Jumat, 10 Juni 2011

Apabila Seorang Perempuan Berzina Kemudian Hamil, Bolehkah Dinikahi Oleh Pria Yang Menghamilinya?

Apabila Seorang Perempuan Berzina Kemudian Hamil, Bolehkah Dinikahi Oleh Pria Yang Menghamilinya?

. Kejadian Yang Keempat: Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah ia dinikahi oleh laki-laki yg menghamilinya & kepada siapa dinasabkan anaknya?
Jawabannya: Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yg menzinainya & menghamilinya dg kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar yg dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal. 157 di bagian kitab nikah bab 24 hadits 5105) . Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam & seterusnya.
Pertama: Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Berkata Ibnu Umar: Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah & perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar, “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dg anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut & berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu!”
Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki & perempuan yg berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun. (Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal. 476 & Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro juz 8 hal. 223 dari jalan Ibnu Umar)
Kedua: Fatwa Umar bin Khaththab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa & keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan para shahabat / diketahui oleh mereka khususnya Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya & tdk ada seorang pun di antara mereka yg mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah terjadi ijma di antara para shahabat bahwa perempuan yg berzina kemudian hamil boleh bahkan harus dinikahkan dg laki-laki yg menzinainya & menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas di antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana riwayat di bawah ini.
Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, “Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah dg seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang anak gadis yg bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah dengannya) & laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yg bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yaitu masing-masing membawa seorang anak, yg laki-laki membawa anak laki-laki & yg perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda & anak gadis tersebut melakukan zina sehingga nampaklah pd diri gadis itu kehamilan. Maka tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau. Lalu Umar bertanya kepada keduanya & keduanya mengakui (telah berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya (dilaksanakan hukum had) (20). Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu tdk mau” (Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dg sanad yg shahih)
Ketiga: Fatwa Abdullah bin Mas’ud
Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy.
“Artinya: Dari Hammaam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy dari Abdullah bin Mas’ud tentang, “Seorang anak laki-laki yg berzina dg seorang perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan tersebut?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yg demikian itu” (Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dg sanad yg shahih)
Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata): Sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Mas’ud, lalu laki-laki itu bertanya, “Seorang laki-laki berzina dg seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat & berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu kawin dg perempuan tersebut? “ Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini.
“Artinya: Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yg mengerjakan kejahatan dg kebodohan (21), kemudian sesudah itu mereka bertaubat & mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang” (An-Nahl: 119)
Berkata Al-Qamah bin Qais, “Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat tersebut berkali-kali sampai orang yg bertanya itu yakin bahwa Ibnu Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yaitu beliau membolehkannya)”. (Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yg lain yg semakna dengna riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat): (22)
“Artinya: Dan Dialah (Allah) yg menerima taubat dari hamba-hambaNya & memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) & Dia mengetahui apa-apa yg kamu kerjakan” (Asy-Syura: 25) (23)
Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan: Setelah Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas beliau berkata, “Hendaklah menikahinya!”.
Keempat: Fatwa Ibnu Umar.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yg berzina dg seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya bertaubat & keduanya berbuat kebaikan (yaitu beramal shalih)” (Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9 hal. 475.
Kelima: Fatwa Jabir bin Abdullah
Berkata Jabir bin Abdullah, “Apabila keduanya bertaubat & keduanya berbuat kebaikan, maka tdk mengapa (tidak salah dilangsungkan pernikahan di antara keduanya) –yaitu tentang laki-laki yg berzina dg seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-“ (Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam Abdurrazzaq (7/202) yg semakna dg riwayat di atas)
Keenam: Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yg berzina dg seorang perempuan bolehkah dia menikahinya?” Jawab beliau, “Ya”, karena (nikah itu) perbuatan halal” (Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dg sanad yg shahih) (24)
Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas: Tentang seorang laki-laki yg berzina dg seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya? Beliau berkata, “Yang pertama itu zina sedangkan yg terakhir nikah & yg pertama itu haram sedangkan yg terakhir halal” (Dikeluarkan Baihaqiy (7/155) (25) Dan dalam riwayat yg lain juga dari jalan Ikrimah ada tambahan, “Tidak salah (yaitu menikahinya))
Berkata Said bin Jubair: Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang laki-laki & seorang perempuan yg masing-masing dari keduanya telah menyentuh yg lain dg cara yg haram (yaitu keduanya telah berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas: “Yang pertama itu zina sedangkan yg kedua nikah” (Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dg sanad yg hasan))
Berkata Atha bin Abi Rabah: Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yg berzina dg seorang perempuan, kemudian dia menikahinya, “Yang pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yg terakhir nikah” (Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202)
Dari Thawus, ia berkata: Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, “Seorang laki-laki menyentuh perempuan dg cara yg haram (yaitu zina), kemudian dia menikahinya?” Jawab beliau, “itu baik –atau beliau mengatakannya- itu lebih bagus” (Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203)
Demikian juga fatwa para Tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Az-Zuhri & Hasan Al-Bashri & lain-lain Ulama. (Baihaqiy 7/155 & Abdurrazzaq 7/203-207)
Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui:
Pertama: Telah terjadi ijma Ulama yg didahului oleh ijmanya para shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yg berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki yg menzinai & menghamilinya.
Kedua: Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat & berbuat kebaikan (beramal shalih) dg menyesal & membenci perbuatan keduanya.
Adapun mengenai hukuman bagi yg berzina (hukum had) yg melaksanakannya adalah pemerintah bukan orang perorang / kelompok perkelompok. Oleh karena di negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri Islam yg lainnya kecuali Saudi Arabia tdk dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti hukum had & lain-lain, ini tdk menghalangi taubatnya orang yg mau bertaubat demikian juga nikahnya dua orang yg berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat & beramal shalih. Langsungkanlah pernikahan karena yg demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yg menzinai & menghamili seorang perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain (26) dg syarat keduanya mau & ridha utk nikah. Apabila salah satunya tdk mau maka janganlah dipaksa hatta perempuan tersebut telah hamil (27). Ini, kemudian pertanyaan yg kedua kepada siapakah anak tersebut dinasabkan?
Jawabnya: Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yg menzinai & menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dg sah. Dan di dalam kasus seperti ini –di mana perempuan yg berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi laki-laki yg menzinai & menghamilinya- tdk dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadits yg lalu yaitu: “Anak itu haknya (laki-laki) yg memiliki tempat tidur (suami yg sah) & bagi yg berrzina tdk mempunyai hal apapun (atas anak tersebut)”. Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi perempuan yg dia zinai & dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dg sebab air maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak tersebut dikatakan sebagai anak zina yg bapaknya tdk mempunyai hak apapun atasnya dari hal nasab, waris, & kewalian & nafkah sesuai dg zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu: “…. Dan bagi (orang) yg berzina tdk mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)”.
Berbeda dg anak yg lahir dari hasil pernikahan yg sah, maka nasabnya kepada bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali & nafkah tdk terputus sama sekali. Karena agama yg mulia ini hanya menghubungkan anak dg bapaknya apabila anak itu lahir dari pernikahan yg sah / lebih jelasnya lagi perempuan itu hamil dari pernikahan yg sah bukan dari zina. Wallahu a’lam (28)
Sebagian orang di negeri kita ini ada yg mengatakan: Tidak boleh perempuan yg hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yg menzinai / menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya: Dan perempuan-perempuan yg hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan” (Ath-Thalaq: 4)
Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tdk tepat dalam menempatkan keumuman ayat & cenderung kepada pemaksaan dalil.
Pertama: Ayat di atas utk perempuan yg hamil dari hasil nikah bukan utk perempuan-perempuan yg hamil dari hasil zina. Karena di dalam nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris & kewalian. Sedangkan di dalam zina tdk ada semuanya itu termasuk tdk adanya ‘iddah. Inilah perbedaan yg mendasar antara pernikahan dg perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan yg hamil yg dithalaq suaminya maka ‘iddahnya sampai dia melahirkan sesuai keumuman ayat di atas meskipun ayat yg lain (Al-Baqarah: 234) menegaskan bahwa perempuan-perempuan yg kematian suaminya ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka keumuman ayat di ataslah yg dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya oleh sebagian ulama terhadap perempuan yg berzina lalu hamil kemudian dinikahi oleh laki-laki yg bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di kejadian kelima. Wallahu a’lam.
Kedua: Telah terjadi ijma’ Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yg dia hamili lantaran zina. Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yg telah dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma’ ulama. Dan anehnya tdk ada seorang pun di antara mereka yg berdalil dg ayat di atas utk melarang / mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan anaknya?
Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya dari para Shahabat & seterusnya?
(Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M)
___ Foote Note
. Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal. 542) oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul Qadir (1/446 tafsir surat An-Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani.
. Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yg lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476) lihat juga Mushannaf Abdurrazzaq (12796).
. Al-Muhalla Juz 9 hal 476.
(20). Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan.
(21). Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yg dilakukan dg sengaja. Karena setiap orang yg maksiat kepada Allah dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)
(22). Imma kejadian ini satu kali & masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yg dibaca Ibnu Mas’ud / kejadian di atas dua kali. Wallahu a’lam
(23). Lihat riwayat yg semakna di Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798)
(24). Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)
(25). Idem (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yg haram itu tdk bisa mengharamkan nikah yg memang halal. Karena sesuatu yg haram tdk bisa mengharamkan sesuatu yg halal.
(26). Abdurrazzaq (7/206-207)
(27). Bacalah kembali riwayat Umar bin Khaththab
(28). Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal. 353 & 354, 374-375). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (32/134-142). Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal. 323) Fathul Baari (Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23. Dan lain-lain.
Penulis: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat & diterbitkan oleh almanhaj. or. id

Tidak ada komentar: