. Si budak yang sudah dimerdekakan ini pun kemudian meminta maaf atas perbuatannya tadi. Ia lalu berkata: "Wahai tuan, maafkan kesalahanku." Ibrahim pun memaafkannya.

Si budak yang telah dimerdekakan ini berkata: "Wahai tuan, aku telah memukuli dan menyakitimu. Namun, engkau selalu saja berdoa yang terbaik untukku dan berkata semoga Allah mengampuniku."

Ibrahim berkata, "Bagaimana aku tak mendoakanmu, sebab karena perbuatanmu itu yang bisa mengantarkanku ke surga. Maka sudah selayaknya aku memohon doa kepada Allah agar Ia mengampunimu," ujarnya.

Dari kisah di atas dapat diambil kesimpulan, seburuk apapun perbuatan orang kepada kita, selayaknya kita tak membalasnya dengan keburukan pula. Sebaliknya kita dianjurkan mendoakannya dan berharap yang bersangkutan mendapat petunjuk  Allah SWT.

Sebab, jika kita membalas perbuatannya dengan keburukan pula, kita ikut berbuat zalim. Agama mengajarkan, bila melihat kemungkaran, kita harus mengubahnya (menghentikannya) dengan kekuasaan yang dimiliki.

Jika kita tak mampu, hentikan dengan lisan, dan bila tak mampu juga, cukuplah dengan hati untuk membenci perbuatan buruk itu. Kisah di atas juga mengajarkan agar kita tak semena-mena menganiaya (menzalimi) orang lain.

Misalnya mencuri, membunuh, membohongi, atau mengambil hak orang lain. Sebab, doa orang teraniaya itu sangat mustajab dan dikabulkan Allah.
Dan bagi mereka yang bersabar atas perbuatan zalim akan mendapatkan pahala dan surga dari Allah. Wallahu a'lam. 

 Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong. ((QS. Al-Baqarah [2]:107))

Tidak ada komentar: