Senin, 27 Juni 2011

Pohon di Kuburan Meringankan Siksa?

Pohon di Kuburan Meringankan Siksa?

Posted by tri.subekti

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu , beliau berkata, “Rasulullah shallallahu’alaihi wassalam melewati dua buah kuburan, lalu beliau bersabda, ‘Sungguh keduanya sedang disiksa, mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing, sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namimah.’ Kemudian beliau mengambil pelepah basah, beliau belah jadi dua, lalu beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan ini ?’ Beliau menjawab, ‘Semoga mereka diringankan siksaannya selama keduanya belum kering.” “

Takhrij

Hadits ini diatas dikeluarkan oleh:

Imam Bukhari dalam Al Jami’ As Shahih (1/317-Fathul Baari) No. 216, 218, 1361, 1378, 6052 dan 6055
Imam Muslim dalam As Shahih (3/200 – syarah Imam Nawawi) No. 292
Imam Tirmidzi dalam Al Jami‘ (1/102) No. 70, dan beliau mengatakan, “Hadits Hasan Shahih”
Imam Abu Daud dalam As Sunan (1/5) No. 20
Imam Nasa’I dalam Al Mujtaba (1/28)
Imam Ibnu Majah dalam As Sunan (1/125) No. 237

Pemahaman Yang Benar Terhadap Hadits

Sabda beliau, إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ (Sesungguhnya mereka berdua sedang disiksa.). Kata ganti (mereka berdua-pent) adalah kata ganti untuk kubur, (namun) yang dimaksudkan adalah penghuni kubur.

Sabda beliau, وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ (Mereka berdua disiksa bukan karena perkara besar(dalam pandangan keduanya)). Dalam riwayat lain Imam Bukhari,

يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ وَإِنَّهُ لكَبِيْرٌ

“Mereka berdua disiksa karena perkara besar (dalam pandangan keduanya) namun sungguh itu adalah perkara besar.”

Dalam Shahih Bukhari juga dalam Kitab Wudhu terdapat lafadz,

وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ بَلْ إِنَّهُ كَبِيْرٌ

“Mereka berdua tidak disiksa karena perkara besar(dalam pandangan keduanya), bahkan sungguh itu adalah perkara besar.”

Dengan dua tambahan lafadz yang shahih ini, dapat ditetapkan bahwa penyebabnya adalah dosa besar. Maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, “Mereka berdua disiksa bukan karena perkara besar.” Perlu di jelaskan.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim (3/201) mengatakan, para ulama telah menyebutkan dua penafsiran dalam hadits ini

Pertama, itu bukanlah perkara besar dalam pandangan mereka berdua.

Kedua, meninggalkan kedua perkara ini bukanlah sesuatu yang besar (susah).

Al Qadli Iyadh menyampaikan tafsir ketiga yaitu, tidak termasuk dosa besar.

Saya (Syaikh Raid) katakan, berdasarkan tafsir ketiga ini, maksud hadits ini adalah larangan dan memberikan peringatan yang keras kepada orang lain selain dua penghuni kubur ini, agar tidak mengira bahwa adzab Allah itu hanya ada akibat dari dosa besar yang membinasakan, karena adzab itu (kadang) ada akibat dari selainnya. Wallahu a’lam.

Sebab kedua perbuatan ini (yaitu tidak menjaga diri dari air kencing dan namimah-pent) menjadi dosa besar adalah perbuatan tidak bersih dari kencing mengakibatkan batalnya shalat. Sehingga tidak diragukan lagi tidak membersihkan diri dari kencing merupakan perbuatan dosa besar. Demikian juga menebar namimah (adu domba) dan berusaha berbuat kerusakan termasuk perbuatan yang paling buruk, apalagi jika bersesuaian dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wassalam yang menggunakan kata YAMSYI (fi’il mudhari’) yang biasanya menunjukkan keadaan yang terus berkelanjutan (artinya dia terus-terus melakukannya selama hidupnya-pent).

Sabda beliau لَا يَسْتَتِرُ . Al Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari mengatakan, “Beginilah dalam kebanyakan riwayat yaitu dengan dua huruf yang bertitik dua diatas (dua huruf Ta’-pent), huruf pertama difathahkan dan huruf kedua dikasrahkan. Dalam riwayat Ibnu Asakir[1] يَسْتَبْرِئُ (membesihkan diri-pent) dengan huruf ba’ disukunkan, berasal dari kata اسْتِبْرَاءُ

Dalam hadist riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud dari hadits Al A’masy[2] يَسْتَنْزِهُ dengan huruf nun yang disukunkan, setelah itu huruf zai lalu huruf ha. Makna kata لَا يَسْتَتِرُ adalah tidak membuat antara dia dengan kencingnya sesuatu yang bisa melindunginya dari percikan kencing. Dengan demikian, maka maknanya sejalan dengan riwayat يَسْتَنْزِهُ .

Al hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari (1/318) menyatakan, “Dalam riwayat Abu Nu’aim berbunyi لاَيَتَوَقَّى (tidak menjaga diri-pent) dan kata ini merupakan penjelas maksud (kata-kata diatas-pent). Sebagian para ulama memberlakukan kata لَا يَسْتَتِرُ sesuai zhahirnya. Mereka mengatakan, bahwa arti kata itu adalah tidak menutup auratnya.

Sabda beliau يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ yaitu mengutip dan menceritakan perkataan seseorang dengan tujuan mencelakakan. Adapun jika tujuannya untuk mewujudkan satu kemaslahatan atau menghindari kerusakan secara syar’i maka hal itu dibenarkan.

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (3/201) mengatakan, “(Namiimah) adalah menceritakan perkataan seseorang ke orang lain dengan tujuan merusaknya (Adu domba).”

Sedangkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menaruh dua potong pelepah basah diatas dua kubur, menurut pandangan para ulama, perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wassalam itu dipahami bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wassalam memintakan syafa’at untuk penghuni kubur itu, lalu permintaan beliau shallallahu ‘alaihi wassalam dikabulkan dengan diberi keringanan adzab kepada kedua penghuni kubur itu sampai kedua potong pelepah itu kering.

Imam Muslim rahimahullah menyebutkan di akhir kitab Shahih-nya sebuah hadits yang panjang yaitu hadits Jabir tentang dua penghuni kubur, (beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda-pent):

“… maka syafa’atku untuk meringankan adzab dari kedua penghuni kubur itu dikabulkan selama dua batang kayu ini masih basah.”

Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang menunjukkan bolehnya menanam pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Itu merupakan (kekhususan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah Ta’ala memperlihatkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wassalam keadaan dua penghuni kubur tersebut dan adzab yang mereka alami. Ini merupakan kekhususan diantara kekhususan-kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sebagaimana penjelasan yang akan datang insya Allah Ta’ala .

Pemahaman keliru tentang hadits ini

Ada yang memahami hadits diatas dengan pemahaman keliru. Sebagian mereka berdalil (berargumentasi) dengan hadits ini, tentang bolehnya menanam kurma dan pepohonan diatas kuburan. Mereka mengatakan bahwa illah (penyebab) diringankan adzab dari kedua penghuni kubur ini adalah dua pelepah yang masih basah karena keduanya senantiasa bertasbih kepada Allah selama masih basah sedangkan yang kering tidak bertasbih.

Pendapat ini menyelisihi firman Allah Ta’ala ,

وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ

“Dan tak ada suatupun melainkan nertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS Al Isra’ 44)

Kalaulah seandainya, penyebab diringankan adzab adalah tasbih, tentu tidak ada seorangpun yang mendapatkan siksa di dalam kuburnya karena debu dan bebatuan yang berada di atas mayit bertasbih kepada Allah Ta’ala .

Syaikh kami Al Albani rahimahullah mengatakan dalam Ahkamul Janaaiz (hal. 201), “Kalau seandainya kondisi basah pelepah itu yang dimaksud, pasti para salafus shalih telah memahaminya dan mengamalkan penunjukkannya serta telah meletakkan pelepah atau batang pohon di atas kubur ketika mereka berziarah. Kalau seandainya mereka melakukan hal tersebut, tentu beritanya akan masyhur kemudian dinukil para perawi terpercaya kepada kita. Karena ini termasuk perkara yang menarik perhatian dan mesti dinukil. Jika tidak dinukil, maka menunjukkan bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Cara seperti ini dalam mendekatkan diri kepada Allah adalah bid’ah”.

Adapun hadits Buraidah Al Aslamiy radhiallahu ‘anhu yang berisi bahwa beliau berwasiat agar ditaruhkan dua pelepah diatas kuburnya. Maka hal ini merupakan hasil ijtihad beliau semata dan ijtihad itu kadang benar dan kadang salah. Dan kebenaran bersama orang yang meninggalkan perbuatan itu.

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dalam komentar beliau atas kitab Fathul Baari (3/223) mengatakan, “Pendapat yang mengatakan bahwa hal itu merupakan kekhususan Nabi merupakan pendapat yang benar. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tidak pernah menanamkan pelepah kecuali di atas kuburan yang beliau ketahui penghuninya sedang disiksa dan tidak melakukan hal itu kepada semua kuburan. Kalau seandainya perbuatan itu sunnah, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam akan melakukannya kepada semua kuburan. Juga karenakan para khulafa’ Ar Rasyidin dan tokoh besar shahabat tidak pernah melakukan hal itu. Kalau seandainya itu disyari’atkan tentu mereka akan segera melakukannya”.

Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab shahihnya (3/222) Bab Al Jariidati Ala Al Qabri. Ibnu Rusydi mengatakan, tampaknya dari penjelasan Imam Bukhari rahimahullah bahwa hal itu khusus untuk dua orang itu saja, oleh karena itu beliau melanjutkannya dengan membawakan perkataan Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma ketika melihat sebuah tenda di atas kuburan Abdurrahman,

انْزِعْهُ يَا غُلَامُ فَإِنَّمَا يُظِلُّهُ عَمَلُهُ

“Wahai anak muda, cabutlah itu! Hanya amal perbuatannya saja yang (bisa) menaunginya”.

Para ahli ilmu menjelaskan bahwa ini adalah satu kejadian khusus yang mungkin dikhususkan kepada orang-orang yang Allah perlihatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keadaan sang mayit.

Al Khathabi berkata dalam Ma’alimus Sunan (1/27) mengomentari hadits ini, “Ini termasuk bertabarruk (mengharapkan barakah-pent) dengan atsar dan do’a beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diringankan adzab dari keduanya. Seakan-akan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan waktu basahnya ranting itu sebagai batas dari permintaan keringanan adzab dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan karena pelepah basah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki pelepah kering. Kebanyakan orang di banyak negara menanam pepohonan di atas kubur-kubur mereka, saya lihat mereka melakukan ini tidak mengambilnya dari sisi ini”.

Syaikh Ahmad Syakir dalam komentar beliau terhadap Sunan Tirmidzi (1/103) berkata setelah hadits ini: “Benarlah (apa yang dikatakan-pent) Al Khattaby. Kebanyakan orang semakin menjadi-jadi melakukan amal yang tidak ada dasarnya ini dan berlebih-lebihan dalam hal ini. terutama di negeri Mesir, karena taklid kepada orang-orang nasrani, sampai-sampai mereka meletakkan bunga-bunga diatas pekuburan, saling menghadiahkan bunga diantara mereka. Lalu mareka taruh diatas pusara keluarga dekat mereka dan kenalan mereka sebagai penghormatan kepada penghuni kubur dan sikap pura-pura baik kepada yang masih hidup. Bahkan kebiasaan ini menjadi setengah resmi dalam acara persahabatan antar bangsa. Engkau dapatkan, para pembesar Islam, jika berkunjung ke salah satu negara Eropa pergi ke kuburan para pembesar negera itu atau ke kubur yang mereka sebut kuburan pahlawan tak dikenal dan menabur bunga diatasnya. Sebagian mereka meletakkan bunga plastik yang tidak ada unsur basah padanya karena ikut-ikutan orang Prancis dan mengikuti perbuatan-perbuatan Nashara dan Yahudi. Dan para ulama tidak mengingkar mereka atas perbuatan tersebut apalagi orang awam, bahkan engkau melihat mereka sendiri meletakkan di kuburan orang mati mereka.

Saya tahu kebanyakan wakaf-wakaf yang mereka namakan wakaf khairiyah ditanami pohon kurma dan bunga-bunga yang berbau harum yang diletakkan di atas kuburan. Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan mungkar yang tidak memiliki dasar sama sekali, tidak memiliki sandaran dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Para ahli ilmu wajib mengingkari dan memberantas kebiasaan-kebiasaan ini sesuai dengan kemampuan masing-masing.”

Syaikh kami Al Albani mengatakan dalam kitab Ahkaamul Janaiz (hal. 201),

“Ada beberapa perkara yang menguatkan (pendapat yang mengatakan) bahwa meletakkan pelepah di atas kuburan merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan peringanan adzab bukan disebabkan pelepah yang beliau n bagi dua. -beliau t menyebutkan, diantaranya:

Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu yang terdapat dalam shahih Muslim , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Sesungguhnya aku melewati dua kuburan yang sedang disiksa, maka dengan syafa’atku aku ingin agar adzabnya diperingan dari keduanya selama dua ranting ini masih basah.”

Ini jelas sekali, (menerangkan) bahwa keringanan adzab itu disebabkan oleh syafa’atnya shallallahu ‘alaihi wassalam dan do’anya n bukan karena unsur basah (yang ada pada ranting itu-pent), baik kisah Jabir radhiallahu ‘anhu ini satu kejadian dengan kisah Ibnu Abbaz radhiallahu ‘anhu yang terdahulu sebagaimana yang dirajihkan oleh Al ‘Aini atau yang ulama lain, ataupun dua kejadian yang berbeda sebagaimana dirajihkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.

Adapun berdasarkan kemungkinan pertama (yaitu kisah Jabir radhiallahu ‘anhu satu kejadian dengan kisah Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu ) maka cukup jelas. Adapun berdasarkan kemungkinan kedua, karena penelitian yang benar menunjukkan bahwa penyebabnya satu dalam dua kisah tersebut karena adanya kemiripan yang ada dalam dua kisah tersebut. Juga karena keberadaan pelepah basah sebagai sebab diringankan adzab dari mayit ini termasuk perkara yang tidak diketahui secara syar’i atau akal. Kalau seandainya hal ini benar, tentu orang yang paling ringan adzabnya adalah orang-orang kafir yang menanamkan pepohonan dikuburan seperti layaknya sebuah taman karena banyaknya tanaman dan pepohonan yang selalu hijau di musim panas ataupun dingin. Ditambah juga bahwa sebagian ulama seperti Imam Suyuthi t menjelaskan bahwa sebab pengaruh pelepah basah dalam peringanan adzab adalah karena dia bertasbih kepada Allah Ta’ala . mereka mengatakan, “Jika hilang sifat basah dari pelepah itu dan kering, maka berhentilah dari tasbih!.

Alasan ini menyelisihi keumuman firman Allah Ta’ala ,

وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّيُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِن لاَّتَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ

“Dan tak ada suatupun melainkan nertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.“ (QS. Al Isra’:44)

Jika hal ini sudah jelas, maka mudah untuk memahami kebathilan qiyas lemah yang dikutip oleh Imam Suyuthi rahimahullah dari orang yang tidak beliau sebutkan, “Jika adzab kubur diringankan dari keduanya dengan sebab tasbbih pelepah tersebut, maka bagaimana pula dengan al-Qur’an yang dibacakan seorang mukmin ? Dia mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil menanam pohon di kuburan”

Saya (Syaikh Al Albani) mengatakan, “Kokohkan dulu kursi singgasana baru dipahat”[3], Apakah (mungkin) bayangan sesuatu itu lurus sementara batang (empunya bayangan) bengkok. Kalau seandainya qiyas ini benar, tentulah para salafusshalih akan bersegera melakukannya karena mereka lebih bersemangat dalam kebaikan dibandingkan kita.

Keterangan yang telah lewat menunjukkan bahwa meletakkan pelepah di kuburan itu merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan rahasia peringanan adzab dari dua penghuni kubur diatas bukan karena pelepah yang basah akan tetapi karena syafa’at dan do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam . Kejadian ini termasuk kejadian yang tidak mungkin terulang lagi setelah beliau n wafat dan tidak juga orang lain setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam , karena mengetahui adzab kubur termasuk kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam . Hal ini termasuk perkara ghaib yang tidak akan diketahui kecuali oleh Rasul, sebagaimana berita dalam firman Allah Ta’ala ,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.“ (QS.Al Jin:26)

[Diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. dari kitab Tashihul Akhtha' wal Auhaam all Waqi'ah fi fahmi Ahaditsin Nabi alaihis shalatu was salam, Syaikh Raid Shabri Bin Abu Alfah, hal 72-78]

Artikel UstadzKholid.com

Tidak ada komentar: