Senin, 17 Juni 2013

Apakah Sah Sedekah Dari Orang Yang Berhutang

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sah sedekah dari orang yang berhutang ? Apa kewajiban syari’at yang gugur dari seorang yang mempunyai hutang ?

Jawaban
Shadaqah termasuk jenis infak yang dianjurkan secara syari’at, ia merupakan perbuatan baik kepada hamba-hamba Allah apabila tiba waktunya. Seseorang diberi ganjaran pahala karenanya, dan setiap orang akan berada di naungan sedekahnya pada hari kiamat. Dia tetap dikabulkan, sama saja apakah atas seseorang yang memiliki tanggungan hutang maupun tidak menanggung hutang, apabila telah sempurna syarat-syarat dikabulkannya amalan, yakni dilakukan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, berasal dari usaha yang baik dan dilakukan pada tempat yang tepat.

Dengan dipenuhinya syarat-syarat ini, jadilah dia amal yang terkabul menurut ketetapan dalil syariat, tidak dipersyaratkan keharusan tiadanya hutang atas diri seseorang, akan tetapi apabila hutang itu meliputi seluruh harta miliknya maka perbuatan itu (bersedekah) bukanlah tindakan yang bijaksana, tidak juga masuk akal bahwa dia bersedekah –padahal sedekah hanyalah amalan sunnah bukan wjib- tapi membiarkan (tidak melunasi) hutang yang wajib dia bayar.

Hendaklah dia memulai dengan amalan wajib terlebih dahulu barulah kemudian bersedekah, para ulama telah berselisih tentang masalah orang yang bersedekah di saat menanggung hutang yang menghabiskan seluruh hartanya, sebagian dari mereka berkata, ‘Sesungguhnya hal itu tidak boleh dia lakukan ; karena berakibat buruk pada orang yang berhutang, serta membuatnya terus memikul tanggungan hutang yang wajib ini.

Sebagian dari mereka mengatakan, ‘Tindakan itu boleh, tetapi dia menentang hal yang lebih utama’.

Yang terpenting hendaknya seseorang yang mempunyai hutang yang menghabiskan seluruh harta miliknya, tidak bersedekah sampai terbayarnya hutang ; karena wajib didahulukan daripada sunnah.

Adapun kewajiban-kewajiban syari’at yang diringankan bagi orang yang menannggung hutang sampai melunasinya :

Termasuk darinya haji, haji tidak wajib atas seseorang yang masih mempunyai hutang hingga dia melunasinya.

Adapun zakat, para ulama bersilang pendapat tentang apakah kewajiban itu gugur atas orang yang behutang ataukah tidak ? Sebagian dari ulama ada yang berkata, ‘Sesungguhnya (kewjiban) zakat gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sama saja apakah berupa harta yang konkrit maupun yang tidak konkrit (abstrak)’.

Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya zakat tidak gugur kewajibannya pada saat berhadapan dengan hutang, tetapi wajib atasnya mengeluarkan zakat dari semua harta yang ada di tangannya, walaupun dia menangggung hutang yang mengurangi nishab.

Sebagian dari mereka ada orang yang menjelaskan dengan berkata : “Jika harta itu termasuk harta abstrak yang tidak terlihat dan tidak tersaksikan, seperti uang dan harta perniagaan, maka kewajiban zakatnya gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sedangkan jika harta itu termasuk golongan harta konkrit seperti binatang ternak dan hasil bumi maka kewajiban zakatnya tidak gugur”.


Yang benar menurut saya : Bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur, sama saja apakah harta itu termasuk konkrit atau abstrak, bahwa setiap orang yang di tangannya terdapat harta yang mencapai nishab wajib maka wajib atasnya membayarkan zakat itu meski dia masih menanggugn hutang, itu karena zakat merupkan kewajiban atas harta berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [At-Taubah : 103]

Serta berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mengutusnya ke Yaman, “Beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah menetapkan kewajiban zakat atas mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka”. Hadits tersebut di dalam kitab shahih Bukhari menggunakan lafadz seperti ini, dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah ini menjadikan sisi ini terurai lepas, maka hendaknya jangan dipertentangkan antara zakat dan hutang ; karena hutang merupakan kewajiban pada tanggungan sedangkan zakat merupakan kewajiban pada harta, dengan demikian masing-masing dari keduanya diwajibkan pada tempat di mana yang lain tidak diwajibkan di sana, sehingga tidak mengakibatkan adanya pertentangan dan benturan di antara keduanya, pada waktu itu hutang tetaplah berada di dalam tanggungan si penghutang dan zakat tetap berada pada harta, dikeluarkan darinya pada tiap-tiap kondisi.

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Furqon Syuhada dkk, Penerbit Pustaka Arafah]

Tidak ada komentar: