Jumat, 10 Juni 2011

Persatuan Harus Diatas Manhaj Bukan Diatas Pribadi-Pribadi Dan Berpisahpun Harus Diatas Manhaj,

Persatuan Harus Diatas Manhaj Bukan Diatas Pribadi-Pribadi Dan Berpisahpun Harus Diatas Manhaj,

Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Bagian Ketiga dari Sembilan Tulisan (3/9)
PENGANTAR (3/3)
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen harus dg manhaj Islam, fikrah & syari'at Allah. Bahkan terhadap individu, tanzhim-tanzhim, jama'ah-jama'ah / pemerintah-pemerintah yg semuanya sebagai tempat salah & benar. Karena bencana, kesenjangan, penyakit & wabah akan menyusup dalam kehidupan Islam dari celah penyimpangan terhadap barometer ini / usaha merampasnya dari tangan seorang muslim.
Dari sana dapat dipahami bahwa kemaksuman semu diberikan atas sebagian orang, rekomendasi-rekomendasi yg menggelikan yg dibuat utk berbuat semaunya adalah awal keruntuhan. Karena, ini adalah permulaan praktik penggunaan tujuan-tujuan & bukan mengemban tanggung jawab. Kadang-kadang hal ini merupakan sifat manusia tatkala dikuasai masa-masa tak berdaya / menimpa kepada mereka keadaan-keadaan genting, intimidasi pemikiran secara terus menerus, / rusaknya suasana politik, sehingga hukum dibeda-bedakan menurut orangnya, & dibentuk penipuan terhadap syariat dalam bentuk sesuatu yg diada-adakan. Serta menumbuh tingkatkan ahli fikih penguasa, baik penguasa harta, pemerintah / jabatan. Lalu ditakwilkan hadits-hadits & ayat-ayat menurut kemauan hawa nafsunya. Akibatnya seseorang tdk boleh mengetahui bahwa mengajak utk komitmen dg manhaj merupakan barometer & standard kebenaran & kebatilan. Sedang tdk iltizam (komitment) dg seseorang dituduh sebagai sikap ragu terhadap pribadi, merusak perjuangan & menjauhkan diri dari jama'ah kaum muslimin secara keseluruhan.
Hal ini bukan perkara yg seorang muslim boleh memilihnya. Tetapi pd hakekatnya merupakan pembenaran terhadap langkah kehidupan kaum muslimin dalam berjama'ah & menghilangkan terisolirnya seseorang dari kehidupan manusia serta upaya berpegang teguh dg Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dg sabdanya.
"Artinya: Dan dua orang yg saling bercinta karena Allah, keduanya berkumpul & berpisah di atas keadaan yg demikian" (Hadits Riwayat Bukhari & Muslim dari hadits Abu Hurairah)
Maka persatuan harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Berpisahpun harus di atas manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Kecuali dalam keadaan hilang akal, & tdk mampu menlihat kebenaran (al-haq) dg benar disebabkan fanatik golongan, pribadi, ikatan & kaum. Atau pd keadaan tdk adanya kemauan yg kuat utk ber-iltizam dg agama ini.
Ringkasnya ialah: Termasuk pandangan yg salah adalah keyakinan bahwa praktik mengkritik, saling menasehati, amar ma'ruf & nahi mungkar akan menimbulkan kekacauan di barisan Islam & kegoncangan dalam beramal. Padahal suatu barisan / jama'ah yg takut utk berdialog dg pobhi utk saling memberi nasehat, apalagi setan memberi kerancuan kepada sebagian anggotanya bahwa amar ma'ruf & nahi mungkar akan merusak keberdayaannya adalah jamaah yg tdk dapat dipercaya, tdk berhak utk langgeng & tdk punya keahlian utk mengemban risalah Islam yg tuntunan utamanya adalah amar ma'ruf & nahi mungkar. Maka orang yg tdk punya sesuatu, tdk mungkin akan memberikan sesuatu tersebut.
Sesungguhnya membuang praktik saling menasehati, menahannya & menghempaskannya, akan menimbulkan bahaya besar yg akan menimpa pd permasalahan pokok bagi keberlangsungan bentuk amalan & dakwah. Karena sarana (yaitu saling menolong di dalam perjalanan suatu jama'ah utk sampai kepada kebaikan yg lebih besar) berubah menjadi tujuan menurut batasan jama'ah tersebut. Sesungguhnya sifat egois & intimidasi pemikiran yg ada pd sebagian aktifis Islam, merupakan akibat dari hilangnya medan perbuatan keimanan yg kokoh yg dapat melahirkan sifat tawadhu', lemah lembut & akhlak yg mulia. Pada akhirnya muncul kelompok-kelompok kecil, semacam sekte-sekte baru, sehingga terpecahlah kemampuan berpikir, timbul golongan-golongan & hilang persatuan, menjadi goncang tangga menuju keutamaan, hilang tempat menghimpun permasalahan-permasalahan, berhenti pekerjaan yg menghasilkan. Sarana-sarana berubah menjadi tujuan (sebagaimana kami telah jelaskan). Gambaran Islam hanya berkisar pd figur-figur yg permasalahan Islam tdk dilihat kecuali dari mereka. Kesungguhan beramal berubah menjadi pekerjaan utk mendapatkan rekomendasi, lalu pekerjaan memperoleh rekomendasi ini menjadi dominan pd saat memahami studi sebab-sebab terjadinya kemunduran.
Permasalahan ini tdk akan bisa diobati kecuali dg cara membiasakan berfikir, berdialog & berpegang teguh dg adab berselisih yg Islami. Menjadikan amalan yg disyari'atkan sebagai prinsip-prinsip, sedang pemikiran-pemikiran bukan utk sarana bagi figur-figur tertentu. Karena akidah tempatnya adalah di hati. Tidak ada kekuasaan bagi seorangpun kecuali kekuasaan dalil. Dan menerima sesuatu dg apa adanya hendaknya dibiasakannya (berhenti pd dalil). Allah subhanahu wa Ta'ala mengabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa tujuan diutusnya beliau adalah memberikan rahmat kepada alam semesta. Allah berfirman.
"Artinya: Tidaklah engkau diutus kecuali sebagai rahmat bagi semua alam" (Al-Anbiya': 107)
Dan berfirman.
"Artinya: Engkau bukanlah sebagai penguasa bagi mereka" (Al-Ghasyiyah: 22)
Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya juga.
"Artinya: Apakah kamu memaksa manusia agar mereka menjadi orang yg beriman?" (Yunus: 99)
Dan berfirman.
"Artinya: Seandainya engkau kasar & keras hati, niscaya mereka lari darimu" (Ali-Imran: 159)
Inilah sebagian langkah-langkah utama dalam berdakwah kepada Allah & menyebarkan rahmat bagi semua alam.
(Disalin dari kitab Al-Bai'ah baina as-Sunnah wa al-bid'ah 'inda al-Jama'ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai'at antara Sunnah & Bid'ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF. )
__ Foote Note.
Nadzarat fi Masirah al-Amal al-Islami, hal. 21-22, Umar Ubaid Hasanah
Idem, hal. 36-37, Umar Ubaid Hasanah
Penulis: Syaikh Ali Hasan Ali Abdul HamidBagian Ketiga dari Sembilan Tulisan (3/9) & diterbitkan oleh almanhaj. or. id

Tidak ada komentar: