Jumat, 10 Juni 2011

Ghibah,

Ghibah,

Betapa banyak kaum muslimin yg mampu menjalankan perintah Allah Azza wa Jalla dg baik, menjalankan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mampu menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu utk sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis. Namun…. . mereka tdk mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu bahwasanya ghibah itu tercela & merupakan dosa besar, namun tetap saja mereka tdk mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala benar-benar telah mencela penyakit ghibah ini & telah menggambarkan orang yg berbuat ghibah dg gambaran yg sangat hina & jijik. Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di berkata: “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan suatu gambaran yg membuat (seseorang) lari dari ghibah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلاَ يَغْتِبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
"Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yg lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yg telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat & Maha Pengasih". (Al Hujurat:12)
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyamakan mengghibahi saudara kita dg memakan daging saudara (yang dighibahi tadi) yg telah menjadi bangkai, yg (hal ini) amat sangat dibenci oleh jiwa manusia. Sebagaimana kalian membenci memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tdk bernyawa- maka demikian pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya & memakan dagingnya dalam keadaan hidup" .
Memakan bangkai hewan yg sudah busuk saja menjijikkan, namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita. Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu.
عَنْ قَيْسٍ قَالَ: مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى ببَغْلٍ مَيِّتٍ, فَقَالَ: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلأَ بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِمِ)
"Dari Qais, dia berkata: ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anh melewati bangkai seekor bighol (hewan hasil persilangan kuda dg keledai), lalu beliau berkata: "Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)".
Syaikh Salim Al-Hilaly berkata: ". . Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu yg paling menjijikkan secara tabi’at utk bani Adam, walaupun (yang dimakan tersebut) orang kafir / musuhnya yg melawan. Bagaimana pula jika (yang engkau makan adalah) saudaramu seagama?, sesungguhnya rasa benci & jijik semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai? karena sesungguhnya makanan yg baik & halal dimakan, akan menjadi menjijikan jika telah menjadi bangkai…"
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ zأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ nقَالَ: كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Semua muslim terhadap muslim yg lain adalah harom, yaitu darahnya, kehormatannya, & hartanya". (HR. Muslim)
Orang yg mengghibah berati dia telah mengganggu kehormatan saudaranya, karena yg dimaksud dg kehormatan adalah sesuatu yg ada pd manusia yg bisa dipuji & dicela.
DEFINISI GHIBAH
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwsanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah & Rasul-Nya yg lebih mengetahui”. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yg tdk disukai oleh saudaramu”, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yg kau sebutkan tdk benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya".
Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ: كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ: الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ
"Dari Hammad dari Ibrahim, dia berkata: Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata:”Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yg kau ketahui pd saudaramu, & jika engkau mengatakan apa yg tdk ada pd dirinya berarti itu adalah kedustaan".
Dari hadits ini para ulama menjelaskan bahwa yg dimaksud dg ghibah adalah “Engkau menyebutkan sesuatu yg ada pd saudaramu, yg seandainya dia tahu maka dia akan membencinya”. Sama saja, apakah yg engkau sebutkan adalah kekurangannya yg ada pd badannya / nasabnya / akhlaqnya / perbuatannya / pd agamanya / pd masalah duniawinya. Dan engkau menyebutkan aibnya di hadapan manusia dalam keadaan dia ghoib (tidak hadir). Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Ghibah adalah menyebutkan aib (saudaramu) & dia dalam keadaan ghaib (tidak hadir di hadapn-mu). Oleh karena itu (saudaramu) yg goib tersebut disamakan dg mayat, karena orang yg ghoib tdk mampu utk membela dirinya. Demikian pula mayat tdk mengetahui bahwa daging tubuhnya dimakan, sebagaimana orang yg ghoib juga tdk mengetahui ghibah yg telah dilakukan oleh orang yg mengghibahinya".
Adapun menyebutkan kekurangannya yg ada pd badannya (yang termasuk ghibah itu), misalnya engkau berkata pd saudaramu itu: “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya besar”, “Kaki meja (jika kakinya tdk berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”, “Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia gendut”, “Dia pendek” & lain sebagainya.
عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً فَقَالَتْ:إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ. . . . فَقَالَ النَّبِيُّ: اِغْتَبْتِها
"Dari Abu Hudzaifah dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau (‘Aisyah) berkata:”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”…. maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut" .
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ لِلنَّبِيِّ حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة كَذَا وَ كَذَا وَ قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
"Dari ‘Aisyah beliau berkata: Aku pernah berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Cukup bagimu dari Shofiyah ini & itu”. Sebagian rawi berkata:”’Aisyah mengatakan Shofiyah pendek”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat, yg seandainya kalimat tersebut dicampur dg air laut niscaya akan merubahnya" .
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ: ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً فَقَالَ: ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ
"Dari Jarir bin Hazim berkata: Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki, kemudian dia berkata: “Dia lelaki yg hitam itu”. Kemudian dia berkata:”Aku mohon ampunan dari Allah”, sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu" .
Adapun ghibah pd nasab, misalnya engkau berkata: ”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, & lain-lain. Adapun ghibah pd akhlaknya, misalnya engkau berkata:”Dia akhlaqnya jelek…orang yg pelit”, “Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu suka marah”.
Adapun ghibah pd agamanya, misalnya engkau berkata:”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”, “Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yg dzolim, tdk mengeluarkan zakat”, “Dia tdk membaguskan sujud & ruku’ kalau sholat”, “Dia tdk berbakti kepada orang tua”, & lain-lain.
Adapun ghibah pd perbuatannya yg menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata: “Tukang makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak menghormati orang lain”, “Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pd dia” & lain-lain.
Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid, dia berkata: Thouf bin Wahb telah menyampaikan kepada kami, dia berkata: “Aku menemui Muhammad bin Sirin & aku dalam keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata: ”Aku melihatmu sedang sakit”, aku berkata:”Benar”. Maka dia berkata: “Pergilah ke tabib fulan, mitalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata:”Pergilah ke fulan (tabib yg lain) karena dia lebih baik dari pd si fulan (tabib yg pertama)”. Kemudian dia berkata: “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku telah mengghibahi dia (tabib yg pertama)".
Termasuk ghibah adalah seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dg pura-pura pincang / pura-pura bungkuk / berbicara dg pura-pura sumbing, / yg selainnya dg maksud meniru-niru keadaan seseorang, yg hal ini berarti merendahkan dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits:
قَالَتْ: وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ: مَا أُحِبُّ أَنِّيْ حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
"‘Aisyah berkata: “Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang seseorang pd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata:”Saya tdk suka meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan sekian & sekian".
Termasuk ghibah juga, jika seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata: ”Si fulan telah berkata demikian & demikian”, dg tujuan utk merendahkan & mencelanya. Maka hal ini adalah haram. Tetapi jika si penulis menghendaki utk menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tdk diikuti, / utk menjelaskan lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tdk tertipu dengannya & menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yg ‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yg wajib yg mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian pula jika seorang penulis berkata / yg lainnya berkata: “Suatu kaum -atau suatu jama’ah- telah berkata demikian-demikian” / “Pendapat ini merupakan kesalahan / kekeliruan / kebodohan / keteledoran” & semisalnya”, maka hal ini bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika disebutkan orang tertentu / kaum tertentu / jama’ah tertentu.
Ghibah itu bisa dg perkataan yg jelas / dg yg lainnya, seperti isyarat dg perkataan, / isyarat dg mata, / bibir & lainnya, yg bisa dipahami bahwasanya hal itu utk merendahkan saudaranya yg lain. Di antara ghibah adalah jika nama seseorang disebutkan di sisi-mu lantas engkau berkata: “Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yg telah menjaga kita dari sifat pelit”, / “Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melindungi kita dari memakan harta manusia dg cara yg batil”, / yg lainnya. Sebab orang yg mendengar perkataan-mu itu memahami bahwa berarti orang yg namanya disebutkan memiliki sifat-sifat yg jelek. Bahkan lebih parah lagi, perkataanmu tdk hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkanmu ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tdk melakukan sifat jelek orang yg disebutkan namanya tadi.
BAGAIMANA JIKA YANG DIGHIBAHI ADALAH ORANG KAFIR?
Imam As-Shan’ani berkata: “Perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits Abu Hurairah di atas) أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama, merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh dighibah”. Ibnul Mundzir berkata: ”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barang siapa yg bukan saudara (se-Islam) seperti Yahudi, Nasrani, & seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), & (juga) orang yg kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tdk ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya"
Bagaimana jika kita memberi laqob (julukan) yg jelek kepada saudara kita, namun saudara kita tersebut tdk membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Imam As-Shan’ani berkata: "Dan pd perkataan Rosulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yg dia benci), menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yg kita ghibahi tersebut) tdk membenci aib yg ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yg mengumbar nafsunya & orang gila, maka ini bukanlah ghibah".
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: ”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yg dipanggil dg julukan-julukan yg jelek namun dia tdk membenci julukan-julukan jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yg harom, sebab ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dg apa yg dia benci, tetapi orang yg memanggil saudaranya dg laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan Al-Qur’an (yaitu firman Allah:
ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ
"Dan janganlah kalian saling- panggil-memanggil dg julukan-julukan yg buruk". (Al-Hujurat: 11)-pent)
Yang jelas melarang saling panggil-memanggil dg julukan (yang jelek) sebagaimana tdk samar lagi (larangan itu).
HUKUM GHIBAH
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَال: قَالَ رَسُوْلُ الله: مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
"Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Pada malam isra’ aku melewati sekelompok orang yg melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dg kuku-kuku mereka”, lalu aku bertanya: ”Siapakah mereka ya Jibril?”. Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yg mengghibahi manusia, & mencela kehormatan-kehormatan mereka".
Dalam riwayat yg lain:
قَالَ رَسُوْلُ الله: لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ: هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati sekelompok orang yg memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka & dada-dada mereka. Maka aku bertanya: ”Siapakah mereka ya Jibril?”. Jibril menjawab: ”Mereka adalah orang-orang yg memakan daging manusia & mencela kehormatan mereka".
Hukum ghibah adalah haram berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah & ijma’ kaum muslimin. Namun terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar / termasuk dosa kecil?.
Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termsuk dosa besar. Sedangkan Al-Gozhali & penulis Al-‘Umdah dari madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwasanya ghibah termasuk dosa kecil.
Al-Auza’i berkata: “Aku tdk mengetahui ada orang yg jelas menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”.
Az-Zarkasyi berkata: “Dan sungguh aneh orang yg menganggap bahwasanya memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar, (tetapi) tdk menganggap bahwasanya ghibah juga sebagai dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah sebagaimana memakan bangkai daging manusia. Dan hadits-hadits yg memperingatkan ghibah sangat banyak sekali yg menunjukan kerasnya pengharaman ghibah.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: "Dalam ayat ini (Al-Hujurat:12) ada peringatan keras terhadap ghibah & bahwasanya ghibah termasuk dosa-dosa besar, karena diserupakan dg memakan daging bangkai (manusia) & hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa besar".
Alasan orang yg menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil, diantaranya perkataan mereka: ”Kalau seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu menjadi fasik, / seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali yg bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yg sangat besar”. Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu kemaksiatan & banyak manusia yg melakukannya tidaklah menunjukan bahwa kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pd zaman sekarang. Adapun pd zaman dahulu (zaman para Salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah) tdk tersebar sebagaimana sekarang. Di zaman mereka yg tersebar adalah kebaikan.
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821)
Penulis: Ustadz Ibnu Abidin As-Soronji & diterbitkan oleh almanhaj. or. id

 

Tidak ada komentar: