Jumat, 10 Juni 2011

Bangunan Islam (Syarah Rukun Islam) (1),

Bangunan Islam (Syarah Rukun Islam) (1),

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الَّرحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البخاري و مسلم)
Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab c berkata: Aku pernah mendengar Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, & Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, & (5) berpuasa Ramadhan”. (HR Bukhari & Muslim).
TAKHRIJ HADITS
1. Shahihul Bukhari, Kitabul Iman, Bab al Iman wa Qaulin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Buniyal Islamu ‘ala khamsin”, no. 8.
2. Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Bayanu Arkanil Islam, no. 16.
3. Sunan at Tirmidzi, Kitabul Iman, Bab Ma Ja’a fi Buniyal Islam, no. 2612.
4. Sunan an Nasaa-i, Kitabul Iman, Bab ‘Ala Kam Buniyal Islam, VIII/108.
5. Musnad Imam Ahmad, II/26, 93, 120, 143.
6. Al Humaidi, no. 703.
7. Ibnu Hibban, no. 158 & 1446.
URUTAN HAJI DAN PUASA DALAM HADITS
Terdapat perbedaan penentuan urutan haji & puasa dalam periwayatan hadits ini. Sebagian perawi meriwyatkan dg mendahulukan haji atas puasa & ada sebagian lain yg mendahulukan puasa dari haij. Berikut ini keterangan ulama seputar masalah ini.
Menurut Imam Ibnu Daqiqil 'Id (wafat th. 702 H), pd beberapa riwayat disebutkan haji lebih dahulu daripada puasa. Hal ini keraguan dari perawi. Wallahu a’lam. Oleh karena itu, ketika Ibnu 'Umar mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya, lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia berkata,"Begitulah yg aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . " (Muslim, no. 16) (19).
Menurut Imam an Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits ini, ia berkata: "Demikianlah, dalam riwayat ini, haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekadar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa Ramadhan diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa lebih dahulu daripada haji". (Syarah Muslim, I/178,179).
AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Hadits ini mempunyai kedudukan yg agung, karena menerangkan asas & kaidah-kaidah Islam, yaitu Islam dibangun di atasnya, yg dengannya seorang hamba menjadi Muslim. Dan tanpa asas ini, seorang hamba berarti keluar dari agama.
Imam Nawawi berkata,"Sesungguhnya hadits ini merupakan pijakan yg agung dalam mengenal agama Islam. Dengan dasar hadits ini tegaknya agama Islam. Hadits ini mengumpulkan rukun-rukunnya". (Syarah Muslim, I/179).
Abul Abbas al Qurthubi (wafat th. 671H) berkata,"Lima hal tersebut menjadi asas & landasan tegaknya agama Islam. Lima hal di atas disebut secara khusus, tanpa menyebutkan jihad –padahal jihad adalah membela agama & mengalahkan penentang-penentang yg kafir– karena kelima hal tersebut merupakan salah satu fardhu kifayah. Sehingga, pd saat tertentu kewajiban tersebut bisa menjadi gugur. " (Syarah Arba’in an Nawawiyah, hlm. 37, oleh Ibnu Daqiqil 'Id).
Ibnu Rajab mengatakan, jihad tdk disebutkan pd hadits Ibnu 'Umar di atas, padahal jihad merupakan amal perbuatan termulia. Di salah satu riwayat disebutkan bahwa, Ibnu Umar 'ditanya: “Bagaimana dg jihad?” Ibnu 'Umar menjawab,"Jihad itu bagus, namun hanya hadits itulah yg aku terima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. ” (Diriwayatkan Imam Ahmad).
Disebutkan di hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu: “Pokok segala sesuatu ialah Islam, tiangnya shalat, & puncaknya ialah jihad”.
Kendati keberadaan jihad menduduki tempat tertinggi dalam ajaran Islam, namun jihad bukan merupakan salah satu tiang & rukunnya, tempat bangunan Islam dibangun di atasnya, karena dua sebab. Pertama, jihad -menurut jumhur ulama- adalah fardhu kifayah & bukan fardhu 'ain. Ini berbeda dg kelima rukun di atas. Kedua, jihad tdk berlangsung hingga akhir zaman. Jika Nabi Isa q telah turun & ketika itu tdk ada agama selain Islam, maka dg sendirinya perang berhenti, tdk lagi membutuhkan jihad. Ini berbeda dg kelima rukun Islam yg tetap diwajibkan kepada kaum Mukminin hingga keputusan Allah datang kepada mereka, & ketika itu mereka dalam keadaan seperti itu. Wallahu a’lam. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I/152).
SYARAH HADITS
Maksud hadits di atas ialah, Islam dibangun di atas lima hal. Dan ia seperti tiang-tiang bangunannya.
Hadits di atas diriwayatkan Muhammad bin Nashr al Marwazi dalam Kitabush Shalat, no. 413, sanadnya shahih menurut syarat Muslim. Redaksinya berbunyi:
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسِ دَعَائِمَ
Islam dibangun di atas lima tiang …
Maksud hadits tersebut adalah, penyerupaan Islam dg bangunan. Adapun tiang-tiang bangunan tersebut berupa kelima hal tersebut. Jadi, bangunan tdk akan kuat tanpa tiang-tiangnya. Sedangkan ajaran-ajaran Islam lainnya berfungsi sebagai penyempurna bangunan. Jika salah satu dari ajaran-ajaran tersebut hilang dari bangunan Islam, maka bangunan itu berkurang, namun tetap bisa berdiri & tdk ambruk, meskipun berkurangnya salah satu dari penyempurnanya. Ini berbeda jika kelima tiang tersebut ambruk, maka Islam akan runtuh disebabkan tdk adanya kelima tiang penyangga tersebut.
Islam juga ambruk dg hilangnya dua kalimat syahadat. Yang dimaksud dg dua kalimat syahadat ialah, beriman kepada Allah & RasulNya.
Disebutkan dalam riwayat Bukhari “Islam dibangun atas lima: beriman kepada Allah & RasulNya, … & seterusnya” (no. 4514). Dalam riwayat Muslim disebutkan “Islam dibangun atas lima: hendaknya mentauhidkan Allah…” (no. 16)(19). Dalam riwayat Muslim lainnya (no. 16)(20) disebutkan:
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمسٍ: أن يُعبَدَ اللهُ وَيُكفَرَ بِمَا دُونَهُ. . .
Islam dibangun atas lima: hendaknya beribadah kepada Allah & mengingkari peribadahan kepada selainNya. . . (Lihat penjelasan Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, I/145).
Seorang hamba tdk dikatakan Islam, sehingga dia melaksanakan asas, tiang & rukun Islam yg dijelaskan dalam hadits ini. Rasulullah n memberikan perumpamaan asas & tonggak ini sebagai bangunan yg kuat & kokoh. Orang yg tdk berdiri di atas tonggak ini, maka dia akan binasa. Adapun perkara-perkara Islam lainnya yg wajib, ia sebagai penyempurna bagi rukun Islam ini.
Bangunan ini sangat dibutuhkan oleh seorang hamba. Empat tiang yg disebutkan dalam hadits ini, dibangun di atas dua kalimat syahadat, Asyhadu an-la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar- Rasulullah. Karena sesungguhnya, Allah tdk akan menerima sesuatu pun dari amal seseorang tanpa syahadatain. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tdk menyebut rukun-rukun iman yg wajib lainnya, karena beriman bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, memiliki konsekwensi mengimani seluruh yg disebutkan dalam masalah keyakinan & ibadah, sebagaimana juga tdk disebutkan tentang jihad, padahal jihad merupakan kewajiban yg besar, yg dengannya kejayaan Islam ditegakkan, panji-panji Islam dikibarkan, & dengannya orang-orang kafir & munafik diperangi. Tidak disebutkannya jihad, karena jihad adalah fardhu kifayah yg tdk diwajibkan kepada setiap orang, melainkan pd keadaan-keadaan tertentu saja. (Lihat Qawaid wa Fawaid Minal Arba’in an Nawawiyah, hlm. 53,54).
BANGUNAN ISLAM
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm mengilustrasikan Islam dg sebuah bangunan yg tertata rapi. Tegak di atas pondasi-pondasi yg kokoh. Pondasi-pondasi tersebut sebagai berikut.
Pertama. Dua Kalimat Syahadat.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَََّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ
Makna Laa Ilaaha Illallaah.
Makna dari kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) adalah لاَ مَعْبُوْدَ بِِِِِحَقٍّ إِلاَّ اللهُ (laa ma’buda bi haqqin ilallaah), tdk ada ilah (sesembahan) yg berhak diibadahi dg benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semua sesembahan yg disembah oleh manusia berupa malaikat, jin, manusia, matahari, bulan, bintang, kubur, pohon, batu, kayu & lainnya, semuanya merupakan sesembahan yg batil, tdk bisa memberikan manfaat & tdk dapat menolak bahaya.
Firman Allah:
وَلَا تَدْعُ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِن فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِّنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yg tdk memberi manfaat & tdk (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yg zhalim. (Yunus/10:106).
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
(Kuasa Allah) yg demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yg haq & sesungguhnya apa saja yg mereka seru selain Allah, itulah yg batil, & sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. ” (al Hajj/22: 62).
Penafsiran Yang Salah Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Ada beberapa penafsiran yg salah tentang makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) & kesalahan tersebut telah menyebar luas.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dg لاَ مَعْبُوْدَ إلاَّ اللهِ (tidak ada yg diibadahi kecuali Allah); padahal makna tersebut rancu, karena dapat berarti bahwa setiap yg diibadahi, baik dg benar maupun salah, adalah Allah.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dg لاَ خَالِقَ إِلاَّ اللهُ (tidak ada pencipta kecuali Allah); padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ(laa ilaaha illallaah). Dan penafsiran ini masih berupa tauhid rububiyyah saja, sehingga belum cukup. Demikian ini yg diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
- Menafsirkan kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) dg لاَ حَاكِمِيَّةَ إِلاَّ لِلّه (tidak ada hak utk menghukumi kecuali hanya bagi Allah); padahal pengertian ini juga tdk cukup, karena apabila mengesakan Allah dg pengakuan atas sifat Allah Yang Maha Kuasa saja lalu berdo’a kepada selainNya, / menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selainNya, maka hal ini belum termasuk definisi yg benar.
- Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin ditanya tentang penafsiran la ilaha illallaah. Penafsiran tersebut ialah “mengeluarkan keyakinan yg jujur dari segala sesuatu & memasukkan keyakinan yg jujur atas Dzat Allah”.
Menjawab tentang penafsiran ini, Syaikh 'Utsaimin rahimahullah berkata: “Ini merupakan penafsiran batil, tdk dikenal oleh Salafush Shalih; karena bukan demikian yg dimaksud dg meyakini Allah & mengeluarkan keyakinan dari selainnya. Ini tdk mungkin, karena keyakinan ada juga pd selain Allah. Sungguh kamu benar-benar akan melihat neraka jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya denga ‘ainul yaqin QS at Takatsur/102 ayat 6-7), meyakini sesuatu yg konkrit sudah diketahui tdk menafikan tauhid. Jadi, berdasarkan pengertian ini, maka tafsir di atas tertolak”.
Rukun Laa Ilaaha Illallaah.
Kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
- النَّفْيُ (mengingkari). Yaitu mengingkari (menafikan) semua yg disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala.
- اْلإِثْبَاتُ (menetapkan). Yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala saja. Tidak ada sekutu bagiNya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Barangsiapa yg kufur kepada thagut & beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yg sangat kokoh yg tdk akan putus, & Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al Baqarah/2: 256).
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pd tiap-tiap umat (untuk menyerukan),"Beribadahlah kepada Allah (saja), & jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yg diberi petunjuk oleh Allah & ada pula di antara mereka yg tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di muka bumi & perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yg mendustakan (rasul-rasul). ” (an Nahl/16: 36).
Makna Dari Syahadat Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
- طَاعَتُهُ فِيْمَا أَمَرَ, yaitu mentaati yg beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Barangsiapa taat kepada Allah & RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yg mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, & itulah kemenangan yg besar. (an Nisaa`/4: 13).
- تَصْدِيْقُهُ فِيْمَا أَخْبَرَ , yaitu membenarkan apa-apa yg beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ
Wahai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Allah & berimanlah kepada RasulNya… (al Hadid/ 57: 28).
- اجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ , yaitu menjauhkan diri dari yg beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam larang.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
. . . Dan apa-apa yg diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yg dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. . . (al Hasyr/59: 7).
- أَنْ لاَ يَعْبُدَ اللهَ إِلاَّ بِمَا شَرَعَ, yaitu tdk beribadah kepada Allah melainkan dg cara yg telah disyari’atkan.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut yg telah disyari’atkan & dicontohkan Nabi Muhammad n . Kita wajib ittiba` kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak boleh mengikuti hawa nafsu & bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (Muhammad): "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu & mengampuni dosa-dosamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran/3: 31).
Kesaksian bahwa, tiada ilah yg berhak diibadahi melainkan Allah, & bahwa Nabi Muhammad n adalah utusan Allah, artinya, mengakui adanya Allah yg Tunggal, serta membenarkan kenabian & kerasulan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rukun ini ibarat pondasi bagi rukun-rukun yg lain. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. . .
Saya diperintahkan utk memerangi manusia hingga mereka menyatakan bahwa tdk ada ilah yg berhak diibadahi selain Allah, & bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah… (HR Bukhari, no. 25; Muslim, no. 22, & Ibnu Hibban, no. 175).
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَن قَالَ: لاَإِلهَ إلاَّ الله مُخْلِصًا دَخَلَ الجَنّة
Barangsiapa yg menyatakan tiada ilah yg berhak diibadahi selain Allah dg penuh keikhlasan, maka ia akan masuk surga. (HR al Bazzar).
Kedua. Menegakkan Shalat.
Shalat merupakan hubungan antara hamba dg Rabb-nya yg wajib dilaksanakan lima waktu dalam sehari semalam, sesuai petunjuk Rasulullah n ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
صَلُّوا كمَا رَأيتُمُونِى أُصَلَّي
Shalatlah, sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR Bukhari).
Beruntunglah orang yg melaksanakan shalat dg khusyu` & thuma’ninah. Allah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yg beriman. (Yaitu) orang-orang yg khusyu` dalam shalatnya. (al Mu’minun/23: 1, 2).
Barangsiapa yg menjaga shalat yg lima waktu, maka pd hari kiamat, ia akan mendapatkan cahaya, petunjuk & keselamatan. Dia dijanjikan oleh Allah akan dimasukkan ke dalam surga.
Shalat akan mendidik seorang muslim agar selalu takut & mengharap kepada Allah. Yang dengannya, seorang muslim akan menjauhkan diri dari perbuatan yg tdk diridhai Allah. Allah berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Bacalah apa yg telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an) & dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji & mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yg kamu kerjakan. (al ‘Ankabut/29: 45).
Shalat merupakan amal yg pertama dihisab pd hari Kiamat. Rasulullah n bersabda:
أوّل مَايُحَاسَبُ بِهِ العَبدُ يَوم القِيَامَة الصَّلاةُ, فَإن صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ, وَإن فَسَدَت فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Amal seorang hamba yg pertama kali dihisab pd hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya. Dan apabila shalatnya rusak, maka rusak pula seluruh amalnya. (HR Thabrani dalam Mu’jamul Ausath, II/512 no. 1880, dari sahabat Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Silsilah Ahadits ash Shahihah, no. 1358).
Shalat yg wajib akan menghapuskan dosa-dosa & kesalahan. Oleh karena itu, dalam masalah shalat, seorang muslim harus memperhatikan:
- Harus dikerjakan pd waktunya, dab yg utama ialah di awal waktu.
- Harus dikerjakan dg khusyu` & thuma’ninah.
- Harus dikerjakan sesuai dg contoh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , dari mulai takbir sampai salam.
- Bagi laki-laki, mengerjakannya dg berjama'ah di masjid.
Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat.
Para ulama kaum Muslimin telah sepakat, orang yg meninggalkan shalat & mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir & keluar dari agama Islam.
Adapun orang yg meninggalkan shalat karena malas / sibuk dg tanpa alasan, sementara itu orang tersebut memiliki keyakinan tentang wajibnya, dalam hal ini para ulama berselisih paham tentang hukumnya.
Pendapat Pertama mengatakan, bahwa mereka telah kafir. Sahabat yg berpendapat seperti itu adalah Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Mu'adz bin Jabal, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin 'Abbas, Jabir bin Abdullah & Abu Darda’. Adapun selain sahabat yg berpendapat demikian adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, 'Abdullah bin Mubarak serta an Nakhaa-i. Mereka berdalil dg hadits yg diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah bersabda.
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
Sesungguhnya batas antara seseorang dg kesyirikan & kekufuran adalah meninggalkan shalat. (HR Muslim, no. 82).
Dari 'Abdullah bin Syaqiq al ‘Uqaili, ia berkata:
كانَ أَصحَابُ رسُول الله لاَ يَرَونَ مِنَ الأَعْمَالِ شَيئًا تَرْكَهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tdk melihat sesuatu amal yg ditinggalkan menjadi kufur, kecuali shalat. (HR Tirmidzi, no. 2622).
Pendapat Kedua mengatakan, bahwa mereka adalah fasik tanpa mengkafirkannya. Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama salaf, di antaranya Malik, Syafi’i & Abu Hanifah. Mereka berdalil dg hadits Rasulullah:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ مَنْ أَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Ada lima waktu shalat yg diwajibkan Allah atas hamba-hambaNya. Barangsiapa yg mengerjakannya tanpa menyia-nyiakannya sedikit pun & meremehkan hak-haknya, maka ia telah terikat janji dg Allah yg akan memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa yg tdk mengerjakannya, maka dia tdk memiliki janji dg Allah. Kalau mau, Allah akan menyiksanya. Dan kalau mau, Allah akan mengampuninya. (HR Ahmad & Malik)
Adapun syahid dari hadits ini, bahwa orang yg meninggalkan shalat, bisa jadi ia akan diampuni. Ini menunjukkan, meninggalkannya tdk termasuk kufur hakiki. Seandainya itu kufur, maka pelakunya akan terhalang dari ampunan Allah. Begitu juga tdk kekalnya ia dalam neraka menunjukkan bahwa, meninggalkan shalat tdk termasuk kufur hakiki. Karena orang yg kafir akan kekal selama-lamanya di neraka. Juga dalil yg mereka jadikan sebagai hujjah adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tdk mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dg Dia. Dan Dia mengampuni dosa yg lain dari syirik itu bagi siapa yg dikehendakiNya. Barangsiapa yg mempersekutukan (sesuatu) dg Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (an Nisaa`/4: 116).
Juga pertanyaan Shilah bin Zufar kepada Hudzaifah: "Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tdk mengetahui shalat, puasa, haji & shadaqah?" Lalu Hudzaifah berpaling darinya, lantas ia (Shilah bin Zufar) mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Kemudian Hudzaifah menjawab,"Wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka". Hudzaifah mengucapkannya sebanyak tiga kali. (HR Ibnu Majah, no. 4049 & Hakim, IV/473, 545).
Ketika mengomentari hadits ini, Syaikh al Albani berkata: “Hadits ini mengandung hukum fiqih yg penting. Bahwa syahadat dapat menyelamatkan orang yg mengucapkannya dari kekekalan di neraka kelak pd hari Kiamat, sekalipun ia tdk menjalankan rukun islam lainnya, seperti shalat & lain-lain," kemudian beliau melanjutkan,"Saya menilai, yg benar adalah apa yg dikemukakan oleh jumhur (mayoritas ulama). Dan pendapat yg dikemukakan sahabat tentang pengkafiran itu, bukanlah kafir yg menjadikannya kekal di neraka, yg tdk mungkin diampuni oleh Allah. Mengapa begitu? Sebab Shilah bin Zhufar yg pemahamannya hampir sama dg Imam Ahmad ketika bertanya 'Apakah perkataan la ilaha illallah bermanfaat bagi mereka, meskipun mereka tdk mengetahui shalat …, lalu Hudzaifah menjawab, wahai Shilah, kalimat itu (La ilaha illallah) akan menyelamatkan mereka dari api neraka,’ perkataan ini diucapkannya tiga kali. Ini merupakan penyataan dari Hudzaifah bahwa, orang yg meninggalkan shalat & selainnya dari rukun-rukun, ia tdk kafir; bahkan dia seorang muslim yg akan selamat dari kekekalan dalam neraka pd hari Kiamat”. (Lihat Silsilah Ahadits ash Shahihah, I/175 no. 87, al Qismul Awwal)
.
Imam Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H) mengatakan, orang yg meninggalkan shalat wajib, maka dia telah melakukan dosa besar yg paling besar. Dosanya, lebih besar di sisi Allah dari membunuh, mengambil harta, berzina, mencuri & minum khamr. Orang yg meninggalkan shalat wajib, ia akan mendapat kemurkaan Allah & dihinakan di dunia & akhirat. (Ash Shalah wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29).
(Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296)
Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas & diterbitkan oleh almanhaj. or. id

Tidak ada komentar: