Kamis, 26 Juli 2012

Menangkap Percik Indah dalam Perbedaan



REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asma Nadia
Menjelang Ramadhan tahun ini, sahabat-sahabat pembaca bertanya melalui media sosial, "Kapan saya dan keluarga mulai berpuasa?" Tergelitik oleh keingintahuan untuk memahami bagaimana sebagian masyarakat mengambil rujukan, saya mengembalikan pertanyaan itu kepada mereka, "Kapan mulai puasa? Alasannya?" Mengingat perbedaan menentukan awal Ramadhan, rasanya terjadi hampir setiap tahun di Tanah Air tercinta.
Ternyata jawaban yang saya terima sangat variatif, tetapi menarik, khususnya melihat anak-anak, remaja, dan keluarga muda berpihak. Ada yang menunjukkan kebingungan dan menjawab tidak tahu. Ada pula yang berusaha menghitung-hitung sendiri dengan "ilmu hisabnya". "Hasil hitunganku lebih parah. Jawabannya selisih seminggu lebih awal! Sekarang ikut ulil amri deh," beberapa menanggapi dengan canda.
"Puasa itu pastinya satu Ramadhan." "Untuk Ramadhan yang penting puasanya dari imsak sampai Maghrib." Sedangkan, pembaca lain berkomentar, "Saya masih anak-anak, jadi bergantung pada orang tua!" "Mulai puasa Sabtu, selain ikut pemerintah, juga karena taat pada suami." "Ikut pemerintah. Jadi, jika salah, pemerintah yang menanggung dosanya." Selain komentar-komentar singkat, ada juga yang sedikit menambah penjelasan dan menutupnya dengan pernyataan damai.
"Alhamdulillah saya puasa Jumat. Menurut saya, sebanyak apa pun orang yang belum melihat hilal, tetapi jika ada satu yang sudah melihat dan sudah disumpah, tetap menang yang satu tadi. Ini alasan saya. Bukan mau memprovokasi, ya." Tidak hanya menjelang Ramadhan, dalam kehidupan, kenyataannya perbedaan pendapat sering tidak bisa dihindari. Tak hanya saat ini, tetapi juga terjadi pada masa Rasulullah SAW.
Seperti kisah dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan, keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi, belum begitu jauh melangkah, keduanya melihat air. Lalu, salah seorang berwudhu dan mengulangi shalatnya sedangkan yang lain tidak melakukannya.
Begitu bertemu Rasulullah, keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian, beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, "Kamu benar, shalatmu mendapat pahala." Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, "Kamu mendapat dua pahala." Ada beberapa hal yang bisa dipetik. Pertama, kisah tersebut  menunjukkan bahwa pada zaman Nabi perbedaaan pendapat juga terjadi, tetapi luntur karena semua kemudian bisa merujuk kepada Rasulullah.

Tidak ada komentar: