Jumat, 31 Agustus 2012

Candu Masyarakat


HM Cholil Nafis Lc PhD
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
SELAIN menahan makan dan minum, puasa Ramadan mengandung pesan sosial yang luhur. Puasa bukan hanya ibadah berorientasi vertikal (teosentris), tetapi horizontal (antroposentris).
Memaknai puasa secara teosentris (pahala bagi yang menjalankan dan dosa bagi yang meninggalkan) adalah pemaknaan sempit.

Ini adalah pemahaman yang berkutat pada model nalar teologis (al-'aqlul aqâ'idî) dalam soal keagamaan. Ciri model penalaran ini adalah pemusatan segala aktivitas dan persoalan apa pun pada Tuhan, tanpa menghiraukan harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan.

Sejatinya harus ada keseimbangan antara aspek yang teosentris dan antroposentris dari kegiatan manusia. Melalui ibadah puasa Ramadan, kita berharap hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia sesama manusia (dan lingkungannya) terjalin apik.

Jika tidak, integrasi pesan puasa terasa pincang dan berakibat mendisorientasi agama. Pemahaman agama yang tidak utuh hanya akan menjadikan agama sebagai candu masyarakat.
Artinya, agama hanya memberikan iming-iming pahala dan surga, tanpa terlibat dalam dimensi kemanusiaan. Tentu agama hadir untuk mengangkat harkat, martabat, serta membela hak asasi manusia.
Karena itu, agama tidak bisa diam begitu melihat realitas sosial yang timpang. Melalui puasa, pertama, umat Islam akan terlatih untuk berempati pada manusia lainnya. Empati itu bukan karena sama-sama lapar dan haus, tapi terkait dengan setiap derita kemanusiaan.

Dimensi kemanusiaan ini menjadi bagian terpenting yang perlu diupayakan dan disebarluaskan umat beragama. Saling menghormati, toleransi, hidup damai, harmonis, dan ramah, menjadi bagian terpenting kehidupan sosial-keagamaan.

Dengan begitu, agama diharap lebih mencerminkan dimensi kemanusiaan ketimbang selalu terbelit simbolisme ritual.

Kedua, mengikis egoisme dan menumbuhkan sikap kebersamaan. Dalam perspektif Islam, kebersamaan merupakan makna hidup yang sejati. Karena itu, setiap individu harus menjadikan orang lain tidak ubah dirinya sendiri.

Artinya, jika orang lain merasa tidak betah hidup dalam penderitaan, setiap muslim harus berempati dan mencari solusi untuk melepaskan mereka dari jerat penderitaan.

Ketiga, puasa menggugah kesadaran progresif dalam beragama. Keluar dari belenggu menuju pembebasan. Orang yang berpuasa tidak akan tega melihat tetangganya lapar. Inilah salah satu upaya pembebasan dari belenggu kemiskinan.

Pembebasan yang dimaksud di sini secara umum berarti pembebasan dari (free from) segala belenggu dan kooptasi, dan pembebasan untuk (free for) cita-cita luhur kemanusiaan.

Jelaslah bahwa puasa bukan sekadar ritual yang teosentris, tapi ikut menumbuhkan kesadaran untuk melakukan amaliah agama secara antroposentris.

Selaras dengan misi kemanusiaan ini, Nabi Muhammad Saw menyebut bulan Ramadan sebagai syahr al-muwasat, yang berarti "bulan kepekaan sosial" (HR Ibn Khuzaimah).

Hal ini juga tecermin dari anjuran Nabi untuk memberi makan untuk berbuka puasa, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibn Hibban.
"Barangsiapa memberikan makan atau buka kepada orang yang berpuasa, maka hal itu dapat menjadi tebusan atas dosa-dosanya dan pembebasan dirinya dari api neraka. Ia juga beroleh pahala seperti pahala orang yang puasa itu, tidak berkurang pahalanya barang sedikit pun."

Sahabat pun menanggapi ucapan Nabi tersebut, "Tidak semua orang dari kami memiliki kemampuan untuk memberikan makan kepada orang yang puasa."
"Allah Swt telah menyediakan pahala besar untuk kalian. Apakah kalian tidak sanggup menyediakan buka walau hanya sebutir kurma, segelas air putih, atau secangkir susu?" jawab Rasulullah Saw.
Setelah itu, Rasulullah pun menegaskan kepada para sahabat bahwa kepedulian kepada orang yang berpuasa itu dapat membuat seseorang meraih rahmat dan ampunan dari Allah.



Tidak ada komentar: