Senin, 30 Juli 2012

Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri (1)



Oleh: Komaruddin Hidayat *
Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia  merupakan  puncak ciptaan-Nya  dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95: 4).
Namun begitu, Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91: 7-10).
Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fitri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4: 174).

Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu  faqad 'arafa rabbahu—siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.

Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya,  kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya.

Demikianlah, manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.

Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan.

Dalam tradisi ilmu fikih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Mahahakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Mahahakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.

Demikianlah, bila ilmu fikih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Mahahakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Mahaakal,  sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.

* Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar: